Sebagian besar Desa Pasirputih kini telah berubah. Rumah-rumah telah digusur untuk kepentingan orang berduit. Tangguh yang baru kembali ke desanya dibuat bingung dan tak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia berharap pertemuannya dengan Pak Karyo menjadi jalan untuk mengembalikan desanya seperti semula.
***
Setelah rumahnya digusur, Pak Karyo kini tinggal di rumah adiknya, di kampung sebelah. Dan kini Tangguh juga tinggal bersama mereka untuk sementara waktu. Namun di manakah dukun itu yang merupakan gurunya Tangguh? Dari tadi tak kelihatan batang hidungnya.
"Sst.... sst..... sst.... Tangguh!"
"Sepertinya ada suara," Tangguh menengok ke kanan dan kiri mencari sumber suara sembari memegangi leher belakangnya yang merinding.
"Sst.... sst... di sini. Ini gurumu," desis gurunya yang bertengger di atas pohon.
"Guru, sedang apa kau di atas pohon?" tanya Tangguh heran dengan tinggkah gurunya.
"Kalau Guru muncul, pasti mereka tidak mengijinkan Guru tinggal disini. Lebih baik Guru di luar saja. Tenang aja Guh, Guru akan membantu mencari ayah dan ibumu, juga memberi pelajaran para pengusaha yang sudah menggusur rumahmu," bisik gurunya.
"Oke, terima kasih guru."
…..
"Tangguh... Guh!" panggil Pak Karyo yang menghampiri Tangguh.
"Iya, Pak Karyo."
"Sedang apa kamu di sini? Tadi kamu bicara sama siapa?" tanya Pak Karyo heran melihat Tangguh di belakang rumah sedang bicara sendiri.
"Eh... enggak Pak, saya nggak bicara sama siapa–siapa, kok," ujar Tangguh menggaruk kepala.
Tangguh dan Pak Karyo pun berbincang di teras depan rumah, di atas lantai kayu sembari menyandar di dinding. Mereka berbincang mengenai apa yang terjadi dengan kampungnya. Di sela–sela obrolan, datanglah Rani—adiknya Pak Karyo—yang menyuguhkan teh hangat untuk mereka.
"Ini... sambil ngobrol minum teh hangat. O... iya, di dapur ada pisang goreng, tunggu sebentar ya," ucap Rani sembari menaruh teh itu di meja.
"Aduh maaf, jadi merepotkan Mba Rani," ujar Tangguh merasa sungkan.
"Ah.. tidak apa-apa."
Rani pun kembali ke dapur untuk mengambil pisang goreng. Namun tiba–tiba ia begitu kaget dan berteriak, "Aaaaaaaaaaaaaa.....!!!!!"
Serentak Pak Karyo dan Tangguh kaget mendengar teriakan Rani dan langsung menghampirinya ke dapur.
"Ada apa Ran, ada apa?" tanya pak Karyo panik.
"Ia ada apa, Mba?" tanya Tangguh yang juga kaget dengan teriakan gadis berhijab itu.
"Ta...tadi saya sudah menggoreng pisang goreng dan disimpan di sini. Tapi sekarang kok tiba–tiba nggak ada," jawab Rani yang amat heran.
"Oh.... cuma pisang goring, dikirain ada apa," ujar Pak Karyo lega.
"Tapi Mas, jangan–jangan di sini ada maling. Hei. . . .apa ada maling....??!!" teriak Rani.
Lalu terdengar suara, "Kuciiiiiiiiiiiiiiing.... eh meoooooooong.....!!!"
"Tuh kan cuma kucing rupanya yang ngambil pisang goreng itu Ran, kamu nggak usah khawatir," Pak Karyo menenangkan adiknya.
"Tapi kucing ngambil pisang goreng, sejak kapan kucing suka pisang goreng? Terus kucing kok suaranya 'kucing' bukan meong?" Rani justru semakin heran.
"Ia juga ya kok aneh ya," sahut Pak Karyo berpikir.
