"Oy mulut cabe! Ada yang ingin ku tanyakan.."
[ Siapa yang kau panggil mulut cabe? Maniak Roleplay! ]
Suara di seberang sana menyahut tak kalah sengit.
Casie memutar bola mata, lalu memutar tubuhnya menjadi tertelungkup. "Apa maksud pesanmu tadi siang?"
[ Pesan?]
Carla menggantung ucapannya. Casie bisa menebak apa yang tengah dilakukan gadis berambut sebahu itu sekarang, memelintir helaian rambutnya dengan jari telunjuk, mengatupkan bibir dan alisnya mengerut. Entah sedang mengingat-ingat atau malah memikirkan alasan lain untuk menyangkal.
Casie menghela nafas. Haruskah dirinya mengambil langkah inisiatif untuk mengingatkan sahabatnya yang tiba-tiba terserang amnesia? Tentu saja. "Yang kau kirimkan tadi siang, mengenai David. Apa maksudmu dengan curiga padanya?"
[ Ah itu..!] Carla berseru, seperti arkeolog yang menemukan fosil dinosaurus. [ Masa kau tidak menyadarinya sih? ]
"Makanya, apa? Apa yang kau maksud? Jangan bertele-tele dan membuat orang penasaran saja." Casie sudah cukup bersabar hari ini. Dia tak akan membiarkan Carla mempermainkannya lagi, tidak sebelum gadis itu memberi penjelasan memuaskan.
[ Bagaimana jika kekasih online mu itu ternyata adalah Dennis? ]
"Omong kosong!" sergah Casie, bahkan hanya berjarak kurang dari 0,1 detik setelah Carla selesai berbicara. Pita suaranya reflek menyembur jika melibatkan kekasihnya dalam satu obrolan. Seakan seluruh panca indra bergerak secara sistematis, merespon cepat tanpa berpikir dua kali. "Mana mungkin itu!" tambahnya lagi. Menegaskan jika dugaan Carla sepenuhnya tidak masuk akal.
[ Memangnya kau tidak sadar? Selama ini Dennis selalu bermain mata denganmu padahal kalian tak pernah akrab sebelumnya. ]
"Barangkali dia hanya melihat sesuatu yang kebetulan berada di sekitarku? Apapun itu."
[ Jangan naif, ]
Gadis di atas ranjang mengayun-ayunkan sepasang kakinya di atas udara. Wajahnya sudah tidak lagi santai, dengan alis menyatu dan bibir maju beberapa senti. "Apa yang membuatmu berpikir demikian?" Tentu harus ada hubungan sebab akibat yang terjadi sehingga membuahkan persepsi aneh di kepala Carla.
[ Aku menyadari jika kau tak pernah bermain ponsel di saat Dennis ada di dekatmu, ] Kini alis Casie terangkat sebelah saja. [ Masa tidak paham juga? Apa kau pernah melihatnya bermain ponsel saat bersamamu? Apa kau mendapat pesan selama ada di dekatnya? ]
Sekarang isi kepalanya tengah melakukan tugas terbaiknya. Mengorek-ngorek ingatan yang terjadi beberapa saat lalu, yang tidak penting, yang secara otomatis berada di satu tempat asing dalam kepalanya. Terbuang begitu saja. Butuh usaha keras untuk mendapat ingatan itu kembali, terlihat dari bagaimana jari-jari mungil kaki Casie melengkung.
"Well, tidak juga. Aku mendapat satu pesan saat kau mengajakku ke lapangan keparat itu."
Masalah terselesaikan. Kecurigaan Carla tidak serta merta menghasilkan bukti nyata. Semua hanya praduga yang tidak jelas.
[ Hanya sekali kan? ]
Casie mengangguk, lalu dia tersadar bahwa Carla tak mungkin melihatnya. Mereka sedang bertelepon, bukannya Video Call. "Iya, hanya sekali."
[ Nah itu dia! ]
Seketika Casie menjauhkan ponsel dari telinganya, menyelamatkan dari teriakan gadis di seberang sana. Setelah keadaan kembali seperti semula, barulah dia mendekatkan ponselnya lagi. Hanya saja tidak sampai menempel sempurna.
[ Itulah kenapa kekasih online mu tidak menghubungi lagi, karena sosoknya yang nyata ada di hadapanmu. Dan dia tak perlu mengirimi pesan kalau bisa bertatap muka secara langsung. ]
'Itu tak masuk akal,'
'Tidak mungkin seperti itu,'
Casie bisa saja menyangkal pernyataan Carla, tetapi rasanya semua ini terdengar lebih masuk akal ketimbang penyangkalan yang akan dia berikan. Ini cukup membuatnya gelisah. Casie tak lagi berbaring, melainkan duduk bersandar pada kepala ranjang. Jemari kakinya mengkerut, mencengkram permukaan kain seprei, membuatnya semakin berantakan. Sama seperti isi pikirannya.
