Cahyo dan Solihin adalah dua orang teman lama Tangguh saat masih duduk di bangku SD. Artinya mereka juga mengenal ketiga penjahat yang menggusur desa mereka. Kini mereka akan berjuang bersama menghadapi ketiga penjahat yang dulu sering menjahili Tangguh.
Hari itu, pagi–pagi sekali mereka bersiap-siap untuk memulai sebuah perjalanan demi mencapai visi dan misi bersama. Tangguh, Cahyo, Solihin, dan dukun Parti bergegas berangkat ketika wajah mentari baru menyapa dunia. Cahyo tak pernah lupa membawa wewangian dan minyak rambut. Walaupun orang desa yang katanya katro, tapi Cahyo selalu ingin tampil rapi dan wangi seperti seorang parlente dengan rambut disisir ke belakang dan juga ucapannya selalu meniru kaum intelek. Sementara Solihin tak pernah sekalipun keramas, bahkan tak pernah menyisir rambut. Ya, wajar saja, karena Solihin berkepala plontos. Ia nampak culun dengan kepala plontosnya.
Dengan menggendong ransel, mereka menaiki mobil bak terbuka milik warga yang biasa dipakai berjualan sayur. Mereka berangkat menuju terminal. Sesampainya di teminal, mereka langsung menaiki bus menuju Jakarta. Panas, keringat, dan berbagai aroma bau yang bercampur mereka nikmati sepanjang perjalanan. Maklum saja, bus yang mereka naiki adalah bus yang murah, tanpa AC. Mereka sadar betul kalau harus menghemat dana. Jika merasa gerah, mereka hanya menggunakan AG (Angin Gelebuk) dengan membuka kaca jendela di samping dan mengipasi wajah dengan kipas dari kertas.
Di perjalanan, mereka merasa cukup tersiksa di dalam bus yang penuh sesak. Banyak penumpang yang membawa kardus, ada pula yang membawa tas besar, bahkan ada yang membawa ayam. Mereka harus duduk berdempetan dengan bermandikan keringat.
Tapi setelah melalui perjalanan yang menyiksa, mereka dibuat kaget ketika bus melewati jalan layang yang bagi mereka seolah bus melayang di udara. Mereka pun kagum ketika dari kaca jendela, terlihat gedung–gedung tinggi yang menjulang seolah hendak mencakar langit. Belum pernah mereka datang ke tempat ini sebelumnya.
"Waaaaw... gedungnya tinggi–tinggi sekali, ya," ucap Solihin terkagum-kagum.
"Iya, Hin.... di kampung kita mana ada yang kaya begini, high building hin!!" Cahyo menambahkan.
"Sudahlah, ayo kita turun, kita sudah sampe di Jakarta, nih!" ajak Tangguh mengambil barang bawaan dan bergegas turun.
"Stop, Paaaaak....!!!!!" teriak mereka serempak memberhentikan bus yang mereka tumpangi.
Bus berhenti dan mereka turun bergegas dengan membawa tentengan perlengkapan dan bekal.
"Hei guh, memangnya kita sudah dekat dengan keberadaan Jamal, Badrun, dan Tohir?" tanya Cahyo sambil memanggul barang bawaan.
"Ya..... kalo kantornya sih, aku nggak tau di mana," jawab Tangguh menurunkan tas yang penuh perbekalan di pinggir jalan.
"Kalo rumahnya kamu pasti tau kan, Guh?" tanya Solihin mengusap keringat di dahi.
"Hmmm.... nggak juga, sih," Tangguh menggeleng-gelengkan kepala.
"Aduuuuh..... tapi kamu tau kan sebenarnya di mana mereka?" tanya Cahyo lagi.
"Hmmm.... ya nggak juga sih."
"Aduuuuuuh.... terus kenapa kamu suruh kita turun disini?!!" tanya Cahyo kesal.
"Ya.... kita kan sudah liat gedung tinggi, berarti kita udah sampe di Jakarta, Yo."
"Haduhhhhh-___-," Cahyo dan Solihin tepok jidat.
"Aduuuh... Tangguh, Jakarta itu kan luas. Terus gimana kita bisa ketemu sama tiga bos brengsek itu, kalo kamu nggak tau di mana mereka?" ucap Cahyo.
"Iya juga sih, tapi kita harus tetap berusaha, Hin, Yo. Kita jangan sampe menyerah. Aku yakin selama kita berusaha, pasti kita dapat petunjuk di mana mereka."
"Tapi Guh, Yo, ngomong–ngomong kalian ngerasa ada yang lupa nggak sih? Aku ngerasa kita ngelupain sesuatu." Solihin memegang kepala botaknya berusaha mengingat.
"Iya, aku juga begitu. Tapi apa yaaa?" kata Cahyo sembari berpikir dan menatap ke atas.
"Oh... mungkin barang–barang. Coba kalian cek barang–barang. Jangan-jangan masih ada yang ketinggalan di bus!" saran Tangguh.