"Ah.... sudah nggak usah dipikirin. Jaman sekarang kucing udah aneh–aneh, jangankan kucing makan pisang goreng terus suaranya 'kuciiiiing', sekarang kucing yang bisa nyanyi India juga ada Pak Karyo, Mba Rani," ujar Tangguh mencairkan suasana dan membuat Pak Karyo dan Rani tertawa.
"Hahaha, ya sudah, Bapak tinggal dulu, ya Nak Tangguh, Bapak harus ke sawah."
"Saya juga harus ke pasar," ujar Rani.
Setelah Pak Karyo dan Rani pergi, Tangguh melihat–lihat ke belakang rumah. Matanya berkelana seolah mencari sesuatu. Dan ternyata dugaannya benar. Ia melihat apa yang dicari di balik pohon.
"Guru, Guru sedang apa bersembunyi di situ!? Oh, ternyata benar dugaanku, guru yang mencuri pisang goreng itu."
"Kha... khabhis ghuru lhapar, shih," kata gurunya sambil melahap pisang goreng.
"Aduh guru, bukan begitu dong, caranya."
"Abis kamu enak sih guh bisa tidur enak, dikasih makanan. Lha gurumu ini harus tidur di atas pohon digigit nyamuk, boro–boro dikasih makanan."
"Ya sudah, Guru. Oh iya, apa Guru ada ide untuk melawan penjahat yang menggusur desa ini dan menemukan ibu?"
"Hmmm.... kalau begitu Guru akan cari informasi dulu."
"Baiklah kalau begitu Guru, cepat laksanakan!!" ucap Tangguh memerintah gurunya.
"Baik Tangguh, Guru segera pergi."
Dukun Parti langsung pergi untuk mencari informasi mengenai siapa dalang di balik penggusuran kampung itu. Tapi langkahnya tehenti sejenak, ia sempat berpikir, "Kok, jadi saya yang disuruh Tangguh ya, saya ini kan gurunya, seharusnya dia dong. Tapi hmmm..... ya sudahlah apa boleh buat."
***
Di proyek yang sedang berjalan itu ia mengendap–ngendap bersembunyi di balik alat berat sembari mencari informasi yang mungkin didapat. Saat itu ia sempat mendengar ucapan salah satu mandor proyek kepada para tukang bangunan.
"Kita harus kerja cepat. Kemarin bos kita Pak Jamal, Pak Badrun, dan Pak Tohir melakukan rapat bersama para direksi. Intinya mereka meminta agar proyek ini diselesaikan secepat mungkin. Jadi kalian harus bekerja cepat dan bos kita akan mengecek kesini," ucap mandor itu pada para pekerja.
Dukun Parti segera menangkap informasi itu dengan memasang telinganya laksana parabola.
"Oh.... ternyata Jamal, Badrun, dan Tohir bos mereka. Kalau begitu saya harus kembali dan memberitahu Tangguh. Eh... tapi tunggu dulu, kira–kira ada makanan nggak ya di sini," pikir dukun itu dalam hatinya sembari memegangi perutnya.
Sebelum melaporkan informasi yang ia dapat, rupanya dukun itu mengendap–ngendap lebih dekat lagi. Bukan untuk mencari informasi, tapi untuk mengambil nasi bungkus yang sudah disiapkan untuk makan siang para pekerja. Namun rupanya di sana ada dua pekerja yang asik mengobrol. Ia pun penasaran dengan apa yang diobrolkan oleh dua pekerja itu. Ia mencoba menguping pembicaraan mereka.
"Eh, tau nggak, Man, waktu itu kasian ada ibu–ibu yang protes terus dengan proyek ini, dia diseret sama petugas kasian banget deh, nggak tau tuh mau di bawa ke mana."
"Iya, kalo dipikir–pikir kasian juga ya Jan, sama ibu itu, juga sama warga kampung. Tapi kalo nggak ada proyek ini kita mau kerja di mana, Man?"
