Akhirnya hari itu pun tiba. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebuah helikopter mendarat di desa Pasirputih. Di sebuah tanah lapang, helikopter itu turun perlahan, mengibaskan angin menghempas debu-debu, melambatkan putaran baling-baling dan mendarat di sana.
Helikopter itu membawa tiga pemimpin besar PT. Raksasa oil, Badrun, Jamal, dan Tohir. Sebenarnya mereka bertiga masih muda. Orang tua Badrun mempercayakan perusahaan minyaknya dipimpin oleh anaknya dan kedua teman anaknya. Mereka bertiga turun dengan mengenakan jas hitam dan kacamata hitam bak pasukan FBI. Mereka berjalan tegap dengan membusungkan dada mendekati proyek. Tangguh yang bekerja di proyek itu mengenakan topi agar identitasnya benar–benar tidak diketahui.
Melihat lagak tiga orang itu, Tangguh sangat jengkel sekali. Mereka berjalan begitu angkuhnya dengan membusungkan dada. Hampir-hampir saja ia tak dapat menahan gejolak emosinya yang hampir meluap, untung saja kesabarannya mampu membendungnya.
"Hai... kau yang di sana....!!!" rupanya Badrun memanggil Tangguh.
"Iya, Pak," jawab tangguh yang berkaus putih dan mengenakan topi.
"Kalo kerja jangan malas begitu. Proyek ini proyek besar dan harus selesai. Kau tau itu?!"
"Iya, Pak," ucap Tangguh menunduk menyembunyikan wajahnya di balik topinya. "Untung saja ia tidak mengenaliku," ujar Tangguh lega dalam hatinya.
Siasat mulai dijalankan. Tardi dan Didik—warga kampung binaan pak Karyo—berhasil membawa sopir ketiga bos besar itu dan mencomoti pakaiannya. Sopir dan mobil mewah sebelumnya telah disiapkan untuk menyambut ketiga bos perusahaan minyak itu. Dan kini giliran Pak Karyo yang berpura–pura sebagai sopir mereka. Dalam penyamarannya, Pak Karyo memakai jas dan kacamata hitam yang diambil dari sopir bos-bos itu setelah pakaiannya dilucuti.
Badrun, Jamal, dan Tohir telah selesai mengunjungi proyek pengeboran minyak dan mereka kini kembali ke mobil untuk melanjutkan kunjungan ke lahan–lahan yang akan dijadikan perluasan proyeknya berkaitan dengan ditemukannya juga batu bara di desa Pasirputih. Setelah mereka bertiga masuk ke mobil, sepertinya mereka tak menyadari kalau sopir yang telah disiapkan untuk mengantarkan mereka keliling lokasi proyek adalah Pak Karyo. Namun mereka mulai curiga ketika Pak Karyo membawanya melalui jalan yang berbeda arah.
"Pak, kita mau ke mana, nih? Sepertinya ini bukan jalan menuju lokasi yang kita tuju," ucap Badrun yang duduk di belakang bersama Jamal dan Tohir.
"Tenang Pak, ini jalan pintas," jawab Pak Karyo yang menyamar sebagai sopir.
Namun mereka tetap curiga, "Hei, sebenarnya siapa kau ini?!!" tanya Jamal.
Pak Karyo pun segera mengerem mobil itu secara mendadak dan menunjukkan wajahnya kepada mereka. Mereka bertiga tentu begitu terkejut.
"Siapa kau? Mau apa kau?!!" tanya Badrun.
"Kau tanya saya mau apa. Seharusnya saya yang bertanya begitu. Kalian mau apa di kampung kami, merusak kampung kami?!!" tanya Pak Karyo dengan nada emosi.
Tak lama kemudian keluarlah satu per satu warga kampung dari balik semak dan pohon. Mereka langsung menyerbu ke mobil itu secara sporadis.
"Hai, keluar kauuuu....!!!!" teriak warga kampung menggedor-gedor kaca mobil.