"Ah... semuanya lengkap, Guh," jawab Cahyo yang telah mengecek barang-barang yang mereka bawa.
"Apa ya, pakaian lengkap, barang–barang juga lengkap." Solihin pun tak ingat.
"Oaaaah..... tidaaaaak, Guru..... Guru masih ketinggal di bus. Kalian sih, ngajak ngobrol terus. Aduh gimana nih!!!" Tangguh baru menyadari gurunya tertinggal di bus.
Saat di bus, gurunya memang tak sebangku, ia duduk di belakang mereka berdesakan dengan penumpang yang lain.
"Ya udah, tenang aja, Guh, dia kan sakti, pasti bisa ketemu kita lagi, kok," ujar Cahyo enteng.
"Tapi kan penampilannya itu loh, kaya orang gila. Kalo dia ditangkep gimana?" Tangguh panik.
"Iya juga sih, tapi gimana lagi, Guh, Yo. Ya udah, sekalian kita cari Guru Dukun, kita cari juga si Jamal, Badrun, dan Tohir. Jadi sekali berenang 2-3 pulau terlampaui," usul Solihin.
"Yang benar itu sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui," sahut Cahyo.
"Udah... udah. Ayo kita mulai perjalanan untuk misi kita," ucap Tangguh yang langsung berjalan.
***
Ternyata si dukun Parti ketiduran di bus. Ia baru menyadari kalau Tangguh, Cahyo, dan Solihin meninggalkannya saat ia terbangun.
"Di mana ini, Tangguh, hei... di mana kalian?" ucap dukun Parti menoleh ke kanan dan kiri.
Stoppppppp........!!!!!" teriak dukun Parti.
Mendengar teriakan itu, sopir bus menginjak pedal rem mendadak. Tubuh para penumpang tergoncang ke depan termasuk dukun itu yang jidatnya harus terbentur kursi. Tapi ia segera turun begitu menyadari Tangguh dan rekan lainnya tak ada di dalam bus.
Dengan membawa gembolan dari sarung dan berpakaian compang–camping, ia turun dari bus dengan dahi yang agak benjol. Ia tak tahu hendak ke mana, ia tak tahu di mana Tangguh dan rekan lainnya berada. Matanya tengak–tengok ke sana kemari, melihat gedung–gedung yang berdiri megah dan lalu lintas yang begitu padat. Ia pun berjalan mencari Tangguh dan teman-temannya.
Namun dukun itu tak menemukan di mana Tangguh berada, dukun itu pun mencoba dengan caranya untuk mencari Tangguh. Di pinggir jalan, ia membuka gembolan sarung yang ia bawa, ternyata isi gembolan dalam sarung itu berupa kembang–kembangan dan sebuah baskom dari tanah liat. Ia duduk bersila dan menaruh baskom kosong itu di hadapannya. Kemudian ia menabur beberapa kembang yang ia bawa ke dalam baskom, lalu dengan membaca mantra yang tidak jelas ia mulai beraksi.
"Haismijaogajaw ioigjg Tangguh hoagho gahog. . . . .Tangguh agahgoa," itu yang ia katakan.
Nampaknya ia berusaha mencari Tangguh dengan ilmu kedukunannya. Namun apakah gambar keberadaan Tangguh muncul dari baskom itu seperti kaca benggala Mak Lampir? Yang pasti dukun itu terus baca mantra dan menabur bunga sampai suatu ketika terdengar suara gemercing dari dalam baskom gerabah itu.
Itu bukan pertanda, tapi itu adalah suara uang receh yang dijatuhkan seseorang ke dalam baskom itu. Dukun Parti pun lalu membuka matanya.
"Hai, kurang ajaaaaaaaar, aku bukan pengemis, kembali kauuuuuu. . . .!!!!"
Dukun Parti mengejar orang yang melintas itu. Orang itu pun yang sebenarnya berniat baik, merasa ketakutan dan berlari secepat mungkin dari kejaran si dukun. Ia tak terkejar oleh si dukun.
"Huhh... dasar, mentang–mentang orang kota, dukun sakti begini dikira pengemis, awas kau yaa..!!" ucap si dukun berhenti berlari sambil menggenggam uang receh tiga keping lima ratusan rupiah. "Eh... tapi boleh juga sih, buat ngeganjel perut malem ini, hihi..."
***
Hari sudah petang, Tangguh, Cahyo, dan Solihin masih berkelana di jalanan mencari dukun Parti.
"Sudah beberapa jam kita keliling–keliling, tapi dukun itu, dan ketiga penjahat yang kita cari nggak ketemu juga," ucap Solihin.
"Yah wajar lah, Jakarta kan luas banget, fren," ucap Cahyo sambil menyisir rambutnya ke belakang
"Tapi ini udah mau malem, Guh," ujar Solihin
"Iya betul, seharusnya yang kita cari adalah di mana kita harus menginap," usul Cahyo.
