Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 6 - Tidak Bisa Menolak

Chapter 6 - Tidak Bisa Menolak

Sepasang tangan kekar menahan tubuh Casie tetap di udara, tidak jadi terjerembab di lantai keramik yang kotor, tidak menjadi keset bagi murid lain yang tak sengaja menginjaknya. Siapapun orang ini, Casie perlu berterimakasih. Dia berhutang untuk itu.

"Kau tidak apa-apa?"

Suara ini. Tanpa perlu mendongak lagi Casie langsung mengetahui siapa lelaki yang tengah berada di belakang punggungnya. Menahan tubuh Casie agar tak jatuh dengan lengan besarnya itu terlihat sudah terlalu terbiasa menangani hal-hal semacam ini. Kebetulan yang menyebalkan.

Dalam sekali sentakan, Casie segera melepaskan tangan Dennis dari tubuhnya, berdiri dengan sempoyongan. Membiarkan kakinya —lembek karena tak sering berolahraga— menahan bobot tubuh agar tidak jatuh lagi. Lumayan susah, tetapi itu lebih baik ketimbang harus berada sangat dekat dengan pemuda ini.

"Kau tidak apa-apa kan? Kakimu, apakah sakit?" Dennis melontarkan pertanyaan lagi, seolah tidak akan berhenti sebelum mendengar jawaban langsung dari mulut Casie.

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Casie dengan senyum canggung.

"Maaf yah, ini gara-gara aku."

"Bukan salahmu kok," sahut Casie cukup keheranan pada pemuda satu ini. Kesalahan apa yang membuatnya harus minta maaf? Sudah jelas-jelas ini salah Carla. Kalau saja wanita ular itu menjaga mulutnya dan tak berkata apapun, dia tak akan terjebak di dalam situasi semacam ini. Terjebak, berdesak-desakan, lalu bertemu pemuda yang harusnya tak dia temui.

Casie mengedarkan pandangan ke seluruh arah, beruntung rombongan tim basket tadi sudah berlalu, yang berarti kerumunan masa sudah menghilang. Tidak ada tanda-tanda Carla. Gadis itu bagai menghilang di telan bumi. Raib entah kemana. "Carla sialan," desisnya.

"Kau bilang apa?" Dennis mencondongkan tubuhnya ke arah Casie.

"Eh.. Tidak!" Casie sontak mundur beberapa langkah, wajahnya sudah panik. Dia merasakan getaran dari benda yang ada di tangannya, sebuah notifikasi pesan dari sang kekasih. Casie tersenyum, namun hanya beberapa saat sebelum wajahnya kembali panik. Seolah dia baru saja tertangkap basah sedang bersama pria lain oleh kekasihnya.

"Hahaha.. Kau lucu sekali~" Dennis tertawa pelan sembari mengusak rambut gadis di depannya. Tawa yang pastinya bisa membuat gadis lain terpikat semakin lekat, tetapi tidak berlaku untuk gadis ini.

Casie masih memiliki sopan santun, dia tak langsung menepis secara kasar atau berwajah masam. Dia mundur beberapa langkah untuk menghindari jangkauan tangan Dennis. Penolakan secara halus ini ternyata berhasil. Karena kemudian tawa Dennis padam, terganti oleh senyum canggung. Tangan yang tadinya bergerak mengacak rambut Casie juga ditariknya mundur, dan kini berada di dalam saku celana bagian depan.

"Ayo ke mobilku—"

"Tunggu dulu," sela Casie cepat. "Kita harus menunggu Carla dulu, dia pergi ke toilet." 'Mungkin,' Casie hanya menduga-duga padahal dia sendiri pun tak melihat kapan Carla menghilang, atau ke arah mana gadis itu pergi.

Atau 'mungkin' ini semua memang rencana Carla. Mengucap sebuah janji, lalu menghilang seperti asap.

"Oh, baiklah.. Kita tunggu sebentar."

Dennis mengiyakan, meskipun dari wajahnya malah terlihat agak kecewa.

Namun, ini terlihat bagus bagi Casie. Dia jadi punya alasan untuk menunggu lebih lama dan membuat pemuda ini gusar, lalu Dennis sendiri lah yang akan memutuskan pendekatan mereka. Casie jadi tak perlu memikirkan alasan menolak, salahkan saja pada Carla. Toh memang dari awal ini salah gadis itu.

"Maaf yah, Aku tak enak kalau pergi tiba-tiba tanpa memberitahunya. Kita kan bertemu sekarang karena dia."

Benar, begitu Casie. Bersikap baik dan manis, lalu limpahkan semuanya pada Carla. Kambing hitamkan dia. Dan, kau tetap akan mendapatkan gelar sahabat paling setia kawan di muka bumi.

