Berhari–hari mengapung dan terombang–ambing oleh gelombang lautan bukan hal yang biasa bagi Tangguh. Apalagi selama sepuluh tahun ini ia selalu berada di pulau asing tempatnya terdampar dan bertemu dukun Parti. Akibatnya ia mulai merasa mual, semakin lama semakin mual hingga akhirnya ia tak mampu lagi membendung rasa mualnya.
"Uoo. . . uooo." Tangguh muntah di baju gurunya.
"Dasaaar kurang ajar kau Tangguh. Berani–beraninya kau muntah di baju gurumu iniiiiiiii. . . .!!!!"
"Ma... maap guru habisnya aku sudah tak tahan lagi berhari–hari terombang–ambing di atas laut," ucap Tangguh beralasan. "Sebenarnya aku muntah bukan gara–gara mabuk laut. Tapi karena mual melihat wajahmu terus tiap hari Guru... hihihi," ucap Tangguh dalam hatinya seraya tersenyum sendiri.
"Hei.... apa yang kau pikirkan Tangguh?"
"Eh.... tidak Guru, tidak ada hihhi ^_* !"
"Dasssarrrr, ini baju Guru satu-satunya."
"Hehe... ia maaf, Guruuu ^_^ v "
Akibat kena muntahan Tangguh, dukun Parti harus membilas baju hitamnya yang kumal itu dengan air laut sembari tetap memakainya. Perjalanan tetap dilanjutkan. Mereka beruntung karena selama perjalanan tidak ada ombak yang besar ataupun badai menerpa. Hingga suatu saat, ia mulai melihat daratan dari kejauhan.
"Guru, lihat itu!" Tangguh menunjuk ke depan.
"Apa? itu kan daratan," jawab sang guru.
"Ya, itu daratan, siapa tau di sana tempat aku tinggal dulu, Guru."
"Ah... kamu yakin? jangan–jangan kita balik lagi ke pulau yang kita huni -_-"
"Masa sih Guru, kita kan sudah hampir seminggu di laut. Kalau begitu kita harus lebih cepat ke sana, Guru. Ayo guru... ayo, sambil didayung terus guru, dayung terus, aku akan memberi semangat."
Taaaaaak...!!!! (suara jitakan), "Kurang ajar kau, guru disuruh mendayung sementara kau yang menyemangati.
Perlahan daratan semakin terlihat dengan pasir putihnya dan pepohonan yang hijau di balik pantai. Dan yang terpenting adalah sebuah batu karang yang berada di depan pantai itu, yang selalu dihempas ombak namun tetap berdiri kokoh. Perahu mereka akhirnya menepi di pantai itu. Nampak Tangguh mulai mengingat sesuatu.
"Ini... ini, nampaknya aku kenal tempat ini. Pasir putihnya, pohon kelapanya, dan yang aku tidak lupa adalah batu itu. Ya... batu karang itu."
"Kamu kenal tempat ini? jangan–jangan ini pulau yang kita huni dulu."
"Aduuuuuuh, bukan Guruuuuuuuuuuu. Aku yakin, aku ingat betul. Batu itu, batu karang itu sepertinya adalah tempat aku sering berdiri di sana."
"Kamu yakin, Guh? Kalau begitu di mana rumahmu?" gurunya kembali bertanya dengan tatapan meragukan.
"Ayo guru, ikut aku. Sebenarnya aku lupa jalan menuju rumahku. Tapi kita jalan saja sambil mengingat–ingat lagi."
Mereka pun berjalan menelusuri kampung. Melewati beberapa rumah dan pepohonan, menelusuri jalan tanah yang becek. Beberapa warga sekitar tak mengenalnya. Penampilan Tangguh sudah jauh berubah seiring dengan bertambahnya usia. Tapi walaupun begitu, setiap warga kampung yang dilaluinya selalu melihat dan memperhatikannya.
"Guh, mengapa mereka melihat kita seperti itu ya?" tanya gurunya.
"Aku juga tidak tahu guru," jawab Tangguh sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tak lama kemudian beberapa anak kecil mengikuti mereka dari belakang dan meneriakkan, "Orang gilaaa. . . . orang gila. . . . .orang gila. . . . !!!"
"Hei Tangguh, katanya kau dibilang gila, hahahaha :D," si Dukun menertawakannya.
"Guru, bukan aku yang dibilang gila. Tapi coba lihat penampilanmu, baju hitam sobek–sobek, rambut kusam, kuku panjang."
"Kurang ajar kau Tangguhhhh. . . .!!" geram gurunya yang kemudian memandangi sekujur tubuhnya. "Ehm... tapi kayanya betul juga, sih. Kalo begitu ayo kita lari...!" ucap gurunya lalu bergegas mengambil langkah seribu.
Mereka berlari dari kejaran anak–anak kampung itu. Barulah setelah anak–anak kampung tidak mengikutinya, mereka pun berhenti di depan sebuah rumah yang kelihatannya sudah lama ditinggalkan penghuninya dengan napas yang terengah–engah.
"Guru, sepertinya aku kenal tempat ini," ucap Tangguh.
"Sepertinya Guru juga kenal tempat ini," sahut gurunya.
"Memangnya guru pernah ke sini?" tanya Tangguh heran.
"Em, eh... enggak, maksud guru apa ini rumahmu?"