"Iya juga sih, eh ngomong–ngomong soal kerja, kita harusnya kerja Jan, bukannya ngobrol di sini. Tadi kata pak mandor kan proyek ini harus sesegera mungkin diselesaikan."
"Kamu benar Man, ayo kita kembali bekerja."
Kedua pekerja itu pun kembali ke pekerjaannya. Sementara si dukun dapat satu informasi lainnya, yaitu ada seorang ibu–ibu yang diseret dan dibawa petugas karena protes dengan pembangunan proyek ini.
"Jangan–jangan ibu yang dimaksud itu ibunya Tangguh," pikir dukun Parti.
Setelah kedua pekerja itu kembali bekerja dan ia mendapat informasi tambahan, dukun Parti langsung mengambil nasi bungkus para pekerja, lalu membawanya pulang.
***
Di belakang rumah Pak Karyo, dukun Parti sedang asyik menikmati nasi bungkus hasil curiannya di proyek yang telah menggusur warga Desa Pasirputih. Di balik pohon ia bersembunyi sembari bersandar. Namun tiba–tiba datanglah Tangguh.
"Guru, sedang apa? Guru mencuri makanan lagi?"
"Heheheh," jawab gurunya cengengesan.
"Guru, apakah sudah dapat informasi?"
"Oh iya, Guru sudah dapat informasi penting."
"Apa itu?" tanya Tangguh.
"Bentar yah, Guru habiskan dulu makanan ini. Nggak enak makan sambil ngomong."
"Aduuuh Guru, lihat itu sudah berapa bungkus kau habiskan," kata Tangguh menunjuk bungkusan makanan di samping si dukun.
Tangguh terpaksa menunggu gurunya beberapa saat untuk menghabiskan makanannnya.
"Nah, Guru kan sudah selesai makannya. Sekarang cepat ceritakan info apa yang guru dapat?"
"Hmmm... rasanya haus sekali, bisa tolong ambilkan minum, Guh!"
"Aduuh Guru, baiklah–baiklah, nih guru airnya."
Glek.... glek.... glek... "Jadi begini ceritanya, uoaaaaaaaa.... kalo udah kenyang begini rasanya ngantuk banget. Guru tidur dulu, yah."
"Guru jangan, jangan tidur dulu. Guru harus menceritakan dulu info apa yang guru dapat!!!!!!!"
"Guru sudah tau siapa yang merusak desa ini," ucap gurunya sambil mejamkan mata.
"Wahhh, gak salah emang guru dukun sakti," Tangguh memuji gurunya.
"Hmmm, bukan begitu. Tadi Guru mendengar seorang mandor sedang memerintahkan para pekerja dan mandor itu menyebutkan tiga orang pemilik perusahaan itu."
"Haduhhh, aku pikir hasil penerawangan Guru, tapi siapa, jadi siapa pemilik perusahaan yang telah menggusur kampung kami, Guru?"
"Ketiga orang itu Badrun, Jamal, dan Tohir."
"Hmmmm.... Guru, sepertinya aku kenal dengan ketiga nama itu, itu kan nama teman-teman sekelasku dulu waktu di SD yang paling sering menjahiliku. Mereka itu dulu sangat nakal sekali. Jadi ternyata mereka otak di balik ini semua?!!!" geram Tangguh yang begitu kesal.
"Oh iya, guru juga sempat mendegar pembicaraan dua orang pekerja. Mereka membicarakan tentang seorang ibu yang terus memberontak dan akhirnya diseret petugas, enggak tau mau dibawa ke mana."
"Apa itu ibu?" Tanya Tangguh.
"Guru nggak tau, tapi ada kemungkinan seperti itu."
"Kurang ajaaar. Kalau begitu apa yang harus kita lakukan, Guru?" geram Tangguh sembari membalikkan badannya kemudian menoleh lagi ke arah gurunya.
"Ngkroooooooooook.... ngkrooooooooook."
