Waktu berjalan semestinya, tidak bertambah lambat ataupun dipercepat. Hal berbeda dirasakan oleh gadis yang sedari tadi terpaku menatap layar ponsel. Meskipun sudah ada peraturan tertulis bahwa setiap murid tak diperbolehkan membawa ponsel, dalam keadaan apapun, bahkan ketika terdesak. Teknologi memang membuat kemudahan di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menemukan jawaban, atau bertukar pesan saat jam pelajaran berlangsung. Itulah yang mendasari pengurus sekolah membuat peraturan —yang dinilai sangat mengikat dan kolot di negara maju ini.
Cassandra sudah menghela nafas, mendorong masuk ponselnya lebih dalam ke laci meja, berusaha fokus pada catatan spidol hitam di papan tulis putih di depan kelas. Dan, itu telah berlangsung beberapa kali karena dia sama sekali tak bisa fokus.
Jam istirahat telah berakhir, bahkan sebentar lagi bel pulang berbunyi. Namun tidak ada pesan masuk dari kekasih RP nya (read; Roleplay).Sekedar pesan singkat, mengirim stiker, atau GIF juga tidak ada. Casie telah mengecek itu seharian, malahan dia lebih memperhatikan perubahan waktu yang berubah semenjak terakhir kali mereka berkirim pesan.
Casie menoleh ke arah Carla, pandangannya menelisik seperti mesin pemindai. Menganalisis barangkali gadis itu melakukan sesuatu yang mencurigakan terhadap ponselnya tadi siang. Membuka aplikasi pesan, mengirim hal tidak terduga kepada 'Space1' dengan kalimat berkonotasi negatif yang membuat kekasih RP nya itu menjauh tanpa memberi kabar.
Kalau itu sungguh terjadi, Casie bersumpah akan mengumpulkan serangga-serangga di halaman belakang rumahnya, menempatkan dalam satu wadah, dan menumpahkan isinya tepat di atas ranjang Carla.
Mata dibalas mata, atau kalau bisa lebih kejam.
Setelah bel jam pelajaran berakhir menggema di seluruh sekolah, saat guru di depan kelas mengakhiri sesi pembelajaran meskipun tahu tak akan ada murid yang memperhatikan karena sibuk mengepak barang masing-masing untuk kemudian berjejalan keluar kelas, Carla mendatangi bangku Casie dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ayo!" Carla langsung memeluk lengan kanan Casie saat dia masih sibuk menggeser layar ponsel.
"Lepas. Kau mengganggu," ujar Casie berusaha menjauhkan diri. Mendorong bahu Carla lumayan kencang hingga membuatnya mundur beberapa senti. Tidak terlalu banyak, tetapi berhasil membuat Carla melepaskan rengkuhannya.
Si gadis berambut sebahu merengut, memberikan tatapan kecewa seolah-olah Casie telah melakukan pengkhianatan besar terhadap negara. "Jangan katakan kalau kau melupakannya?" Pertanyaan bernada tuduhan terlontar bersamaan dengan jemari telunjuknya mengarah tepat di depan wajah Casie.
Biasanya orang akan terganggu, menepis jari telunjuk di depan wajahnya karena menganggap itu bukanlah hal sopan ketika berbicara dengan seseorang. Tetapi Casie justru sama sekali tak melihat ke arah Carla. "Apa?" Bahkan pertanyaan tersebut lebih terkesan seperti meminta sebuah pengulangan.
"Oh my~" Carla menepuk dahinya secara dramatis. Menatap tajam ke arah temannya itu yang dibalas dengan gedikan bahu tidak peduli. "Serius? Kau melupakan janjimu untuk bertemu dengan Dennis? Yang benar saja.."
"Lagipula bukan aku yang membuat janji itu kan," balas Casie datar. Kemudian senyuman lebar menghiasi wajahnya saat sebuah notifikasi muncul sebaga pop up pada layar ponsel. Notifikasi yang sedari tadi dia tunggu-tunggu. "Yosh! Aku pulang dulu—"
"Eiits!" Carla menarik lengan Casie, menghentikan langkah gadis itu yang hendak pergi. "Jangan kabur kau!"
"Siapa yang kabur? Aku mau pulang."
"Kau berjanji padaku untuk bertemu Dennis, atau kau mulai terbiasa dengan 'gangguanku' selama ini dan tak ingin berakhir?" Carla tersenyum lebar sembari menaik-turunkan alisnya.