"Yo, dulu kan kamu pernah kerja di Jakarta, mungkin kamu punya kenalan yang bisa memberikan tempat kita menginap sementara?" tanya Solihin.
"Ya, iya sih, dulu aku memang pernah kerja di Jakarta. Tapi itu pun sebagai buruh bangunan. Aku dulu tinggal di proyek, pindah–pindah, terus sempat jadi gelandangan juga di jalanan. Akhirnya dulu aku balik lagi ke kampung. Jadi aku kayaknya nggak bisa bantu, Guh."
"Kamu sendiri Hin, bukannya punya sodara di Jakarta?" tanya Tangguh.
"Iya sih, aku punya sodara sepupu yang tinggal di Jakarta."
"Ya udah kita nginep di sana aja sementara, Hin," usul Cahyo.
"Ehh... jangan, jangan nginep di sodaraku itu."
"Memangnya kenapa, Hin?"
"Aku udah 5 taun nggak ketemu sama dia, Yo. Terakhir kali ketemu waktu aku minjem duit sama dia 5 juta. Kalo kita sekarang ke sana aku nggak enak, ah. Aku belum punya uang untuk bayar."
"Aduhhh... jadi gimana dong, masa kita jadi gelandangan di jalanan," ujar Cahyo cemas.
"Ya udah, sudah adzan magrib, lebih baik kita ke masjid dulu, soal nginep di mana kita pikirin aja nanti," ucap Tangguh berjalan ke masjid.
Mereka pun sholat magrib di sebuah masjid. Tak lupa mereka berdoa agar mendapatkan perlindungan selama di Jakarta. Setelah shalat magrib, mereka masih berdiam diri di masjid itu. Mungkin menunggu adzan isya berkumandang dan melaksanakan shalat isya di masjid itu. Namun setelah shalat isya, mereka masih berdiam diri di masjid itu sampai pukul sembilan malam. Ketika pengurus masjid hendak mengunci pintu, mereka masih berada di teras masjid. Mungkin mereka menunggu tengah malam untuk sholat tahadjud. Tapi rupanya mereka masih di masjid karena mereka bingung mau ke mana.
"Assalamualaikum, kalian dari mana dan mau ke mana?" tanya pengurus masjid dengan santun.
"Waalaikumsalam, ehmmm... kami... kami dari kampung dan sebenarnya tak tau mau ke mana. Apa Boleh kami menginap sementara di masjid ini? setidaknya hanya untuk malam ini saja," jawab Tangguh meminta izin.
"Oh, jadi kalian tidak punya tempat tinggal di Jakarta. Tapi sebaiknya kalian jangan nginap di sini," ucap pria berkopeah putih itu.
Mendengar ucapan penjaga masjid, Tangguh, Cahyo, dan Solihin pun muram dan hanya menundukkan wajah.
"Tunggu, saya belum selesai ngomong. Maksud saya kalian tidak usah tinggal di masjid ini. Tapi tinggallah sementara di rumah saya. Kebetulan di rumah saya ada satu kamar kosong, kalian bisa menginap sementara di sana."
"Tapi kami jadi tidak enak, Pak. Maaf Pak, kami tidak mau merepotkan," jawab Tangguh sungkan.
"Ah, sudahlah, ikut saja! Saya tidak merasa direpotkan, kok. Bukankah sesama manusia itu harus tolong menolong."
Tangguh, Cahyo, dan Solihin akhirnya menerima kebaikan si penjaga masjid untuk tinggal di rumahnya sementara waktu. Pak Sobar namanya. Ia tinggal sendiri setelah istrinya meninggal karena penyakit kanker setelah setahun menikah. Pak Sobar orang yang baik sekali. Ia bukan hanya memberikan tempatnya untuk menginap, tapi juga menyuguhkan mereka makanan dan berbagai hal yang mereka butuhkan. Ia memperlakukan mereka layaknya seorang tamu istimewa. Lalu bagaimana dengan nasib dukun Parti?
Nasib dukun itu sungguh berbanding terbalik dari apa yang dirasakan Tangguh, Solihin, dan Cahyo. Dukun itu tentu tak mendapatkan tempat tinggal yang layak. Beberapa kali ia mengetuk pintu warga sekitar untuk menumpang menginap, namun setiap warga yang ia datangi langsung membanting pintunya karena ketakutan melihat penampilannya yang seperti itu. Akhirnya ia pun terpaksa tidur di bawah jalan layang, beralaskan kardus bekas dan berselimutkan kertas koran. Nasibnya sama seperti para gelandangan lainnya di Ibu kota.
Saat pertama ia datang ke kota ini, ketika ada orang yang melemparkan beberapa koin ke baskom kecil itu ia merasa terhina dan marah sekali. Ia tak terima jika seorang dukun sakti dianggap pengemis. Namun ironis memang, ternyata ia benar–benar mengemis untuk bertahan hidup di kota yang keras ini. Terkadang ia nongkrong di jembatan penyebrangan, atau di perempatan hanya untuk beberapa koin uang recehan.
***