"Apa bener cewek yang tadi itu pacarnya Reyhan?" monolog Agnes dari balkon kamarnya.
Malam itu setelah pulang kerja dan membersihkan diri, Agnes memilih menghabiskan waktunya di balkon seperti biasa.
Menatap langit malam penuh bintang seperti kebiasaannya dengan Reyhan dulu. Namun, kini mengingat Reyhan ... hatinya mendadak sesak, ingatan berputar tentang wanita yang tadi mengucapkan kata sayang berkali-kali bahkan sampai membuat Agnes mengurungkan niatnya makan di kantin.
Flashback ...
"Sayang,"
Agnes mendengus kesal, ia mengedarkan pandangannya mencari tempat lain yang kosong tapi nyatanya di jam-jam ini kantin lumayan ramai dari biasanya hingga kursi yang kosong sudah tidak tersedia.
Agnes menghentakkan kakinya, bangkit dan menghampiri Raka. Perbuatannya itu membuat Reyhan dan kekasihnya menoleh, tak sengaja Reyhan melihat Agnes meletakkan kepalanya di pundak Raka.
"Rak, makan di ruangan gue aja ya! Gue lupa masih ada kerjaan belum gue kerjain," ujar Agnes sambil bersandar di bahu Raka.
Raka mengangguk setuju. "Bu, dibungkus aja deh," ujar Raka mengubah intruksinya.
"Ngapa lo? Gelendotan kaya monyet," ujar Raka memperoleh jitakan dari Agnes.
"Sembarang, gue ngantuk Nyet!" seru Agnes kembali menyender pada Raka, ia tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang memperhatikan mereka.
Sepuluh menit kemudian ...
"Udah, Yuk!" seru Raka setelah ia membayar semuanya.
Agnes mengangguk. "Makasih, Bu," ujar Agnes lalu menyusul Raka.
Flashback End!
"Reyhan lihat gue sama Raka! Tapi, kok dia nggak manggil atau apa gitu?"
Agnes menghela nafas lalu menampar pipinya sendiri. "Bego! Kalo Reyhan beneran sama pacarnya, nggak mungkin lah dia tegur lo!" caci Agnes pada dirinya sendiri.
"Terus sekarang gue harus apa? Move on? Nggak bisa!!!" ucap Agnes bertanya-tanya. Cukup lama ia termenung lalu masuk ke dalam kamar, ia merebahkan dirinya sambil menscroll sosial media berharap bisa meredam perasaan di dadanya hingga akhirnya tak sadar ia tertidur.
*****
"Mulai hari ini dan beberapa bulan ke depan, aku bakalan ngerjain semua pekerjaan dokter Brian sendiri, nggak ada yang bantuin!" ujar Agnes sambil fokus menyetir mobilnya.
"Ya udah sih, santai! Lagian, itu kan rumah sakit keluarga lo ... itung-itung sekalian lo belajar sebelum pegang kendali rumah sakit."
Berita dirinya sebagai calon pemegang rumah sakit tempatnya bekerja ini memang sudah diketahui teman-temannya. Namun, ia masih belum siap. Apalagi dengan penyakit penurunan kesadaran dan Achluophobianya yang juga belum usai.
Agnes dipilih oleh pamannya karena pamannya tidak memiliki keturunan dan ia sebagai satu-satunya keponakan yang kuliah dengan jurusan kedokteran. Tanggung jawab untuk mengurus rumah sakit pun diberikan kepada Agnes.
"Nikmatin aja," ujar Luluk setelah melirik Agnes yang nampak berpikir. "Lagian lo selama ini udah handle pasien sendiri jadi santai aja ...," lanjutnya.
"Iya juga sih!" saut Agnes sambil memarkirkan mobilnya. "Tapi, gue cuma khawatir aja, gue nggak bisa."
"Tenang," ujar Luluk sambil keluar dari mobil Agnes. "Semua itu bisa lo atasin asal lo tenang," lanjutnya menoleh pada Agnes yang berjalan ke arahnya.
Agnes dan Luluk berjalan menyusuri lorong rumah sakit, waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Tapi, keadaan rumah sakit sudah sangat ramai.
BRUKKK
"Maaf saya tidak sengaja!" ucap lelaki yang menabrak Agnes.
"Ia tidak apa-apa," Agnes menggabaikan lelaki yang sedang menjawab telfon di depannya, ia lebih memilih menunduk dan mengambil berkas-berkasnya yang berserakan.
"Saya sedang buru-buru, maaf saya harus duluan, sekali lagi mohon maaf." Lelaki yang menabrak Agnes itu menoleh sekilas lalu pergi.
Agnes bangkit dari upayanya membereskan berkas-berkasnya lalu mengikuti arah pandang Luluk yang sedari tadi bukannya membantunya tapi malah memperhatikan lelaki yang menabrak Agnes.
"Kenapa?" tanya Agnes melirik Luluk.