"Guru.... Guru, yaah.... Guru tidur,"
"Tangguh.... tangguh!!!!" Pak Karyo memanggil Tangguh dari dalam rumahnya.
"Ada apa, Pak?"
"Kau sedang bicara dengan siapa lagi?"
"Ah.... enggak, cuma bicara sendiri lagi, Pak."
"Kemarilah, sudah waktunya makan!"
Mereka makan siang bersama dengan makanan ala kadarnya. Di saat sedang makan siang, tiba–tiba muncul ide bagus dari benak Tangguh.
"Guh, kenapa kamu melamun. Apa yang kamu pikirin?" tanya pak Karyo.
"Ehm... saya udah tau siapa dalang di balik penggusuran kampung kita, Pak. Mereka itu Jamal, Badrun, dan Tohir. Mereka adalah teman sekolahku yang paling nakal waktu itu."
"Oh.... ternyata begitu. Tapi kau tau dari mana?"
"Dari guru, eh... maksudnya saya denger dari pekerja proyek itu, Pak."
"Kalau gitu apa yang harus kita lakukan?"
"Saya baru aja dapat ide. Saya akan kerja di proyek itu untuk mengetahui lebih banyak informasi, termasuk keberadaan ibu."
"Tapi apa itu tidak bahaya?"
"Saya akan jaga diri supaya tidak ketahuan, Pak. Sementara untuk Pak Karyo, tolong himpun kembali seluruh warga kampung yang sekarang telah terpencar. Setelah semuanya terbongkar, kita akan hancurkan mereka bersama-sama."
"Baiklah kalau begitu."
Itulah ide yang akan dijalankan Tangguh dan Pak Karyo. Keesokan harinya mereka langsung menjalankan ide itu. Tangguh mulai mendatangi proyek itu untuk melamar pekerjaan sebagai kuli bangunan. Kebetulan proyek itu ingin diselesaikan secepat mungkin, dan melihat badan Tangguh yang cukup berisi setelah berlatih keras di pulau asing, mereka pun langsung menerimanya bekerja di proyek itu.
Sedangkan Pak Karyo pergi dari kampung ke kampung untuk menghimpun kembali warga desa Pasirputih yang telah terpencar. Kabar kembalinya Tangguh ke desanya segera tersiar ke warga desa Pasirputih, termasuk beberapa sahabat tangguh sewaktu sekolah dulu seperti Cahyo dan Solihin.
....
Tangguh bekerja setengah hati sebagai kuli bangunan. Ia terpaksa bekerja di proyek yang telah membuat desanya tergusur demi mendapatkan informasi. Ini juga dimanfaatkan Tangguh sebagai kesempatan untuk membuat proyek itu tersendat. Terkadang, saat para pekerja telah pulang, ia sempat menghancurkan kembali bekisting–bekisting yang telah dipasang sehingga beton yang masih basah luluh kembali.
***
Sebulan Kemudian
Sudah sebulan bekerja, ia masih belum tau informasi mengenai keberadaan ibunya. Tangguh yang mengaku bernama Ujang di proyek itu baru mengetahui kalau Badrun, Jamal, dan Tohir berada di kantor pusat di Jakarta. Berarti kesempatan untuk bertemu dan menghabisi mereka sangat sulit. Tapi ia baru saja mendengar informasi kalau para petinggi perusahaan itu akan mengadakan kunjungan ke proyek ini minggu depan. Ini kesempatan emas untuk menyiapkan rencana yang bagus.
Hari itu, Tangguh, Pak Karyo, dan seluruh warga desa yang telah dikumpulkan kembali bertemu di suatu tempat yang tersembunyi. Mereka membahas siasat yang akan dilakukan pada saat tiga pemimpin besar perusahaan yang telah menggusur desa mereka datang untuk memantau proyek. Pembicaraan pun dilakukan secara tertutup. Dan setelah beberapa jam mereka membahas hal itu, akhirnya mereka memperoleh kata sepakat mengenai strategi yang akan mereka jalankan.
***