Alesta mendesah pelan ketika sang Ibu memutuskan untuk menyuruh sang Ayah untuk pulang dan Alesta berjiwa Arini sangat senang. Kini Alesta yang baru saja kembali pada dirinya sendiri menatap penuh tanda tanya pada sang Ibu yang masih saja diam.
"Kamu tidak menyukai hal ini, Mama juga sama. Tapi kau harus tetap lakukan pernikahan ini," Alesta memandang penuh tanya pada sang Ibu tampaknya juga tak menyukai perjodohan ini.
"Sudah lama hal ini direncanakan, dan kakekmu sendiri yang memutuskan ini. Mama tidak bisa berbuat banyak, jangan bersikap seperti itu pada ayahmu."
"Mama tau kamu membenci dia, karena kehilangan Arini. Mama juga sama, tapi kita semua tidak bisa menolak keputusan kakekmu." Alesta mendesah pelan, ia tau saat ini Ibunya tengah meyakinkan dirinya mengenai perjodohan ini. Entah siapa laki-laki yang akan bersanding padanya, Alesta sangat takut jika laki-laki itu berwatak keras sedangkan dirinya hanyalah perempuan lemah.
"Aku akan pikirkan setelah aku melihat laki-laki itu. Aku takut, Ma.." Sesaat sang Ibu hanya menghela napas pelan sebelum akhirnya hanya dapat memberikan pelukan pada sang Putri. Andai saja ada Arini pasti Alesta tidak akan setakut ini, wajar saja semasa ia sekolah Alesta tidak pernah sama sekali mengenal ataupun berhubungan dengan seorang laki-laki.
"Kau tidak perlu mengatakan, akan aku pikirkan! Kau harus menerimanya, bagaimanapun juga perjodohan ini sudah terjadi cukup lama." sang Ibu diam untuk sesaat memberikan rasa percaya diri pada Alesta yang hanya diam, tidak merespon sama sekali ucapan sang Ibu, hingga pada akhirnya perempuan paruh baya tersebut menggandeng dirinya untuk pergi ke ruang tamu.
Alesta tersenyum kecut menatap sang Ayah yang ternyata sama sekali belum meninggalkan rumah yang telah ia tempati enam tahun belakangan ini. Sesaat, Alesta memilih untuk duduk menjauh dari Ayah dan ibunya.
Sesaat Alesta diam, melirik kearah samping menatap Arini kembarannya yang terlihat tidak menyukai pembicaraan yang bahkan belum terucap sama sekali dari bibir kedua orang tuanya. Bagaimanapun juga jiwanya dan jiwa Arini terhubung ketika ia merasa senang atau sedih pasti Arini akan merasakannya.
"Papa, mohon jangan buat kesehatan kakekmu menurun. Pasti Mama sudah menjelaskan bukan, jika perjodohan ini sudah terjadi cukup lama?" Dengan ragu Alesta hanya mampu menghela napas pelan disertai dengan anggukan.
"Maafkan perkataan Papa tadi, Papa tidak ada maksud untuk membuat dirimu marah. Papa hanya akan mengatakan jika orang yang akan menikah denganmu adalah atasanmu sendiri." Seketika mendengar hal itu baik Alesta maupun Arini, yang berwujud tak Kasat mata hanya mampu terkejut, shock tak menyangkal akan bersanding dengan laki-laki bermulut tajam tersebut.
Jujur, hari pertama ketika berkerja, pagi tadi. Membuat Alesta menjadi takut dengan tatapan tajam serta ucapan tajam Ansel. Memang benar, pagi tadi Alesta membuat kesalahan, tetapi dirinya tak sampai menyangka jika kakeknya menjodohkan dirinya dengan Ansel. Apa Ansel sudah mengetahui hal itu? Sekelebat tanda tanya langsung bermunculan pada pikiran Alesta, membuat Arini yang sedari tadi mengetahui isi hati kembarannya mengerang kesal.
Arini tidak mempermasalahkan ketika laki-laki itu ingin bicara bagaimana pada Alesta, tetapi yang pasti yang menjadi masalah ketika laki-laki itu bersikap buaya pada Alesta.
"Alesta bagaimana, jangan diam saja?" ujar sang Ibu ketika Alesta hanya diam memasang raut wajah murung dan tanpa menjawab satu patah katapun Alesta langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya, begitu juga dengan Arini yang langsung menghilang begitu saja.