"Hei, dasar kau pengecut kurang ajar kau....!!!!!" warga kampung terus meneriaki mereka.
Berbagai hujatan dilayangkan pada ketiganya. Bahkan ada di antara warga kampung yang mencoba memukul mereka. Namun pak Karyo mencoba menenangkan warga yang sedang emosi.
"Hei.... tenang semuanya, tenang. Lebih baik kita bawa saja mereka."
"Tapi Pak, mereka telah menggusur desa kita. Mereka tidak bisa diberi ampun," ujar warga yang begitu emosi.
"Sudah... sudah, kita bawa saja dulu mereka ke gudang."
Mereka membawa ketiga bos besar itu ke sebuah gudang yang tidak terpakai lagi yang terletak di antara pepohonan. Di gudang itu mereka bertiga diikat dan diintrogasi. Hujatan terhadap mereka kembali dilontarkan. Bahkan ada pula warga kampung yang meludahi mereka.
"Harus diapakan orang–orang macam mereka ini?!!" teriak salah satu warga kampung.
"Dibakar saja..... digantung saja.... dipukul habis–habisan saja," ujar warga kampung yang lain.
"Sudah, lebih baik kita laporkan saja mereka ke polisi," kata Pak Karyo mencoba menenangkan.
"Tunggu. . . . . . !!!"
Semua orang di sana terperangah dengan suara itu, dengan seseorang yang baru datang dan terlihat ada di depan pintu gudang yang telah terbuka. Cahaya terang di luar gudang membuat sosok itu hanya terlihat sebatas siluet. Setelah ia melangkah, barulah terlihat ternyata ia adalah Tangguh.
"Tunggu, jangan dilaporkan ke polisi!" ujar Tangguh.
Warga kampung bertanya-tanya dengan apa yang diucapkan Tangguh.
"Tapi kenapa, mereka sudah menggusur kampung ini? Membuat warga kampung kehilangan tempat tinggal. Kenapa jangan dilaporkan ke polisi?" tanya warga yang emosi.
"Bukan begitu maksudku. Kalian tau kan, mereka memiliki banyak harta yang melimpah. Kalau kita laporkan ke polisi, kita pasti kalah di pengadilan. Lebih baik kita beri pelajaran mereka di sini."
Mendengar penjelasan Tangguh, seluruh warga kampung pun mengerti.
"Hai Jamal, Badrun, Tohir. Kalian masih ingat siapa aku?!!" tanya Tangguh tegas.
"Ta.... Tangguh," jawab Badrun terbata-bata.
"Ka... kauu ma..masih hidup?" ucap Jamal tak menyangka.
"Kurang ajar, jadi kau bersekongkol dengan warga desa?!" kata Tohir yang begitu kesal.
"Ya, aku masih hidup. Pasti kalian senang waktu aku menghilang. Tapi kini aku di sini, di hadapan kalian. Dulu kalian selalu menjahiliku secara berlebihan. Dan hari ini kalian akan merasakan pembalasan dari apa yang kurasakan dulu, waktu kalian melemparku dengan penghapus papan tulis, waktu kalian menjebakku sehingga aku terperosok ke galian tanah, waktu kalian menggantungku dengan posisi terbalik di tiang bendera sekolah.
Dan ini semua untuk warga kampung yang kehilangan tempat tinggal. Dan untuk perbuatan kalian terhadap ibuku. Ini.... rasakan ini....," Tangguh melayangkan kepalan tangannya pada mereka.
"Tunggu, Tangguh. Kalau kau memukul kami, kau pasti menyesal seumur hidupmu. Karena apa, karena anak buah kami kapan saja bisa membunuh ibumu kau tau itu," ucap Badrun tersenyum sinis.
"Kurang ajaaar, di mana ibu, cepat katakan?!!" ujar Tangguh geram.
"Tenang, ibumu pasti tidak apa–apa asal kau melepaskan kami. Tapi jika tidak maka dooor..... sebuah peluru bersarang di kepala ibumu," ucap Badrun memperagakan sebuah pistol dengan tangannya ke kepala.
