Malam tak pernah setenang ini. Biasanya dia akan menghabiskan waktu menjelang tidur dengan bermain ponsel. Sekalipun tidak bertukar pesan, dia bisa menggunakan benda persegi itu untuk bermain game. Ada lumayan banyak aplikasi game dalam ponselnya ketimbang di MacBook. Spencer bahkan hampir melupakan jika dia mempunyai Macbook sebagai perangkat komunikasi selain ponsel.
Tetapi membayangkan dirinya membawa benda lebar itu kemanapun, rasanya cukup merepotkan. Dan kalau suatu waktu punggungnya pegal, Macbook tak akan bisa dia mainkan dalam posisi berbaring. Itu bisa melelahkan syaraf matanya.
Layar MacBook sengaja dibuka, memperlihatkan cahaya putih terang dari beranda pesan. Kegiatan Spencer selanjutnya adalah menekan tombol acak guna mencegah layar monitor agar tidak mati. Memperhatikan setiap waktu barangkali muncul notifikasi dan tanda lonceng di pojok kanan bawah. Sehingga dia bisa membalas pesan tepat waktu.
Sayangnya, sampai malam pun tidak ada pemberitahuan mengenai pesan masuk. Terakhir kali sejak Alan berada di apartemen ini —berakhir dengan perdebatan panjang tak masuk akal membuat Alan memilih angkat kaki daripada mengurusi Spencer— dan itu sudah berlalu beberapa jam lalu.
Rasanya hampa, seperti berada di tengah danau tanpa ikan. Istilah itu terkesan konyol untuk diucapkan secara langsung. Semisal pun tidak ada ikan, kita masih bisa berenang di dalam sana, mungkin Alan akan berpendapat semacam itu kalau dia ada di sini. Kalau mereka tidak bertengkar untuk hal kelewat konyol.
Berawal dari rasa penasaran, seseorang pernah menandainya dalam salah satu postingan -seperti fans biasa terhadap sang idola- harusnya Spencer mengabaikan, harusnya rasa penasaran tak pernah terbesit dalam hatinya. Postingan mengenai seseorang yang memiliki akun dengan namanya juga foto dirinya, padahal itu bukan dia. Spencer yang masih awam mengira itu semacam akun palsu yang digunakan untuk menipu orang, bertindak kejahatan. Tetapi setelah mencari tahu lebih dalam ternyata semua yang dia pikirkan mengenai tindak kejahatan tidak sepenuhnya benar. Tetapi kalau soal menipu, bisa saja terjadi sih.
Setelah menyelami dunia Roleplay, Spencer cukup menyadari beberapa perubahan dalam dirinya, dalam artian baik. Dia merasa sangat terhibur dengan beberapa orang yang menggunakan akun selebriti lain tetapi dengan sifat sangat bertolak belakang. Siapapun di balik akun tersebut sama sekali bukan aktor yang bagus. Maka, sekelibat ide melintas tiba-tiba. Sesuatu yang cukup menggelitik dan konyol, sesuatu yang dia kira remeh tetapi malah merubah hampir sebagian besar hidupnya.
Bagaimana jika dia membuat akun Roleplay atas dirinya, berpura-pura menjadi dirinya untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dia bisa melakukan banyak hal, bercanda tanpa takut dianggap kurang etika, memaki ketika kesal, mendekati beberapa gadis di sana tanpa takut masuk dalam pemberitaan. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh 'Public Figure'. Ini sangat menyenangkan!
Pada awalnya memang begitu.
Sampai akhirnya dia mengenal satu orang dengan nama akun Audrey Piers. Pengenalan mereka terkesan biasa-biasa saja, bahkan lebih mirip pertengkaran kecil. Spencer pikir dia akan bisa menaklukan gadis itu dalam hitungan beberapa jam saja. Seperti yang selalu dia lakukan pada gadis lain. Well, sejujurnya Spencer dikenal sebagai Playboy di dunia Rp, berbeda dengan apa yang dia tunjukkan pada kehidupan nyata.
Namun, ternyata segala bentuk perhatiannya dianggap biasa saja oleh Audrey. Gadis itu malahan bersikap jutek dan cuek setiap kali Spencer mengirimi pesan. Jelas itu merupakan bentuk penolakan secara halus.