"Aku kaya kenal orang itu, tapi ... siapa ya?" cetus Luluk dengan alis yang menukik tajam.
"Perasaan lo aja! Semua orang juga lo bilang kenal," ujar Agnes sambil menekan tombol lift dan mengabaikan Luluk yang masih terlihat sangat penasaran.
"Enggak! Kali ini gue yakin banget, gue pernah liat dia!" seru Luluk sangat yakin.
"Udah deh! Ayo naik, lo mau telat?" seru Agnes masuk ke dalam lift mendahului Luluk.
Luluk menyusul Agnes masuk ke dalam lift, namun raut wajah terlihat masih sangat penasaran dengan lelaki yang baru saja menabrak sahabatnya itu.
****
"Dokter ...," seru seorang perawat menghampiri Agnes yang baru saja membuka pintu ruangannya.
"Iya," saut Agnes dengan senyum ceria.
"Dok, pasien atas nama Cinta yang baru beberapa hari lalu operasi tiba-tiba saja kondisinya ngedrop."
Agnes mengangguk cepat, ia masuk menaruh tasnya dan menggantungkan stetoskop di lehernya, ia juga mengambil beberapa Alkes lainnya. "Ayo," ucap Agnes sambil melangkah cepat menuju ruangan yang dimaksud.
Cinta adalah gadis kecil yang Agnes kenal karena dokter Brian. Ia pertama kali bertemu Cinta saat membantu dokter Brian membujuk Cinta yang tidak ingin minum obat.
"Dokter, tolong cinta," ucap wanita paruh baya saat Agnes masuk ke dalam ruangan.
"Baik, saya akan usahakan yang terbaik. Tolong bapak dan ibu menunggu di luar," ucap Agnes lalu menghampiri tubuh Cinta yang terbaring tak sadarkan diri.
"Dokter," ucap ayah Cinta memanggil. Agnes menoleh sambil tersenyum.
"Sebenarnya saya tahu anak saya sudah pergi, tapi tolong diperiksa kembali ... mungkin saya salah."
Agnes tersenyum kecut setelah kepergian ayah Cinta. Ia kemudian menatap wajah Cinta degan mata yang berkaca-kaca. Agnes cukup dekat dengan Cinta, anak kecil berusia 10 tahun yang berjuang melawan leukemia.
"Detak jantungnya memang sudah berhenti, Dok."
Agnes tak lagi bisa menahan air matanya. Sembari meneteskan air mata Agnes mencoba mengecek ulang.
"Pasien meninggal," ucap Agnes lirih, terasa sesak di dadanya mengetahui gadis kecil yang selama ini begitu kuat akhirnya menyerah dengan keadaan.
"Pasien atas nama Cinta Liliana penderita leukemia. Waktu kematian, hari Selasa tanggal 11 Agustus jam 08.00 A.M."
Agnes mengelus rambut Cinta. "Sakitmu sudah usai anak baik," ucap Agnes membari menatap wajah Cinta yang mengutai senyum manis diwajahnya yang kian hari semakin kurus.
Agnes menyeka air matanya lalu keluar dari ruangan itu. Saat pintu terbuka, ayah dan ibu Cinta sudah menunggu.
Agnes menggeleng. "Maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi penyakit leukemia yang diderita Cinta sudah sangat parah dan Tuhan lebih sayang dengan Cinta."
Setelah kata-kata itu terucap dari bibir Agnes, tangis ibunya pecah. "Maaf," ucap Agnes sekali lagi.
"Tidak apa-apa, Dok. Saya dan istri paham betul bagaimana dokter Agnes mencoba menolong Cinta. Terimakasih," ucap ayah Cinta sambil memeluk Istrinya yang masih menangis histeris.
Agnes mengangguk lalu mempersilahkan mereka masuk, ia berdiri dari tempatnya menatap ke dalam ruangan di mana tangis kedua orang tua Cinta pecah.
"Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah hal yang paling menyakitkan," gumam Agnes melangkahkan kakinya menuju ruangannya. "Dan mungkin aku sedang ada di fase itu, sekarang!!" lanjut Agnes dalam hatinya setelah melihat sosok Reyhan tak jauh darinya bersama seorang perempuan yang sama dengan kemarin.
*****
Agnes mengamati laptop yang menunjukkan grafik-grafik perkembangan rumah sakit, ia memijit pelipisnya. Jumlah pasien yang terus meningkat sepanjang bulan ditambah dirinya yang diminta untuk mengambil alih rumah sakit membuat kepalanya pusing.
Agnes melepas kacamata, matanya terasa lelah setelah berkutik dengan laptop berjam-jam. Bahkan ia melewatkan jam makan siangnya.
"Ya ampun lelah hayati," seru Agnes sambil menyandarkan tubuh di kursi yang ada di ruangannya.
"Reyhan ...," gumam Agnes penuh kerinduan. Mengingat Reyhan, entah kenapa muncul rasa sesak di hati Agnes mengingat kejadian kemarin.