"Iya, tidak masalah kok—" Ucapan Dennis diintrupsi oleh sebuah getaran yang berasal dari saku depan celananya. Dia segera mengeluarkan ponsel lalu senyum kembali mengembang tepat setelah Dennis menatap layar. "Sepertinya Carla sedang tidak enak badan, dia menyuruh kita pergi saja tanpa menunggunya, ayo".

"Ah.. Begitu.. baiklah."

'Baiklah'

Bukanlah penjelasan tepat untuk senyum canggung, tatapan layu serta langkah lemas. Casie sudah kehilangan semangat. Membiarkan tangannya digandeng oleh pemuda ini menyusuri koridor sekolah. Tangan besar itu seolah tak membiarkan Casie untuk kabur, hingga mereka sampai tepat di sebelah BMW X1.

"Silakan~" Dennis membukakan pintu mobil, mempersilakan Casie untuk masuk lebih dulu.

'Mencoba bersikap gentel huh? Itu tak akan meluluhkanku, jadi sebaiknya kau berhenti saja dasar flower boy!'

"Terimakasih..." Casie membalas senyum lima jari dari Dennis saat memasuki mobil tersebut. Dia tentu saja tak mengatakan segala makian yang ada dalam isi kepalanya. Itu terlalu kasar, dan Casie tak ingin citranya menjadi buruk kalau sampai terdengar oleh kekasihnya, Spencer. Meskipun tidak ada yang tahu, siapa sosok sebenarnya dibalik akun itu. Siapapun, tetapi Casie yakin itu bukanlah si pemuda berambut ikal ini. Mereka berbeda, dia bisa merasakannya.

"Kenapa kau tidak ikut klub basket?" tanya Casie, tepat setelah mesin dinyalakan.

Dennis menoleh sesaat, tersenyum, lalu kembali fokus menancap gas. "Itu yang ingin kau tanyakan mengenai basket?"

"Mungkin," ujar Casie sambil mengangkat bahu. Terkesan tak terlalu peduli, tetapi malah membuat presepsi lain dalam kepala Dennis.

'Imut'.

"Kalau begitu, aku akan simpan pertanyaan itu sampai kita tiba di Cafe."

Casie mengangkat alis, menyiratkan rasa penasaran yang lebih condong pada 'orang ini aneh sekali', dan kembali bersikap seperti biasa. "Terserah kau saja."

Keheningan kembali mengisi di antara mereka. Dennis sibuk memperhatikan jalan dan Casie sibuk menatap layar ponsel. Beberapa pesan telah dia buka dan balas, tetapi itu sudah bermenit-menit berlalu semenjak dia terjebak di kerumunan masa. Tidak ada balasan lagi, tidak ada kabar dari Spencer. Ini cukup membuat Casie dongkol tentunya, padahal dia sangat membutuhkan Spencer, butuh seseorang untuk berbagi keluh kesah. Ada banyak hal yang ingin dia ceritakan saat ini juga, kekesalannya pasti akan langsung reda jika membaca pesan dari Spencer.

"Sudah sampai."

"Eh," Casie mengerjap beberapa kali. Terlihat jelas bahwa dia sudah melewatkan momen hingga tak menyadari mereka telah sampai di are parkir Cafe. Mungkin juga tak menyadari obrolan Dennis saat perjalanan tadi. "...Terimakasih."

Dennis tersenyum lagi, tetapi kali ini dia sepertinya mengetahui ada hal yang disembunyikan oleh Casie. "Kau sedang memikirkan apa?" tanyanya sembari mengikuti langkah gadis itu.

'Aku ingin pulang, aku ingin bersantai di rumah.'

"Tidak ada."

Casie bukan gadis pendiam. Dia bahkan terkesan cerewet dimanapun, di kelas, di rumah, atau tempat-tempat dirasa nyaman. Tetapi, Dennis membebankan sesuatu yang tak kasat mata. Menekannya untuk selalu bungkam.

"Kau suka cokelat? Dessert Box di sini terkenal enak loh." Dennis berjalan mendahului Casie.

Pemuda itu sudah tahu tentang ketidaknyamanan Casie. Dia tak melakukan kontak fisik lagi. Seakan semua itu terpancar dari sorot mata Casie.

Casie hanya mengangguk sekali. Langkahnya terasa hampa ketika mengikuti Dennis masuk ke dalam Cafe.

'Tiriiing~"

Ponselnya berdering. Sebuah notifikasi dari pesan masuk. Casie tak menunggu dua kali untuk membuka pesan tersebut.