Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 9 - Sebuah Pertanyaan

Chapter 9 - Sebuah Pertanyaan

"Oh.. Ayolah menyala.." Spencer persis seperti orang tidak waras. Sedari tadi sejak masuk ke mobil yang dia lakukan hanya berbicara dengan benda pipih tidak bernyawa dengan layar sepenuhnya menghitam. Bagaimana dia berusaha keras -menekan tombol power, mengetuk-ngetuk bagian luar ponsel, mengelus-elus, mendekap ponsel itu di dadanya- sama sekali tak menghasilkan sesuatu yang berarti. Selain membuahkan tatapan tajam dari pria di sebelah kemudi.

"Berhenti bersikap berlebihan," celetuk Alan di bangku depan, memandang pantulan wajah Spencer dari spion tengah mobil. "Kau bisa membeli sepuluh ponsel, jangan bersikap seakan-akan kau orang susah."

"Tidak bisa!"

Alan memutar bola mata. Sudah terlalu banyak hal-hal memalukan yang dia lihat dari kelakuan si model tampan —tetapi gila— itu. Bukan hanya sekali dua kali Spencer membuatnya seperti pengasuh bayi daripada seorang Manajer. Lelaki itu sepertinya sengaja menyiksanya secara tidak langsung, tidak meninggalkan bukti nyata.

"Apa kau ingin Manajermu ini yang membelikan ponsel baru?" Alan berusaha bersikap seramah mungkin, melakukan tugasnya sebagai Manajer dari model tampan banyak tingkah ini. "Aku akan belikan model terbaru, apa kau mau yang bisa berjalan sendiri?"

Pemuda di kursi tengah menatap sinis. "Kau menyindirku hah?"

Alan hanya mengangkat bahu dengan acuh sebelum kembali menatap ke arah depan. Dia menyibukkan diri pada IPad di tangan, sekedar menggeser layar, membuka file acak, apapun agar membuat dirinya terlihat sibuk.

Sementara Spencer di belakang masih menggerutu, menyalahkan Alan atas keteledorannya, menyalahkan seseorang yang tidak menutup botol mineral hingga membuat air di dalamnya keluar ketika seseorang lainnya menyenggol, menyalahkan sesi pemotretan yang memakan waktu dua kali lipat lebih lama. Bahkan menyalahkan lampu lalu lintas yang berubah merah.

Dia persis seperti gadis pada pada masa datang bulan.

"Em.. permisi-" sela pria dari kursi kemudi —di sebelah tempat duduk Alan— yang cukup membuat dua lelaki lain di dalam mobil menoleh ke arahnya. Sorot mata keduanya terasa menusuk sampai-sampai membuat sopir muda itu meneguk ludahnya kasar. Lumayan takut. Seolah dirinya tengah berada dalam cengkraman hewan buas, terpojok. "Anu.. Saudaraku pernah mengalami hal yang sama. Ponselnya tidak sengaja jatuh ke dalam sungai saat dia sedang kemping—"

"Itu lebih parah," sahut Spencer dengan mencondongkan tubuh ke arah depan. Rupanya dia mulai hanyut dalam obrolan.

"Benar, itu lebih parah. Ponselnya mati total dan biaya perbaikan hampir setara dengan membeli ponsel baru—"

"Kan, apa ku bilang, beli saja ponsel baru dan jangan mengeluh seperti anak kecil!" Ini Alan dengan senyum kemenangan.

"Ekhem!" Si sopir sengaja mengintrupsi lewat satu dehaman keras. Lumayan kesal juga karena ucapannya selalu disela tiba-tiba. "Karena saat itu saudaraku tidak memiliki cukup uang untuk membeli ponsel baru, maka yang dia lakukan adalah mencari cara perbaikan di internet. Beruntungnya, ternyata ada lebih banyak orang yang mengalami hal serupa. Ponsel mereka mati karena kemasukan air, itu hal wajar. Jadi salah satu orang mengatakan bahwa solusi terbaik adalah merendam ponsel itu ke dalam sekarung beras—"

"Kau pasti bercanda~" Spencer tersenyum miring —terpantulkan dari kaca spion di tengah.

"Ini lebih terdengar tidak masuk akal." Alan dengan segala ke-soktahuannya.

"Sungguh, beberapa orang melakukan hal tersebut. Termasuk saudaraku. Dan ponsel mereka benar-benar menyala kembali." Si sopir bolak-balik menatap ke arah belakang, tempat Spencer duduk. "Apalagi kalau hanya masalah percikan air saja. Ku rasa itu benar-benar akan berhasil," sambungnya lagi.

