Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 13 - Terputus Tiba-tiba

Chapter 13 - Terputus Tiba-tiba

"Kau tahu kalau aku tidak akan mempedulikan ucapan dari seorang jomblo?"

Skakmat.

Spencer menusuknya terlalu dalam, hingga Alan kehilangan kata-kata. Bergeming dengan wajah menegang seperti ditelanjangi bulat-bulat di tengah jalan raya pada siang yang terik lalu disiram oleh air keran. Begitu kira-kira perasaan Alan setelah mendengar penuturan dari si model sialan.

"Kau sakit."

Makian sudah tidak berguna bagu Spencer, karena yang ada di pikiran pemuda itu hanyalah sebaris kalimat balasan pesan dari gadis di seberang sana (Spencer meyakini jika akun kekasih onlinenya dimiliki oleh gadis sungguhan.

"Bisa-bisanya kau jatuh cinta pada yang palsu dan mengabaikan yang asli." Spencer membiarkan Alan tenggelam dalam asumsinya. Seolah-olah si Manajer hanya sekedar suara tv yang biasa dinyalakan namun enggan ditonton. Terabaikan dengan cara paling menyakitkan. "Kau bahkan langsung pergi meninggalkan si Audrey asli hanya untuk berkirim pesan dengan Audrey jadi-jadian."

Kali ini ucapan Alan sukses membuat Spencer mengalihkan perhatiannya dari layar MacBook. Tidak ada pertanyaan secara harfiah, tetapi sorot mata pemuda tampan itu cukup menjelaskan bagaimana dia tidak paham dan penasaran atas perkataan Alan barusan.

"Well, aku tak akan menghakimi sikap anti sosialmu pada para staf atau rekan model lain." Alan mengangkat kakinya ke atas meja untuk dia luruskan. "Tetapi ini sudah keterlaluan, bagaimana kau tidak mengenali Audrey Piers barusan?" Tatapan Alan berubah menghakimi, seakan Spencer baru saja melakukan tindakan kejahatan.

"Maksudmu— Ah~" Kilas balik kejadian saat di lorong apartemen beberapa saat lalu kembali berputar. Ketika Spencer keluar dari dalam lift, berbalik badan hendak mengecek keberadaan Manajernya, kemudian terjadilah tabrakan kecil yang membuat seorang gadis jatuh terduduk. Gadis berkulit putih pucat yang wajahnya tidak terlalu terlihat. Entah karena helaian rambut panjang hitam menutupi hampir seluruh wajahnya, atau memang Spencer terlalu tidak peduli hingga tidak ingat sosok itu secara jelas. "Iya aku ingat."

"Kau tidak mengingatnya," tuduh Alan. Tepat sasaran. "Masa kau mengabaikan orang secantik itu?! Mengabaikan Audrey yang asli hanya untuk orang tidak jelas di luar sana?! Kau sakit Spencer! Sakit!"

Spencer hanya mengangkat bahu. Tidak peduli dan memilih kembali pada kesibukannya berbalas pesan. Mungkin selama nanti IPhone miliknya belum menyala, dia akna menggunakan MacBook ini sebagai alat bertukar pesan. Mungkin saja dia akan membawa serta kemanapun, bahkan ke tempat kerja.

"YAH!"

Alan terlonjak kaget saat mendengar teriakan keras datang dari Spencer. "Apa sih?! Mengagetkanku saja!" ujarnya sembari memegangi dada bagian kiri. Mengira jantungnya bisa saja melompat keluar.

"Ini semua gara-gara kau!" tuding Spencer bersungut-sungut. Pupil matanya melebar dan suara nafasnya terdengar memburu. Persis seperti banteng ketika berhadapan dengan Matador.

Alan tentu saja tidak terima, apalagi dia tak tahu dimana letak kesalahannya. "Apa?! Kau tak terima ku sebut pesakitan?! Kalau begitu kembalilah ke kehidupan yang nyata Bung!"

"Ini gara-gara kau membahas Audrey itu!" desis Spencer. Matanya menatap nyalang ke arah si Manajer. "Kekasihku jadi tidak membalas pesan! Dia pasti tahu kalau kau sedang menyuruhku mencampakannya, dia pasti tahu! Kami saling mengetahui satu sama lain."

"Wah wah.." Alan tersenyum getir sembari memijit pangkal hidungnya. "Kita kosongkan jadwalmu besok. Kita akan membawamu ke Psikolog! Kau harus diobati secepatnya!"

