Alesta melanfgkah keluar dari mobil, menatap proyek pembangunan mall yang kemungkinan akan dibuka akhir tahun nanti berdasarkan informasi yang telah ia baca. Sesaat pandangan antara Alesta dan Ansel saling bertemu, hanya sebentar sebelum akhirnya Ansel lebih dulu memutuskan untuk berjalan kearah gedung mall yang tengah dalam proses pembangunan.
"Selamat siang Tuan Ansel, bagaimana menurut Anda?" ujar seorang laki-laki paruh baya sesaat membuat pandangan Alesta mulai meredup.
"Papa!" gumang Alesta sesaat membuat laki-laki paruh baya tersebut mengalihkan perhatiannya pada Alesta, hanya beberapa detik sebelum akhirnya laki-laki paruh baya tersebut berjalan begitu saja meninggalkan Ansel dan Alesta yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Saat ini pikiran Alesta masih dipenuhi akan sosok sang Ayah, beberapa kali dirinya mencoba untuk mengenyahkan segala apa yang ada dalam otaknya. Tetapi sekilas pandangnya beralih kepada sang Bos yang masih terlihat menatap dirinya takut, Alesta menyadari hal itu begitu dirinya merasa Ansel sedikit menjaga jarak padanya dan Alesta yakin, ini semua ulah Arini.
"Dia adalah kontaktor yang sering menangani pembangunan proyek perusahaan, tugasmu hanya satu saat ini persiapkan makan malam nanti bersamanya!" Alesta mengangguk pelan, tanpa sama sekali menatap sosok Ansel yang telah lebih dahulu masuk kedalam mobil meninggalkan Alesta yang kini tengah sibuk pada layar tabletnya.
"Apa kabarmu Nak?" Alesta memicingkan mata seketika menatap sosok sang Ayah. Sudah cukup lama dirinya tidak bertemu dengan sosok sang Ayah, tidak ada perasaan rindu sama sekali mengalir dalam hatinya yang ada hanya sebuah memori tentang perpisahan orang tuanya.
"Aku cukup baik Yah.., jangan terlalu khawatirkan kami!" ujar Alesta dengan menekan kata 'kami' membuat laki-laki paruh baya tersebut hanya mampu diam termenung sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeret sang putri masuk kedalam warung makan Padang.
"Makanlah!" Alesta memilih diam tak menanggapi sama sekali makanan di depannya, sekalipun itu adalah makanan kesukaannya.
"....,"
"Aku sudah mendengar dari Tuan Ansel, tapi Papa sudah putuskan untuk membatalkan pertemuan nanti malam karena Papa ingin bertemu dengan Mama mu. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan!" Alesta mendesah pelan, sepertinya kartu The Devil yang ia dapatkan pagi tadi benar-benar membuat dirinya tidak dapat bernapas lega.
"Apa ini tentang Arini? Kebetulan sekali Pa, sebentar lagi hari peringatan kematian Arini, jika memang peduli dengan kami seharusnya Papa sadar diri untuk datang." ujar Alesta perlahan bangkit berdiri, tetapi sesaat sang Ayah hanya menggelengkan kepalanya pelan membuat sisi dalam hatinya sangat terluka. Bagaimanapun juga Arini adalah kembarannya, sekalipun hantu gentayangan itu selalu saja menganggu dirinya tapa tak dapat ditampik lagi, jika selama ini Arini yang selalu melindungi dirinya dari pembullyan.
"Kami tidak ingin bicara mengenai kematian Arini, kau dan Mamamu tidak harus terus-menerus terpuruk dalam kematian Arini. Papa hanya ingin membahas mengenai pernikahanmu!" ujar laki-laki paruh baya tersebut seketika membuat Alesta merasa bulu kuduknya meremang.
"Papa tidak memiliki hak apapun, mengenai pasangan hidupku! Selama ini Papa selalu bertindak sesuka hati, aku sudah dewasa dan ini bukan zaman Siti Nurbaya!" Alesta berujar dengan begitu tajam nan dingin pada sosok sang Ayah yang hanya diam terpaku akan ucapannya.
"Daripada Papa, membicarakan mengenai sebuah pernikahan, lebih baik Papa renungui kesalahan Papa terhadap kematian Arini!" ujar Alesta sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan sang Ayah yang hanya dapat menghela napas pelan.