"Kurang ajar, siaaaaaaaal!!!!!" Tangguh menggenggam tangannya kuat-kuat.
"Bagaimana Tangguh? kalau kau melepaskan kami. Maka dalam tempo satu hari aku jamin kau sudah bertemu dengan ibumu," ucap Badrun berjanji.
Tangguh terdiam beserta pak Karyo dan seluruh warga kampung yang lain. Mereka bingung untuk mencari opsi lain. Akhirnya Tangguh terpaksa harus menyetujui permintaan mereka. Ketiga orang itu pun dilepaskan.
"Baiklah, aku setuju. Kalian akan kulepaskan. Tapi kalian harus menepati janji."
"Baik Tangguh, kamu tak usah khawatir, kami tidak akan mengingkari janji," ujar Jamal tersenyum sinis.
Ketiga bos yang telah menggusur kampung pun dibebaskan. Mereka langsung menelepon pilot helikopter tentang posisi mereka berada saat ini. Setelah beberapa lama akhirnya helikopter itu pun mendarat di depan mereka. Dan mereka bisa kembali ke Jakarta dengan menaiki Helikopter itu.
***
Hari itu berlalu, pun demikian dengan hari berikutnya, dan hari berikutnya lagi.
Tangguh terus menanti kedatangan ibunya. Namun sudah seminggu berlalu, ibunya tak kunjung datang. Setiap hari, seringkali ia mondar-mandir di depan pintu, berkalli-kali Pak Karyo menenangkan Tangguh.
"Sudahlah Nak Tangguh, mungkin ibumu masih di perjalanan. Tapi ibumu pasti akan kembali, Nak."
Namun Tangguh tetap saja gundah gulanah. Sampai minggu berikutnya ibunya belum kembali juga. Kesabarannya semakin menipis. Ia mulai meragukan janji yang diucapkan Jamal, Badrun, dan Tohir. Rasa kecewanya memuncak ketika telah sebulan berlalu dan ibunya tak kunjung datang.
Ia mendatangi proyek pembangunan pengolahan minyak itu dengan wajah penuh emosi. Sampai-sampai ia melempari proyek itu dengan batu secara membabi buta. Akibatnya, para pekerja yang sedang bekerja di proyek itu terpancing emosinya dan menyerbu Tangguh. Ada yang membawa sendok semen, cangkul, linggis, dan peralatan bangunan lainnya. Tangguh yang seorang diri akhirnya kualahan menghadapi mereka. Ia dipukul, ditendang, diinjak–injak oleh puluhan pekerja. Ia pun babak belur tak berdaya. Melihat Tangguh babak belur, datanglah dukun Parti, gurunya.
Dukun parti tak berkata apa–apa. Ia hanya menampilkan sorot mata yang tajam dan muka yang murka kepada para pekerja yang menghajar Tangguh. Lalu para pekerja itu pun lari terbirit–birit. Sebenarnya bukan karena dukun itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Tapi karena sorot matanya dan wajahnya mengingatkan mereka pada sosok mak lampir.
***
"Tangguh, Tangguh, kamu nggak apa-apa?" tanya gurunya cemas.
"A..a..aku nggak apa-apa, Guru," lirih Tangguh menahan sakit.
"Tak apa-apa bagaimana, bibirmu berdarah, wajahmu lebam, badanmu babak belur begitu."
"Guru, sebaiknya mulai saat ini jangan memanggilku Tangguh lagi. Lebih baik panggil aku Letoy lagi seperti dulu. Aku tak pantas dipanggil Tangguh. Aku begitu lemah dan tak berdaya," ucap Tangguh merasa lemah.
"Guh, jangan bicara begitu. Jangan menganggap dirimu lemah. Kamu itu kuat, makanya sekarang Guru memanggilmu Tangguh. Buktinya dulu kamu mampu melewati latihan berat. Hanya saja emosimu, emosi. Jangan sampai dirimu dikuasai oleh emosi. Kekuatan otak lebih penting daripada sekedar kekuatan fisik."