Setiap hari yang Spencer lakukan hanyalah mencari cara bagaimana mendekati Audrey. Dari memberi perhatian kecil, sampai terkesan over protektif. Mungkin karena itu, pada akhirnya Audrey menerima perasaannya.
Rasanya kembali ke masa muda, dimana menjadi murid SMA yang menghabiskan kencan dengan hanya berkirim pesan tetapi sudah membuat hati berbunga-bunga. Masa yang tidak pernah datang dalam hidup Spencer. Karena dia sudah menapaki dunia modeling sejak remaja —atau beranjak remaja. Karir hal paling penting, membuatnya meluakan aspek lain. Misalnya berkencan dengan gadis seusianya.
Alan tak pernah mengerti. Pria itu selalu saja menyebutnya gila dan pesakitan hanya karena tersenyum ketika membaca pesan balasan. Bukankah itu wajar? Siapapun pasti akan merasa bahagia ketika mengobrol dengan orang tercinta. Dan bukannya malah memaki.
"Audrey.. Piers.." gumam Spencer, jemarinya menggerakan kursor, berbunyii 'Klik' setiap kali tanda panah itu menyentuh isian layar. Spencer sedang kepikiran akan sesuatu, yang biasanya sering dia lewatkan saking terlalu asik berkirim pesan.
Biasanya akun RP akan berisi foto mengenai seseorang yang kita perankan, beberapa juga kerap memasukan data diri orang tersebut. Tapi tidak jarang meski itu sebuah akun RP, orang tersebut tetap memasukan data diri asli dan bukannya tentang selebriti tersebut.
Foto profil Audrey masih sama semenjak terakhir kali dirubah tiga minggu lalu. Tidak banyak foto yang diunggah sebenarnya, menjelaskan bahwa orang dibalik akun Audrey lebih sering mengunggah status pribadi ketimbang foto seorang model ternama.
Spencer menyipitkan mata ketika melihat foto profil akun Audrey —astaga dia telah melewatkan detail kecil itu lumayan lama— "Ini..." kalimatnya dibiarkan menggantun. Tanpa perlu mengingat lebih dalam, Spencer langsung mengetahui jika gadis yang sebelumnya sempat bertabrakan dengannya di lorong memiliki wajah sangat mirip dengan akun Audrey ini.
Alan benar —tentu saja— mengenai gadis yang dia temui di lorong adalah orang sesungguhnya yang diperankan oleh akun Audrey ini.
Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang memang sudah dia duga sejak pertama kali. Meski gadis tadi adalah Audrey asli, tetapi bagaimana cara bicara, sorot mata, aura yang terpancar benar-benar berbeda jauh dengan seseorang di balik akun Audrey.
'Tiriiing~'
Notifikasi muncul. Jemarinya cepat menekan kursor, membuka isi pesan yang baru saja dia terima.
[ From: Audrey Piers
> Sorry Babe, aku baru saja selesai makan dan Mama menyuruhku untuk membereskan segala kekacauan di dapur~]
Ini dia... inilah kekasihnya yang asli. Walau bukan sosok si model cantik Audrey, namun Spencer lebih memilih orang ini. Satu-satunya yang dapat membuatnya bahagia.
[ Space1
> Kau bisa masak? Aku ingin sekali makan masakan buatanmu..]
[ Audrey Piers
> Well.. Bisa dibilang begitu, tapi aku tak yakin seratus persen kalau masakanku bisa kau makan, ]
Spencer tersenyum, memangku MacBook di atas paha sementara kepalanya menyandar pada bantalan sofa.
[ Space1
> Kenapa tidak? Makananmu pasti enak kok! Aku yakin...]
[ Audrey Piers
> Aku tak terlalu yakin..
> Tapi karena kau bilang begitu, aku akan belajar semakin giat agar masakanku bisa kau makan.]
[ Space1
> Aku pasti akan makan apapun yang kau buat! Sungguh!]
Spencer cukup jarang menggunakan tanda seru dalam percakapan, mungkin ini karena mereka terlalu lama tidak berkirim pesan, mungkin juga karena Spencer merasa hari ini cukup menyebalkan, atau memang karena terlalu senang saja. Yang manapun tidak penting, asalkan dia bisa mengobrol sedekat ini dengan kekasihnya.
