"Kau tidak serius kan?"
Alan sungguh berharap bahwa ini candaan belaka, bahwa sekarung beras tepat di depan kakinya tidak harus dia angkut ke lantai atas sendirian.
"Hooaam~ Aku lelah sekali, duluan yah~" Spencer berlalu begitu saja setelah merenggangkan kedua tangannya, berakting seolah dia hendak menuju ranjang untuk tidur saat ini juga. Meninggalkan Alan yang masih berdiri di samping mobil mereka. Tidak sendirian, karena ada sekarung beras yang harus di angkut ke lantai atas.
"Sialan!" Meski begitu, Alan tetap menggendong sekarung beras ke depan dada. Menggunakan seluruh otot-otot tubuh untuk mengangkat beban seberat sepuluh kilo menuju lobi apartemen. "Akan ku tuntut dia! Aku bersumpah akan menuntutnya!!"
Teriakan kesengsaraan itu tak sampai ke telinga Spencer, karena pemuda itu sudah lebih dulu masuk ke dalam lift. Pintu tertutup saat kotak besi persegi itu membawa serta seorang pemuda di dalamnya untuk naik ke lantai atas.
Apartemen elit dengan dinding-dinding mulus, tanpa ada satupun cat mengelupas, apalagi tembok yang rontok. Tak pernah ada keluhan mengenai kebocoran, meski hujan badai melanda di luar. Lukisan bergaya abad pertengahan, gotic dan eksentrik, dipajang di seluruh dinding. Lorongnya tidak pernah gelap, lampu-lampu selalu menyala sangat terang. Pintu-pintu yang berbaris rapi di sepanjang lantai tak terhitung jumlahnya, sama seperti lantai gedung ini. Meski hampir seluruh unit apartemen diisi, hubungan timbal balik antara setiap manusia cukup kurang disini. Tidak ada yang ingin mencampuri urusan orang lain, tidak pula ingin dicampuri kehidupan pribadinya.
Kemewahan milik pribadi, begitu juga dengan privasi masing-masing.
Pintu lift terbuka, bersamaan dengan keluarnya pemuda tampan dari dalam sana. Berjalan cepat-cepat untuk sampai ke dalam apartemen miliknya. Kaki panjangnya melangkah lebar-lebar dan cepat.
Waktu terus berjalan, tidak membiarkan sesiapapun untuk beristirahat barang sebentar. Karena kalau saja satu bagian dari kehidupan berhenti melaju, yang lain juga mengikuti. Timbal balik, begitulah cara kerja kehidupan. Hukum alam membentuk berbagai partikel tanpa kesempurnaan, bergantung dengan lainnya secara sadar maupun tidak.
Seperti jaringan kabel-kabel yang salinng berpilin satu sama lain. Menjadi satu dengan untaian ruwet.
Jaringan internet.
Tempat paling luas di jagat raya —secara nyata dan bukan praduga semata— memiliki penyimpanan data paling besar di bumi. Melingkup data pemerintah dan rakyat sipil lainnya. Dan, tentu saja data percakapan satu orang dengan yang lain. Mereka masih ada di sana. Hanya butuh beberapa digit angka dan huruf, perpaduan pas untuk membuka aplikasi chatting yang juga terlampir di perangkat komputer.
Setidaknya masih ada yang satu itu. Karena jika harus menunggu sampai ponselnya menyala lagi, perlu waktu beberapa hari. Yang mana berarti ada satu gadis terabaikan di luar sana, menanti pesan tak kunjung datang. Dan, Spencer akan menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa bertanggung jawab dalam sebuah hubungan.
'Hubungan yang konyol!'
Spencer bisa membayangkan bagaimana Alan memaki di belakang sana, dengan wajah merengut dan sekarung beras di gendongan.
Si model tampan itu berbalik badan, menoleh ke arah belakang tempat dimana Alan seharusnya berjalan tertatih-tatih.
"OY! CEPATLAH!" teriakan Spencer menggema di lorong sepi, memantul dari dinding-dinding lebar yang penuh ukiran nyentrik. Si pemilik gedung bisa dipastikan mempunyai selera tinggi dalam seni bangunan. Membuat setiap bagian di dalam gedung, bahkan hanya lorong, terasa lebih mewah daripada gedung Presiden.
Tidak ada tanda-tanda kedatangan Alan. Tidak menyahut, tidak pula memaki. Padahal, sekalipun mereka berteriak-teriak lantang tidak ada yang akan mengintrupsi. Dinding-dinding ini seperti menutup telinga mereka, menjauhkan para pemilik dari setiap unit dari dunia luar. Memerangkap dalam dunianya masing-masing tanpa peduli apa yang ada di luar sana.