"Oh, ayolah.. itu tak akan lebih berhasil daripada kau meniupkan uap panas dari Hairdryer dan berakhir ponselmu mati total." Sakrasmen. Alan menempatkan dirinya menjadi seseorang yang mempunyai banyak pengetahuan. Padahal dia mendapatkan itu dari artikel acak yang tidak sengaja dia baca. Kebanyakan artikel pop up ketika kau sedang mengunduh film bajakan. "Kau juga berpikir yang sama kan?" Alan memutar tubuh ke belakang, meyakini bahwa Spencer juga berpikiran sama dengannya.

"Beras.." Spencer tersenyum lebar. Nyaris membuat bibirnya terbelah. "Menarik, akan ku coba dengan itu!"

"Dasar mudah terbujuk," gumam Alan, terdengar seperti sebuah gerutuan.

.

.

.

.

.

Ini hari yang melelahkan. Baik secara mental maupun raga. Tidak ada tempat ternyaman untuk melepas penat selain rumah. Kamar dengan ventilasi cukup bagus, satu Air Condiitioner yang baru diperbaiki kemarin, ranjang empuk, sekeranjang camilan dan yang terakhir koneksi Wifi lancar. Sebentuk kenyamanan yang bisa kau nikmati dengan tenang, tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.

Termasuk bagi seorang gadis remaja berpakaian seragam SMA.

Membuka daun pintu secara agresif dan masuk tergesa-gesa.

"Akuu pulaaaang~ !!"

"JANGAN BERTERIAK DI DALAM RUMAH!"

Sahutan —teriakan— berasal dari dalam rumah, tepatnya di dapur. Sepertinya wanita di dalam sana tidak menyadari bahwa suaranya bahkan lebih keras daripada suara anaknya.

Casie tampaknya sudah sangat terbiasa mendengar auman dari sang ibu. Buktinya dia sama sekali tak terganggu dan berlalu masuk begitu saja. Seperti biasa, melemparkan sepatu secara asal —tak diletakkan di dalam rak sepatu yang berjejer tepat di dekat pintu keluar— berlari menyusuri selasar menuju tangga. Menaiki dua anak tangga sekaligus dengan langkah berderap, menimbulkan gema di seluruh bagian rumah. Termasuk sampai ke dapur, tempat dimana ibunya berada.

"CASSANDRA! JANGAN BERLARIAN DI DALAM RUMAH!"

Itu sebuah peringatan, yang sudah dilontarkan bukan hanya sekali saja. Tetapi tak kunjung membuat gadis remaja ini jera. Casie masih saja mengulangi hal serupa meskipun mendapatkan teguran berkali-kali, meliputi teguran santai sampai bernada pedas.

Setibanya di dalam kamar, Casie segera merebahkan tubuhnya ke ranjang -melompat ke atasnya- tanpa mengganti pakaian dulu. Tubuhnya berguling-guling, mengacaukan permukaan rata seprei, menjatuhkan bantal dan juga selimut, menimbulkan suara berisik. Jika ibunya datang sudah pasti Casie akan mendapat ceramah penuh mengenai seberapa susahnya membereskan ranjang hingga rapi.

Tapi siapa peduli. Ini adalah singgahsana nya, tempat kekuasaan miliknya berdiri sempurna. Tidak ada yang bisa mengatur di daerah kekuasaannya ini, sekalipun itu ibunya sendiri.

"Ah~ Lelahnya~" Gadis itu mendesah lega sembari bergulung-gulung di atas ranjang yang kini bentuknya sudah tidak karuan. Udara dingin menyapu setiap pori-pori kulit yang terbuka dan tidak. Air Conditioner ada tepat di seberang ranjang, sisi lain dari dinding, berhadapan dengan wajahnya jika dia terbaring menghadap kanan.

Definisi kenikmatan duniawi yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Kecuali makanan.

'Tapi kau bisa makan pelan-pelan..'

Oh tidak..

Casie sontak terperanjat ketika mendapati sepenggal ingatan yang tak seharusnya muncul. Ini sebuah kesalahan. Bagaimana mungkin dia memikirkan Dennis. Harusnya dia memikirkan Spencer, kekasihnya!

'Ngomong-ngomong, kau tidak curiga pada Dennis?'

Benar, selagi teringat, tidak ada salahnya dia meminta penjelasan dari si mulut ember Carla. Seseorang harus membuat rasa penasarannya menghilang.

"Oy mulut cabe! Ada yang ingin ku tanyakan.." kata Casie tepat setelah menempelkan ponsel ke telinganya.