Konyol bukan?
Dia ingin berkata demikian, tetapi sebagian lain dari dirinya membenarkan. Ini kelewat masuk akal, kelewat mungkin, hanya saja Casie tak menerima jika seseorang di balik akun Spencer adalah Dennis.
"Mana mungkin.." Sebuah penyangkalan yang dilontarkan dengan suara lemah. Penyangkalan itu terlalu lemah.
[ Memang kenapa? Semuanya bisa saja mungkin kan? Malahan sangat bagus karena bukan pria tua pedhopil yang berada di balik akun itu. ]
"Dennis tidak bermain Roleplay," sahut Casie, masih berupaya mengelak.
[ Siapa tahu? Seseorang bisa menjadi apa saja di sana, katamu begitu kan? ]
Dennis tidak akan begitu, dia pemuda yang memiliki segalanya tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain. Pemuda yang sanggup mencampakan sesuatu jika menganggapnya sudah tidak berguna. Dennis bukanlah sosok Spencer dalam dunia Roleplay, bukan sosok dingin tetapi penuh perhatian, konyol tetapi berwibawa. Dan Casie sudah terlalu hafal bagaimana cara bertukar pesan ala Dennis. Setidaknya dulu.
Sebelum pikirannya semakin bercabang, ponsel pintar di tangannya tiba-tiba bergetar. Casie menjauhkan ponsel dari telinganya, melihat pop up pesan di layar, pesan dari orang yang sedang mereka perbincangkan.
"Sudah dulu, pacarku mengirim pesan," tutur Casie. Bersiap menutup sambungan sebelum Carla kembali menyela.
[ Siapa? Dennis yah? ]
"Jangan konyol! tentu saja Spencer, sejak kapan aku berkencan dengan Dennis.."
Casie langsung memutus panggilang sebelum Carla kembali berpendapat. Akan makan banyak waktu untuk menanggapi ocehan gadis itu. Waktu selalu berjalan tanpa henti, ini berarti dia akan membuat kekasihnya menunggu.
[ From : Space1
> Sedang apa? ]
Seketika segaris senyuman merekah di wajah Casie, melenyapkan awan hitam yang sedari tadi membuat wajah gadis itu muram.
[ •Audrey Piers
> Menurutmu? ]
Kalimat itu terkesan dingin. Tetapi ketahuilah bahwa Casie menulisnya dengan senyum lebar dan rona merah muda menjalari pipi hingga telinganya.
[ •Space1
> Memikirkanku? ]
'Tepat sekali!'
Casie pikir mereka bisa merasakan satu sama lain meski belum pernah bertemu, belum mengenal, setidaknya secara langsung. Jalinan tak kasat mata telah mengikat mereka menjadi satu. Dapat mengetahui isi hati satu sama lain tanpa perlu mengungkapkan lewat kata-kata. Rindu yang bisa dirasakan satu sama lain juga.
[ •Audrey Piers
> Tidak, kau terlalu percaya diri..]
Tentu Casie tidak mengatakan secara jujur. Sebagai seorang wanita, bersikap jual mahal adalah hal yang wajar. Dia tak ingin Spencer menganggapnya sebagai wanita murahan karena terlalu berambisi dalam hubungan (meskipun memang kenyataannya begitu).
[ •Space1
> Kalau begitu, Aku lah yang sedang memikirkanmu sekarang..]
[ •Audrey Piers
> Kau perayu yang handal rupanya.]
[ •Space1
> Aku tidak sedang merayu, aku bicara sungguh-sungguh. Aku merindukanmu~]
"AAAK~!!"
Casie nyaris melemparkan ponselnya, jika saja tidak ingat bahwa dia bisa saja kehilangan seluruh kebahagiaan ini karena ponselnya hancur menimpa lantai di bawahnya. Sebaris kalimat yang dikirim oleh Spancer sukses membuat jantungnya berdebar sangat kencang. Membuat seluruh dunia terlihat lebih berwarna, cerah, berkelap-kerlip indah.
Gadis itu terlarut dalam kebahagiaannya, sampai tidak melihat bahwa pintu kamarnya terbuka. Seseorang baru saja melihat bagaimana kelakuannya yang kelewat luar biasa ketika di dalam kamar.
"Astaga anak ini.."
Wanita paruh baya berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada. Menggeleng pasrah, menatap anak satu-satunya.