Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 15 - Kepastian Atau Keraguan

Chapter 15 - Kepastian Atau Keraguan

'Aku tidak tahu kalau itu hal bagus'.

"Tentu saja.." monolognya. "Siapa yang akan berani mengiyakan ajakan orang asing?"

Dalam kesendiriannya, Spencer menghabiskan waktu untuk berpikir dan berbicara sendiri. Terbesit perkataan Alan beberapa saat yang lalu, tentang siapa sosok sebenarnya di balik akun Audrey ini. Apakah bukan seperti yang dia pikir? Apakah ucapan Alan benar-benar kenyataan? Bahwa bisa saja sosok 'Audrey' yang selama ini dia kencani merupakan orang jahat? Atau sekedar nenek-nenek kesepian? Mungkin juga lelaki penyuka sesama jenis?

Entah. Yang mana pun bisa menjadi kenyataan.

Tetapi, apakah pantas dia berpikiran buruk padahal dia sendiri juga tak mengatakan kebenaran perihal sosoknya pada 'Audrey'. Mereka sama-sama saling menutupi identitas, dengan alasan masing-masing tentunya. Bisa saja 'Audrey' tak ingin bertemu karena takut pada Spencer, mencurigai bahwa Spencer bukanlah orang baik-baik.

Pada dasarnya, mereka saling mencurigai satu sama lain. Tidak mudah mempercayai orang yang hanya dikenal lewat sosial media.

Ini membuat Spencer semakin dilema. Di satu sisi dia sangat berharap bisa bertemu dengan 'Audrey', bisa mengetahui sosok aslinya yang sudah membuat Spencer jatuh hati. Tetapi di sisi lain, Spencer juga tak ingin sesuatu yang buruk terjadi jika dia nekat bertemu dengan orang yang belum dia kenal secara langsung.

Pada saat-saat seperti ini, dia membutuhkan kehadiran Alan sebenarnya. Alan mungkin terlihat selalu tak menyukai hubungannya dengan 'Audrey', tetapi hanya pria itu yang paling bisa diandalkan untuk hal-hal semacam ini. Perkataannya meskipun terdengar kejam, namun kadang itu lah yang terjadi pada kenyataan. Alan memiliki peran penting dalam hidupnya, termasuk tentang karir. Orang yang pertama kali menyadri potensi dalam diri Spencer, juga sebagai orang yang mampu mengenali patner kerja mana paling baik. Menarik keluar Spencer ketika dirinya hampir tertipu dan akan berakhir sebagai model majalah dewasa.

Spencer melirik jam di pojok bawah MacBook. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, ini terlalu larut untuk menghubungi Alan. Lagipula, pria itu pasti langsung menyemburnya dengan segala macam makian yang merujuk pada betapa kurang ajarnya Spencer karena telah mengganggu waktu tidurnya.

"Ku rasa, akan ku simpan sampai besok."

Menaruh kembali MacBook ke laci kedua meja nakas sebelum beranjak ke kamar mandi. Spencer membutuhkan air dingin untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya. Hari ini terasa melelahkan dengan segudang jadwal padat juga beban pikiran yang tak bisa dilupakan begitu saja. Ketika hidupnya terasa menyesakkan, mengobrol bersama orang terkasih adalah jawabannya. Tetapi, apakah hubungan ini benar? Atau hanya dirinya saja yang menganggap ini lebih serius daripada sekedar bertukar pesan dengan orang asing di sosial media.

Ternyata air dingin tak cukup membantu. Spencer keluar dengan handuk di atas kepala. Pakaiannya telah berganti dengan kaos polos berwarna putih dan celana pendek —boxer— hitam lumayan ketat. Setelah berganti-ganti dengan berbagai jenis pakaian yang terlihat mewah namun juga ribet, memutuskan menggunakan pakaian santai adalah ide paling baik.

Spencer melewatkan sesi mengeringkan rambut dengan hairdryer. Dia duduk di tepian ranjang, memandang ke arah laci kedua meja nakas —tempat Macbooknya tergeletak— sembari mengeringkan rambut dengan handuk putih. Ini memakan waktu lama, tetapi cukup bagus karena dia tak perlu mendengar suara bising dari mesin hairdryer, ataupun membuat rambutnya semakin rusak karena terpapar udara panas berlebih.

Semua rasa penat ini berujung pada kantuk luar biasa. Matanya seolah digantungi besi berat, membuatnya ingin sekali menutup.

Pada akhirnya Spencer menyerah. Dia membaringkan tubuh di atas ranjang King size meskipun rambutnya masih dalam keadaan basah.

.

.

.

.