Spencer mendengus. 'Tidak ada waktu lagi'. Sebelum membalikkan tubuh atletisnya lagi, berjalan menuju unit apartemen miliknya. Hanya perlu beberapa langkah, sekitar tiga kali melewati pintu-pintu lain untuk sampai di depan pintunya.
Kalau saja tidak ada halangan, kalau saja sikap tergesa-gesanya ini tak berujung pada tubrukan dengan orang lain.
"Ouuch!"
Semua terjadi terlalu cepat. Seperti kilatan cahaya, jepretan blitz kamera yang menghujani di dalam studio photo. Hanya dalam sekali kedip dan Spencer mendapati seorang gadis berada di depan kakinya. Terduduk dengan siku menopang tubuh, setengah berbaring. Mungkin karena tubuh Spencer cukup proposional untuk tak limbung ketika bertabrakan dengan seseorang, atau gadis ini yang terlalu lemah.
Bagaimanapun pihak yang jatuh adalah korban. Spencer membungkukkan badan, mengulurkan tangan ke depan wajah si gadis.
"Kau tidak apa-apa?" Seperti kebanyakan pertanyaan dasar. Siapapun pasti langsung menduga ini hanyalah sekedar basa-basi. Terutama karena wajah Spencer tak menunjukkan simpati atau semacamnya.
Gadis itu mendongak, sebagian wajahnya tertutupi oleh poni. Helaian rambutnya hitam dengan ujung berwarna ungu, tergerai menutupi setengah bagian depan dari tubuhnya. Gadis itu memiliki warna kulit sama persis dengan gaun yang dia pakai, putih.
"Tidak apa-apa.." ujarnya cukup lirih. Tetapi masih cukup terdengar oleh Spencer karena jarak mereka lumayan dekat. Manik berwarna hijau terang mengerjap di balik helaian poni yang menutupi wajahnya, tidak terlalu terlihat dengan jelas. Gadis itu menatap uluran tangan Spencer sebelum meraihnya. "Terimakasih.." Ucapan singkat ketika tubuhnya telah terangkat berkat bantuan Spencer.
"Sekali lagi maafkan aku.."
Gadis itu tersenyum simpul. Dia menyeka beberapa helai rambut yang menutupi wajah, menautkan helaian itu ke telinga. Kini wajah itu sudah sepenuhnya terlihat. "Kau tidak harus—"
"HEY KEPARAT!"
Sebuah teriakan -umpatan keras- sukses membuat keduanya sontak menoleh ke sumber suara. Ujung lorong, tempat keluar dan masuknya orang ke dalam lift, seseorang baru saja menapaki lantai dan mengumpat kencang seperti tarzan.
"BERANI-BERANINYA KAU MENINGGALKAN-ku.." Seruan Alan menjadi lirih seiring mendekat ke arah Spencer, yang awalnya dia kira hanya sendirian ternyata ada orang lain di belakang tubuh pemuda itu. Seorang gadis berkulit putih dan bermata hijau terang. Bidadari. "Y—ya! Serahkan saja beras ini padaku! Kau tak perlu mengkhawatirkanku! Aku ini lebih kuat dari yang terlihat~"
Spencer menautkan kedua alis, menatap dari ujung kepala hingga kaki pria yang membawa sekarung beras dalam gendongannya. Lalu beralih pada gadis korban tabrakan tadi.
'Ah.. ini ternyata..'
"Apasih dasar aneh," celetuk Spencer. "Jangan biarkan dia menggodamu," katanya pada gadis bergaun putih. Sebelum berlalu tanpa rasa bersalah.
"HOY!"
Teriakan Alan masih terdengar di belakang sana. Spencer sama sekali tak menghentikan langkah ataupun berbalik ke belakang. Waktu tetap berjalan, dan sialnya dia telah membuang beberapa menit karena kejadian tabrakan tadi.
'Sial! Semoga saja cepat!'
Mengeluarkan kartu dari dompet, menggesekan kartu pada kotak besi di pintu, bunyi 'Pip' terdengar setelahnya. Spencer mendorong pintu tersebut tak sabaran. Sudah persis seperti orang yang kebelet buang air.
Pemuda itu membuka asal sepatunya tanpa menggunakan tangan. Menginjak bagian belakang sepatu dengan kaki lainnya, menarik kaki satunya, hingga terlepas sempurna dari sepatu. Dia berlari menyusuri selasar apartemen, mencari benda persegi ramping yang keberadaannya menghilang. Selalu begitu, barang selalu akan menghilang ketika sedang dibutuhkan.