**
Alesta terus menangis sejadinya, di kamar membuat Arini yang sedari tadi mendengar pembicaraan tak mengenakan tersebut hanya mampu tersenyum menghina sekaligus tak rela, jika kembarannya menikah dengan seekor buaya darat.
"Kau tak mengerti dengan apa yang aku rasakan." ujar Alesta sesaat memandang Arini jengah.
"Kenapa kau marah padaku? Jika, kau tidak menyukai hal ini maka serahkan padaku!" Seketika Alesta menggelengkan kepalanya pelan, begitu teringat dengan sang Kakek yang beberapa kali harus dilarikan ke rumah sakit karena masalah dengan jantungnya.
"Tidak perlu, aku akan menerima ini!" Pasrah Alesta membuat Arini langsung pergi begitu saja, atas kepasrahan Alesta yang entah bagaimana kehidupan Alesta nantinya ketika menikah dengan buaya darat itu.
**
Keesokan harinya di perusahaan yang bergerak diberbagai bidang. Terlihat pimpinan perusahaan Ansel Prayuda tengah sibuk menyiapkan bahan presentasi untuk siang nanti, sesaat matanya menangkap pintu ruangannya yang terbuka membuat dirinya kembali pada pekerjaannya, walaupun sedikit bergedik ngeri menatap Alesta yang baru saja masuk dan memberikan satu cup kopi dan seporsi kotak makanan padanya.
"Maaf Pak, menganggu waktunya. Cleaning servis menitipkan kopi ini pada saya!" ujar Alesta simple sebelum akhirnya keluar dari ruang pimpinan perusahaan.
Sesaat Ansel mendesah lega begitu pintu tertutup kembali, Ansel memutuskan untuk memisahkan ruangannya dengan sekertaris menyeramkannya. Jika, dia satu ruang dengan sekertaris jadi-jadian itu, bisa-bisa setiap hari nyawanya terancam. Baru saja Ansel ingin bersyukur akan kepergian perempuan itu, Alesta kembali masuk kedalam ruangan Ansel. Membuat laki-laki itu sedikit jengah ketika Alesta, mendekat dengan membawa beberapa berkas dan membacakan beberapa agenda hari ini yang harus ia jalani.
"Sudah, pergilah!" ujar Ansel sesaat mengamati raut wajah Alesta, terutama pada bagian mata yang terlihat begitu bengkak.
'Apa perempuan sinting ini baru saja diputuskan?' Batin Ansel menerka-nerka begitu melihat raut wajah Alesta yang begitu tertekan, tetapi siapa dia? Ansel tidak ingin sama sekali memberikan perhatian kepada Alesta. Bisa-bisa sekertaris barunya itu menggantung dirinya hidup-hidup.
"Kenapa, kau masih ada di sini? Kau mendengar ucapanku bukan?" bentakan itu keluar begitu saja dari mulut Ansel, yang langsung menutup mulutnya sendiri. Harap-harap cemas akan perempuan di depannya, tetapi keberuntungan sedang berpihak padanya.
Alesta diam menunduk menatap Ansel sekilas sebelum akhirnya pamit pergi, membuat Ansel mengeyit pelan sekaligus bernapas lega karena perempuan itu tidak melakukan sesuatu yang mengerikan seperti kemaren. Sesaat ketika pintu tertutup kembali, Ansel langsung menatap ponselnya yang berbunyi pertanda adanya pesan masuk.
"Tck, harus berapa kali aku bilang, ini bukan zaman Siti Nurbaya!" Dengus Ansel Prayuda begitu tengah membaca pesan dari orang tuanya mengenai perjodohannya.
Ayolah, usianya baru menginjak 28 tahun kenapa dia harus buru-buru menikah? Ansel tidak rela jika harus melepas kesenangan duniawi, hanya karena ikatan pernikahan dengan perempuan yang belum ia kenal sama sekali. Lagipula, bagi Ansel semua perempuan sama saja menyukai Kilauan emas.
"Bukankah ini foto seketaris itu?" Tanya Ansel pada dirinya sendiri begitu mengamati secara detail foto calon istrinya.
"Ini tidak baik!" Desah Ansel frustasi setelah memastikan foto tersebut dengan mengingat raut wajah sekertaris barunya dan pesan yang terakhir tertulis membuat Ansel ingin melompat dari tempat ini saat ini juga. Karena sudah dipastikan pernikahan ini akan dilaksanakan sebulan lagi, dan malam nanti akan ada dinner keluarga.
**
Ketik pesan di sini...