"Oh tidak.. apa yang harus ku katakan.."

Si gadis tengah sibuk dalam pikirannya sendiri. Mempertanyakan tindakan yang baru saja dia lakukan, apakah sudah benar atau ini malah menimbulkan kekeliruan yang tak bisa ditarik kembali. Tali sudah terikat, umpan sudah dimakan, apa yang bisa dia tarik? Sekedar mengucapkan maaf? Tetapi bukan itu jawaban sesungguhnya.

Hatinya tengah berada di ambang antara ragu dan menyesal. Apa yang harus dia lakukan jika kekasihnya mengajak bertemu? Harusnya dia senang, tetapi mengapa malah menimbulkan konflik batin berkepanjangan?

Casie baru saja melakukan penolakan. Halus memang, namun tetap saja itu sebuah penolakan. Penolakan yang bisa diartikan menjadi dua hal, tidak siap dan menunggu atau benar-benar menuju pada akhir. Sendirian di selimuti perasaan bingung, apakah wajar mengajak bertemu meski belum saling mengenal pribadi masing-masing? Oh, padahal Casie sendiri yang menggembar-gemborkan bahwa dia sudah terlalu siap untuk Spencer. Lebih dari apapun.

Dan kini, dia malah mendapati dirinya mengirim pesan penolakan pada sang kekasih. Bukankah ini sama saja mengiyakan ucapan Carla? Dia tengah meragu, pada hubungan ini, pada Spencer yang sebenarnya tak cukup dia kenali. Seseorang menggunakan akun Spencer, berpura-pura menjadi model tampan, padahal sebenarnya bukan?

Bagaimana jika orang itu adalah kakek-kakek tak sadar umur? Seorang pedhopilia? Penjahat kelamin? Orang yang bertanggung jawab atas human trafficking?

Casie butuh seseorang untuk menampung keluh kesahnya. Seseorang yang jelas paham tentang masalah ini.

Tak perlu berpikir dua kali untuk mendapati dirinya tengah mendekatkan ponsel ke telinga, menunggu dengan sabar bunyi statis berganti suara seseorang. "Angkat lah Carla... Kemana sih anak ini? Biasanya juga sedang baca komik." Baiklah, ralat, menunggu tak sabar.

[Apa?]

Suara serak seorang gadis terdengar malas dan kesal. Seolah baru saja terbangun dari tidur, atau memang itulah yang terjadi.

"Aku sedang bingung—"

[Maka tidur lah!] Carla menanggapi keras bahkan sebelum Casie menyelesaikan ucapannya. Jelas sekali jika gadis itu tak ingin di ganggu. [Sama seperti yang sedang ku lakukan sebelum kau mengganggu.] tambahnya lagi.

"Oh ayolah.. Bukankah kita teman? Kau harus membantuku! Beri aku saran!"

[Teman macam apa yang menggangu tidur temannya huh? Lagipula, bukankah kau tak peduli dengan saran-saranku?]

Casie meringis setelah mendengar respon Carla. Tetapi dia tak ingin memutus panggilan ini, lebih baik mendengarkan ocehan kesal Carla ketimbang berakhir dengan tak bisa tidur karena rasa penasaran menghantui malamnya. "Well, ini sangat penting. Aku tak tahu apakah yang ku lakukan ini benar atau tidak."

[Apa? Kau baru saja menerima lamaran dari kekasih tak kasat matamu?]

"Bukan itu! Lebih tepatnya aku menolak—"

[Serius?! Dia melamarmu lewat sosial media? Benar-benar pengecut!]

"Hey.. tenang dulu.." Casie menggigit bibir bawahnya. Mulai tak yakin dengan keputusannya menghubungi Carla. Tetapi ini terlalu buntu jika harus diselesaikan sendiri. Casie tak ingin menjadi dungu, bertindak bodoh seperti ketika dulu. Satu keputusan kecil bisa menjadi pengaruh besar di masa depan. Entah bagus maupun buruk. "...Dia bukannya melamarku, hanya ingin mengajakku untuk bertemu secara langsung."

Ada keheningan tercipta setelah Casie mengungkapkan. Bahkan suara gadis di seberang sana terdengar menghilang. Casie melihat layar ponsel, mengecek panggilannya masih terhubung atau terputus secara sepihak. Nama Carla masih muncul pada layar, panggilan harusnya masih berlanjut namun suara gadis itu sama sekali tidak terdengar.

"Hal—"

[WHOAA!!... KAU AKHIRNYA SUDAH WARAS!!..]

Seketika Casie menjauhkan ponsel dari telinganya lagi tepat saat Carla berteriak heboh.