Terkadang tidak terlalu penting apa yang menjadi topik pembicaraan. Itu semua tergantung lawan bicara. Sangat susah menemukan seseorang yang dapat membuatmu nyaman hanya dengan melihat pesan balasan. Tanpa suara, tanpa sentuhan, tanpa hubungan fisik lain, hubungan semacam ini pun tidak masalah bagi Spencer. Karena, dia telah menemukan tempat paling nyaman baginya. Sebuah rumah, bukan secara harfiah, seseorang yang dapat secara ajaib mengubah suasana hati dari paling buruk menjadi sangat senang.
Seperti opium, rasa rindu ini telah berubah menjadi candu. Tidak dapat ditahan apalagi digantikan oleh hal lain. Rindu yang berefek pada kurangnya fokus pikiran dan lebih sulit mengendalikan diri. Spencer tak peduli seperti apa sosok di balik akun Audrey ini, selama dia merasa nyaman, semuanya akan baik-baik saja.
[ Audrey
> Hari ini aku kesal sekali~]
Alis si pria reflek terangkat, kenapa bisa mirip? Apakah hanya kebetulan suasana hati mereka saling berhubungan? Jika yang satu merasa kesal, lalu lainnya akan merasa hal yang sama? Bolehkah dia berharap jika mereka sungguh berjodoh?
[ Space1
> Apa yang membuatmu kesal? ]
Pria sejati tak akan ikutan mengeluh ketika pasangannya sedang berkeluh kesah, tidak mencoba beradu nasib tetapi menjadi pendengar paling baik di dunia. Orang nomor satu yang selalu ada di sisi kekasihnya. Begitu yang tengah Spencer lakukan, meskipun dia berteriak keras-keras dalam hati jika mereka adalah belahan jiwa sejati. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, tentu saja harus begitu.
[ Audrey
> Temanku.. dia tak terlalu menyukai hubungan kita, menganggap kita hanya bermain rumah-rumahan tanpa kejelasan~]
Lihat, bahkan Audrey memiliki teman pengganggu sama dengan Spencer. Teman yang tidak menyukai hubungan mereka dan selalu mengatakan hal-hal buruk mengenai hubungan jarak jauh dan ketidakjelasan. Kami benar-benar berjodoh! Spencer berteriak di dalam isi kepala.
[ Space1
> Seorang temanku juga mengatakan hal yang sama
> Jadi apa kita harus membuktikannya? ]
[ Audrey
> Mereka memang benar-benar menyebalkan
> Eh?? ]
Pesan terakhir Spencer terkirim bebarengan dengan pesan pertama Audrey.
[ Space1
> Yeah.. mungkin aku bisa berkunjung ke tempatmu, membuktikan kalau aku bukan orang jahat yang menipumu? ]
Ini gila. Alan pasti akan berkata demikian. Namun tampaknya isi pikiran Spencer sudah dipenuhi oleh bagaimana pertemuan mereka.
Di bawah langit cerah, angin berhembus lambat menyapu permukaan kulit yang tak tertutupi pakaian. Menerbangkan helaian rambut. Kedua pasang mata saling bertemu satu sama lain di tengah-tengah taman, penuh bunga, harum semerbak.
Senyum cerah, tawa riang, mengiringi langkah mereka saat menyusuri taman. Berbincang dengan santai, membicarakan banyak hal. Sesuatu yang cukup sederhana, namun ini lah harapan paling besar Spencer selain berhasil menjadi model.
Dia sangat penasaran bagaimana pertemuan mereka nanti. Siapa sosok di balik akun Audrey ini. Bagaimana senyumnya, seperti apa suaranya terdengar, dan lagi apakah sosok ini tetap membuatnya berdebar kencang ketika sedang bersama?
Isi kepalanya sangat penuh, nyaris meledak.
[ Audrey
> Bertemu? Langsung? ]
[ Space1
> Iya, aku rasa jarak tidak terlalu mengganggu untukku. Kalau aku tidak sibuk, aku akan mampir ke tempatmu dan kita bisa mengobrol secara langsung. ]
Tidak ada balasan langsung dari Audrey. Ini sedikit membuat Spencer gelisah. Apakah dia terlalu memaksa? Apakah permintaannya ini malah membuat ketidaknyamanan? Apa dia terlihat seperti orang mesum? Penjahat kelamin?
[ Audrey
> Aku tidak tahu kalau itu adalah hal bagus. ]