.

.

.

.

.

"Taruh ponselmu dan turun, makanan sudah siap," ujar wanita paruh baya di ambang pintu dengan suara keras. Cukup mengejutkan si gadis di atas ranjang.

"Mama!" Casie segera menegakkan duduknya. Kemudian menyadari betapa berantakan isi kamar, terutama bagian ranjang yang sudah persis seperti diterjang badai. "Sejak kapan Mama ada di sana?" tanya gadis itu seraya turun untuk mengambil selimut juga bantal yang jatuh, tak sengaja dia tendang.

Helaan nafas terdengar, tampaknya wanita itu sudah terlalu lelah untuk berteriak mengenai perlunya menjaga kerapihan dalam kamar sendiri. "Cepat turun atau tidak ada makan malam untukmu."

"Se—sebentar!"

Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka, selalu begitu. Barangkali ibunya berpikiran Casie bisa saja mengabaikan perintah jika pintu kamarnya kembali tertutup. Semua remaja memiliki sifat berontak mereka masing-masing. Tetapi Casie bukan bagian dari itu semua. Untungnya dia masih cukup waras untuk menuruti perintah sang ibu daripada tidak makan sampai pagi. Kalau boleh jujur, itu adalah mimpi buruk baginya.

Casie tidak seperti gadis remaja pada umumnya yang selalu menggembar-gemborkan menjaga pola makan ataupun membatasi asupan kalori dalam tubuh. Tidak terlalu memperhatikan penampilan, dalam artian memiliki pikiran lebih positif karena dia tak mempedulikan pendapat orang lain. Makan adalah salah satu cara manusia mendapatkan kebahagiaannya, begitu yang dipikirkan oleh Casie.

Setelah menata kembali barang-barang yang tadi tergeletak di lantai —memasang ulang seprei serapi mungkin, melipat selimut, meletakan bantal ditempat yang tepat— Casie baru saja ingin berjalan keluar sebelum terhenti di hadapan cermin lemari. Benda itu memantulkan penampilannya yang cukup berantakan. Ini buruk, dengan cepat merapikan kembali kusut di beberapa bagian sebelum melesat keluar.

Pintu kamar dibiarkan terbuka begitu saja. Seperti apa yang dilakukan oleh sang ibu.

"Jangan berlarian di dalam rumah."

Nasihat pertama ketika Casie baru saja menapaki ruang makan. Ibunya berdiri membelakangi, tampak sedang mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. Soup? Atau masakan dengan kadar air lumayan tinggi. Bisa dilihat saat uap panas yang membumbung tinggi keluar dari dalam panci.

Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.

"Jangan bilang kalau ada wortel di dalam sana?" tanya Casie dengan tatapan menelisik. Instinya tak pernah salah, dan dia benci akan itu.

"Makan saja dan jangan cerewet," sahut sang ibu sembari menuangkan kuah berwarna agak keruh dengan berbagai isian di dalamnya. Ada bakso dan juga udang di antara semua sayuran yang ada, tetapi Casie tak bisa mengalihkan pandangan dari bongkahan berbentuk dadu warna jingga yang tenggelam dalam kuah.

Oh tidak.

"Saus tartar!" Dia mendapatkan kosa kata itu dari salah satu temannya di dunia RP. Yang kebetulan merupakan penggemar berat kartun Spongebob. "Apapun itu tak masalah asal jangan wortel~" Casie mengiba. Wajahnya dibuat seolah-olah dia adalah korban dari tindakan kejahatan paling sadis. Teraniaya.

"Kau harus makan ini juga, sayang~" Ucapan manis itu berbanding terbalik dengan intonasi suara yang penuh penekanan. Sebuah ancaman tersirat, 'makan saja atau tidak sama sekali'.

"Tapi Ma—"

"Ini agar penglihatanmu menjadi baik, kau tidak sadar menghabiskan lebih banyak waktu menatap layar ponsel? Apa kau ingin berakhir buta ketika seusiaku?" Itu bentuk perhatian kalau saja tidak ada kalimat menakut-nakuti di akhir.

Sayuran sudah berpindah dari panci ke mangkuk bening dihadapannya, mau tak mau Casie harus menelan apa yang telah disodorkan. Meski dia harus beratus-ratus kali membayangkan daging asap, iga bakar, atau apa saja demi menutupi rasa aneh dari sayuran berwarna jingga ini.