Mendengar ucapan gurunya, Tangguh sedikit lega. Walaupun saat ini harus babak belur dan dibawa ke puskesmas terdekat.
***
Saat di puskesmas, warga desa Pasirputih berdatangan untuk menjenguk keadaannya. Saat itu pula warga kampung dikagetkan ketika melihat sosok yang agak menyeramkan, sosok seperti hantu, tapi juga seperti orang gila. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah dukun Parti yang mengaku memiliki gelar Drs (dukun raja sakti) dari fakultas kedukunan.
"Tangguh, si...siapa dia?" tanya seorang warga sedikit ketakutan.
"Ehmm... kalian jangan takut. Ia adalah guruku yang memiliki kesaktian. Dia akan membantu kita mengembalikan desa kita seperti dulu kala dan menumpas kebiadaban Jamal, Badrun, dan Tohir."
Ketika mengetahui Tangguh dihajar habis-habisan oleh para pekerja bangunan, warga kampung ikut naik pitam. Mereka ingin kembali menyerbu proyek itu. Bahkan mereka ingin sekali membakar proyek yang telah membuat mereka kehilangan tempat tinggal.
"Sudah, kita serbu saja proyek itu. Kita bakar semuanya!!!!!" teriak salah seorang warga berapi-api.
"Tenang... tenang... tenang," ucap Pak Karyo menenangkan.
"Bakar saja... bakar saja....!!!!"
"Tenang... tenang. Kita tidak akan bisa membalasnya dengan emosi. Kita tidak bisa bersikap gegabah," kata Pak Karyo terus berupaya menenangkan mereka.
"Mereka sudah menginjak–injak kampung kami. Mereka sudah merendahkan kami. Sudah bakar saja.... bakar saja.... bakar... bakar!!" teriak warga.
"Sudaaaah...... cukuuuuuuuuup.... Apa kalian tidak lihat aku sedang sakit. Kalian malah ribut di sini. Ini kan puskesmas, aku pusiiiiiingggggg!!!" Tangguh merasa terganggu dengan teriakan warga di puskesmas itu.
"Betul, ini puskesmas. Lebih baik kita susun rencana lain. Kita bawa ketiga bos brandal itu kembali ke desa ini. Kemudian kita kasih pelajaran lagi. Toh mereka tidak memenuhi janjinya untuk mengembalikan ibunya Tangguh. Untuk rencananya lebih baik kita susun dulu nanti," usul Pak Karyo.
***
Sehari kemudian, Tangguh sudah diizinkan pulang setelah harus dirawat di puskesmas. Setelah istirahat sejenak, ia langsung mengadakan rapat koordinasi strategi dengan warga. Balai desa menjadi tempat pertemuan mereka degan puluhan warga. Disanalah Tangguh bertemu dengan Cahyo dan Solihin, keduanya adalah teman sekolahnya dahulu.
Hari itu rapat diadakan pukul delapan pagi. Di sebuah ruangan yang cukup besar mereka duduk bersama membahas strategi apa yang akan dilaksanakan untuk mengembalikan desa mereka seperti dulu. Rapat berlangsung alot. Ada beberapa warga yang emosi. Tapi mereka semua dituntut untuk berpikir tenang dan mengambil keputusan bijak.
Hingga siang hari, mereka belum juga menemukan kata sepakat. Barulah ketika sore hari, akhirnya didapatkan kata sepakat mengenai strategi yang akan dijalankan. Dalam strategi itu, Tangguh, Cahyo, dan Solihin akan pergi ke Jakarta untuk membawa ketiga penjahat konglomerat itu ke kampung mereka dan memberi pelajaran kepada mereka. Selain mereka, dukun Parti juga ikut. Dukun Parti yang digadang–gadang memiliki kesaktian, diharapkan bisa mengatasi halangan dan tantangan yang datang menghadang dari misi yang akan mereka jalankan.
***