Tok ... Tok .. Tok ...
Agnes membuka matanya, membenarkan cara duduknya. "Iya, masuk!"
Pintu terbuka dan saat itu juga tubuh Agnes membeku. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Reyhan, Lelaki yang ia pikirkan tadi tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini.
"Reyhan! Ada apa? Silahkan duduk." Agnes menundukkan kepalanya berpura-pura sibuk dengan laptop di depannya.
"Apa kamu sedang sibuk?" tanya Reyhan menatap Agnes menanti jawaban wanita itu.
Agnes menggeleng. "Enggak, cuma lagi ngecek-cek doang," ujar Agnes berbohong. "Ada apa?"
"Bagaimana keadaan mama, Sya? Apakah operasi yang disarankan dokter Brian untuk jantung koroner mama itu efektif?" tanya Reyhan sambil duduk dihadapan Agnes.
Agnes mengangguk. "Efektivitas atau tidak, sejujurnya kita tidak punya banyak pilihan. Efektivitas tindakan besok juga ditentukan oleh keadaan pasien sendiri," papar Agnes.
"Lalu keadaan mama sekarang, apakah memungkinkan untuk operasi?"
"Rey, kemungkinan untuk operasi hanya ada dua pilihan, pasien masih dalam keadaan stabil atau benar-benar emergency. Dan keadaan tante Karina saat ini cukup stabil! Jadwal operasinya hari minggu pagi ... tapi, tolong tante Karina harus benar-benar bedrest sebelum operasi supaya keadaannya stabil dan operasinya tidak diundur."
"Setelah operasi apa mama akan benar-benar sembuh?" tanya Reyhan menatap Agnes menunggu jawaban dari dokter sekaligus sahabatnya itu.
"Aku nggak bisa janji apa-apa, prosedur medis untuk melakukan angioplasty dan pemasangan stent atau ring ini bertujuan untuk membuka penyumbatan pembuluh darahnya. Tidak bisa memastikan kalau tidak akan kambuh lagi melainkan meminimalisir, tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan tante Karina."
Reyhan terlihat mengangguk paham, ia tahu sekali sejak dulu Agnes memang tidak suka memberikan harapan hanya untuk menyenangkan orang lain.
"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" tanya Agnes melihat Reyhan cukup lama.
"Nggak ada, tapi aku mau tanya hal lain boleh?" tanya Reyhan.
Agnes hanya menatap mata Reyhan lama tanpa menjawab pertanyaan tersebut, ia mencoba mencari jawaban tentang apa yang akan di tanyakan oleh Reyhan.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Sorry ada orang, boleh aku suruh masuk kan?" ujar Agnes.
Reyhan mengangguk. "Ya udah, aku kapan-kapan aja nanyanya tunggu kamu udah nggak sibuk," seru Reyhan sambil tersenyum pada Agnes.
Agnes mengangguk. "Masuk," ujar Agnes lalu pintu terbuka dan nampak seorang perawat yang baru saja diberikan untuk membantunya.
"Ada apa, Anna?" tanya Agnes menoleh pada Anna begitu juga dengan Reyhan.
Anna terlihat tidak enak karena menganggu Agnes yang sedang bersama seorang lelaki.
"Maaf, Dok. Anna cuma mau mengingatkan jam dua nanti, dokter ada jadwal sebagai asisten dokter untuk operasi atherosclerosis pada pasien bernama Rizki."
Agnes mengangguk. "Oke."
"Kalau begitu saya permisi dulu, Dok."
"Silahkan," ujar Agnes lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Reyhan yang masih berada di tempatnya.
"Masukkin nomormu di sini, nanti aku hubungi," ujar Reyhan menyodorkan ponselnya.
Agnes nampak berpikir sesaat lalu menerima ponsel Reyhan dan mengetik nomornya.
"Udah."
"Oke, kalo gitu aku titip mama ya, aku harus balik kerja lagi," seru Reyhan lalu bangkit dari tempatnya.
"Iya, hati-hati," ucap Agnes seadanya sambil tersenyum manis.
Reyhan pun membalas senyuman Agnes. "Semangat kerjanya, dokter Agnes."
Agnes mengangguk. "Kamu juga, Rey," ucap Agnes pelan bahkan mungkin tidak terdengar oleh Reyhan karena ia sudah berada di ambang pintu.
Setelah Reyhan menghilangkan dari pandangan, Agnes menghela nafas lega sambil menghempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya.
*****
_____
Alkes : alat kesehatan, biasa terdiri dari tensimeter, termometer, stetoskop, penlight, dan alat-alat lain tergantung dengan polinya.
Angioplasty : metode yang dipakai untuk membuka arteri koroner (jantung) yang mengalami penyumbatan dan penyempitan.
Pemasangan Ring/Stent : pemasangan alat berbentuk tabung kecil yang biasanya terbuat dari logam untuk membuka arteri yang tersumbat
________
CONTINUE....
Thank you;)