Itu peringatan sekaligus ancaman. Yang mana membuat Casie kebingungan. Dia sangat malas mampir ke suatu tempat sepulang sekolah, apalagi dengan Dennis. Tetapi ini satu-satunya cara mengakhiri aksi 'Mak Comblang' dari Carla. Setelah ini selesai, tidak ada lagi gangguan terhadap hubungannya dengan Spencer, tidak ada komentar negatif bernada sindiran yang selalu dia terima dari mulut menyebalkan Carla.
Hanya satu kali pergi dan semuanya selesai. Kehidupannya akan menjadi damai sejahtera. Toh, Casie yakin kalau Dennis pasti langsung merasa risih setelah mereka bertemu nanti. Dia hanya perlu melakukan hal-hal apa saja yang dibenci para kaum lelaki bukan?
Ide bagus. Kau sangat jenius Cassandra.
"Ya sudahlah.."
Carla tampak berseri-seri, menggandeng tangan Cassandra keluar kelas. Langkah mereka beriringan membentuk irama padu, seperti sebuah metronome. Bergerak konstan satu sama lain. Hanya satu yang membedakan. Raut wajah dua gadis itu bertolak belakang. Carla dengan pipi menonjol karena tersenyum lebar, sementara Casie bersikap biasa saja dengan pandangan terpaku pada ponsel miliknya.
Terkadang, saat Casie hanya berjalan sendiri tanpa seseorang menemaninya, dia mirip seperti zombie atau seorang autis -ini kata Carla- karena selalu memelototi layar ponsel hampir setiap waktu, dimanapun dan kapanpun. Guru-guru bahkan sudah terlalu biasa ketika mendapati nama Cassandra Stephenson ada di daftar paling atas dari murid-murid yang ponselnya disita karena ketahuan bermain ponsel saat pelajaran berlangsung.
Generasi Millenial memang selalu menggunakan alat teknologi untuk memudahkan setiap pekerjaan mereka. Tetapi Casie telah melampaui batas. Tidak bisa dipisahkan dengan benda persegi tipis itu seperti kembar siam. Selalu menempel kemanapun.
Barangkali itulah yang menguatkan rencana Carla untuk menyembuhkan temannya dari kecanduan pada ponsel. Apalagi saat mengetahui Casie ternyata telah menjalin hubungan dengan siapapun itu dari sosial media. Orang tak dikenal, yang bahkan wajah aslinya saja tidak ditampakan, hanya bersembunyi dibalik nama seorang selebriti. Sialnya orang tidak jelas itu berhasil membuat Casie lebih kecanduan pada ponsel.
Ini tidak bisa dibiarkan!
Begitulah batin Carla.
Tempat parkir sudah terlihat dari tempat mereka berdiri, Dennis barusan mengirim pesan bahwa dia ada di area parkir, di dalam BMW X1.
Koridor sekolah yang lumayan sempit semakin terasa sesak saat jam pulang. Beberapa murid secara tidak resmi berlomba keluar dari sekolah —mereka menganggapnya sebagai tempat paling membosankan— sementara yang lain malah asik melakukan pendekatan terhadap murid lainnya. Ada juga para pecinta olahraga, klub basket yang berjalan dengan wajah 'sok hebat' melewati koridor sempit. Sengaja melangkah secara lambat demi mendengar sorak-sorai para murid lain.
Ruang yang sudah sempit semakin diperparah karena beberapa orang malah memberikan akses lebar pada tim basket sialan itu untuk lewat. Berjejalan ke sisi pinggir, yang mana membuat Carla serta Casie terdesak tak bisa lewat saking sesaknya.
"KAU MENGINJAK KAKI KU KEPARAT!"
"AKH! JANGAN JAMBAK RAMBUTKU!"
"MINGGIR! AKU MEMBAWA AIR PANAS!"
"SIAPA YANG KENTUT SEMBARANGAN HOY!"
Casie langsung memeruk erat ponsel berharga miliknya —jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri— agar tidak terjatuh dan terinjak-injak kerumunan masa. Sejenak Casie sadar bahwa lengannya terasa ringan, lalu dia berbalik ke tempat dimana seharusnya ada Carla di sana. Tetapi dia tak mendapati gadis itu dimanapun. "Akan Ku bunuh si kampret itu!"
Kesialan tak berhenti sampai situ saja, karena tak lama setelahnya sebuah tubrukan menghantam tubuh Casie. Sebenarnya bukan tubrukan kasar, hal yang lumrah ditemui ketika sedang berdesakan. Tetapi sialnya saat itu Casie sedang tak berpegangan pada apapun karena kedua tangannya sedang melindungi ponsel berharga —sangat berharga sampai dia rela menjual sebagian organ tubuhnya kalau seseorang mencuri ponsel tersebut.
Dan, Casie merasakan tubuhnya limbung.