**
Malam telah tiba Alesta memilih untuk diam merenung segala kejadian siang tadi, dirinya lebih memilih menatap kartu-kartu tarot yang biasa dirinya mainkan. Saat ini dalam otaknya masih tersimpan segala teka-teki mengenai kartu The Wheele of Fortune yang dirinya dapatnya, Alesta benar-benar berharap agar dirinya benar-benar sedang bermimpi akan ucapan ayahnya siang tadi.
"Kau tidak menyukai hal ini!" ujar Arini dengan tatapan penuh kekesalan padanya Alesta yang hanya tersenyum tipis, memasukan kartu tarot miliknya kedalam laci.
"Saranku lebih baik kau katakan pada Mama, aku yakin Mama tau apa yang kau inginkan!" Arini berujar penuh gemas pada tingkah Alesta yang terkadang begitu menyebalkan, selalu saja menutupi apa yang terjadi dan itu yang membuat Arini kadang berkeinginan untuk mengendalikan penuh tubuh saudaranya.
Perlahan Alesta menghela napas penuh kekesalan menatap sosok tak kasat mata yang tengah berdiri dari tempat dirinya duduk, kini Alesta memilih untuk mengeluarkan kartu tarot miliknya yang sempat ia masukkan beberapa menit yang lalu. Namun, belum sampai ia mengambil kartu tarot tersebut sudah lebih dulu Arini masuk kedalam tubuhnya dan untuk sesaat hanya ada keheningan dalam kamar itu.
"Enak saja laki-laki itu mau menjodohkan Alesta!" gerutu Arini perlahan membuka pintu kamar, dan betapa terkejutnya ia mendapati Ibu dan ayahnya sudah berdiri di depan pintu.
"Alesta sayang!" ujar sang Ayah hendak untuk menyentuh pipi Alesta, tetapi jiwa Arini yang ada di dalam tubuh Alesta langsung menolak hal itu dengan menepis tangan sang Ayah.
"Sudah lama Papa tidak kemari, tadi siang kita sudah bertemu. Aku pikir Papa akan mengatakan hal yang penting, tapi sepertinya Papa hanya peduli dengan diri Papa sendiri!" ujar Alesta sarat akan kebencian membiarkan kedua orangtuanya hanya mampu saling bertatapan, sebelum akhirnya menatap sosok Alesta berjiwa Arini kembali.
"Langsung saja, aku tidak ingin menikah!" ujar Alesta menutup pintu kamarnya, tetapi langsung dicegah oleh sang Ibu dengan menarik gagang pintu berlawanan arah. Tentu, hal itu menjadi tanda tanya tersendiri untuk Arini ketika melihat tatapan sang Ibu tampak tak bersahabat, sesaat dirinya hanya mampu berdecak pelan sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar membicarakan ibunya masuk kedalam kamarnya.
"Alesta jangan selalu menyalahkan Papa mengenai kematian Arini, kau tidak perlu menangisi hal yang sudah menjadi takdir setiap orang." Alesta berjiwa Arini benar-benar dibuat kesal akan ucapan tersebut. Tetapi secara tiba-tiba sang Ayah menyodorkan sebuah amplop kepada Alesta.
"Apa ini?" Alesta bertanya-tanya penuh rasa penasaran, tetapi keterdiaman sang Ayah membuat Alesta berjiwa Arini hanya mendengus pelan seraya membuka amplop tersebut dan betapa terkejutnya Alesta berjiwa Arini mendapati foto Ansel di tangannya.
"Ini?"
"Dia adalah calon suamimu, Papa berharap kau akan setuju menikah dengannya!" Tanpa menjawab apapun tentu apa yang dilakukan oleh Alesta selanjutnya mewakili jawaban, tidak dengan merobek foto tersebut.
"Daripada Papa mengatakan hal yang tak berguna seperti itu, lebih baik Papa pergi dari sini. Sampai kapanpun aku akan menolak laki-laki itu menjadi suamiku!" ujar Alesta berjiwa Arini masih begitu mengingat ketika laki-laki itu benar-benar menilai rendah kembarannya.
"Alesta coba kau pikirkan lagi, dia adalah orang kaya!" Alesta berdecak tak suka membuang muka enggan menatap sang Ayah.
"Lalu? Apa Aku harus balik bertanya pada Papa? Coba Papa pikirkan kembali bagaimana Papa telah membuat diriku kehilangan saudaraku?"