"Hmmm... sepertinya bukan. Oh.. aku ingat, dulu aku pernah lewat tempat ini. Kata ibu, dulu ini rumah seorang dukun beranak. Dia pergi dan menutup usahanya karena sial saat membantu proses kelahiranku."
"Sial, ternyata dia benar anak itu," Ucap dukun itu dalam hatinya. Oops, ternyata papan nama ini masih ada," dukun Parti kaget ketika melihat papan nama tergeletak di bawah yang bertuliskan :
Dukun beranak Mbo Parti melayani :
- Proses melahirkan normal
- Proses melahirkan premature
- Periksa kandungan
- Tes USG
- Cek tensi
- Dll
Buka praktek jam 9.00 s/d 16.00
Walaupun kondisinya sudah agak rusak dan berkarat, namun masih bisa dibaca. Ia pun menutupinya dengan daun–daun yang berserakan menggunakan kakinya.
"Sudahlah Tangguh, kita lanjutkan perjalanan menuju rumahmu!" ajak sang guru.
"Ayo, tapi Guru, itu apa sih, yang Guru tutup–tutupi pake kaki itu?" tanya Tangguh penasaran.
"Ah... sudahlah, itu tidak penting, yang penting kau sampai di rumahmu."
"Tapi aku penasaran, itu apa, sih?" ucap Tangguh yang semakin penasaran.
"Itu kotoran, guru menutupinya supaya nggak bau," ucap gurunya beralasan.
"Ah... masa sih?" Tangguh tak percaya.
"Ayo kita pergi!" Kata gurunya sambil menarik tangannya.
Mereka melanjutkan perjalanan. Tangguh sudah tidak sabar lagi ingin menemui ayah dan ibunya. Namun sudah lebih dari sejam mereka berjalan kaki menelusuri kampung ini, mereka masih belum sampai juga di rumah Tangguh.
"Guh, sebenarnya di mana rumahmu itu? Apa masih jauh?" tanya sang guru yang agak kelelahan.
"Ehhh..., Guru, sebenarnya aku lupa ke mana jalan menuju rumahku. Tapi kita lanjutkan saja perjalanan ini, siapa tau di jalan aku ingat."
"Aduh.... Tangguh, gimana sih kamu ini, katanya ingin kembali ke rumah, tapi rumah sendiri aja nggak tau di mana!!" gurunya jengkel.
"Hmmmm.... o iya Guru, aku baru ingat. Rumahku kan tidak jauh dari pantai tadi. Berarti kayaknya kita salah jalan, kita udah kelewat jauh guruuu, kita balik lagi yuk!"
"Hehhhhh..... dasar Tangguh, otakmu ternyata masih Letooooy...!!!!!"
"Maaf guru... hihihihi," ucap Tangguh sembari menggaruk kepala dan berjalan berbalik arah.
***
Mereka terus berjalan, semangat Tangguh untuk bertemu ayah dan ibunya ibarat matahari yang tak pernah padam. Sedangkan dukun Parti dari raut wajahnya yang semakin kusut nampak sudah merasa lelah. Namun apa boleh buat, ia sendiri yang ingin ikut.
Setelah satu jam berjalan, Tangguh mulai ingat jalan menuju rumahnya dan sepertinya sudah dekat. Itu artinya Tangguh tak lama lagi akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Terbayang dalam benaknya segala kerinduan yang telah lama dibendung akan tumpah ruah. Namun setelah ia sampai di lokasi tempat rumahnya berdiri, ia begitu terkejut. Matanya terpaku melihat sesuatu yang ada di hadapannya. Ia ingat betul di sanalah posisi rumahnya berada waktu itu. Namun sama sekali tak terlihat rumahnya ataupun rumah tetangga–tetangganya yang dulu. Bahkan pohon–pohon rindang yang berada di sekitarnya pun tak ada.
Yang membuatnya kaget karena di tempat itu lahannya sudah digaruk excavator. Ada juga beberapa mobil crane yang sedang dioperasikan, Alat pengeboran yang cukup besar, buldoser, dan beberapa alat berat lain. Adapula pekerja konstruksi yang sedang bekerja. Sebenarnya apa yang terjadi dengan rumahnya dan rumah lainnya? apa yang terjadi dengan kampungnya? Apa yang mereka bangun? Semua Pertanyaan itu menyeruak dalam benaknya.
Ketika ia memandangi pemandangan yang tak biasa itu, tiba–tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang. Tangguh pun terkejut dan menoleh.
"Kau Tangguh? kau ada disini, kau masih hidup?!!" tanya orang itu.
Tangguh mencoba mengingat siapa orang yang menepuk pundaknya itu, "Pak.... Pak Karyo, ya Pak, aku masih hidup. Tapi ada apa ini, Pak? Apa yang terjadi? Di mana ayah? Di mana ibu?" Tangguh bertanya-tanya tentang keadaan ini.
Pak Karyo adalah tetangganya dulu, bukan tetangga sebelah memang. Pa Karyo hanya terdiam menanggapi pertanyaan Tangguh, ia menunduk, lalu mengusap air matanya yang menetes keluar dari sudut matanya. Tangguh pun kembali bertanya padanya, "Pak, kenapa Bapak menangis. Sebenarnya apa yang terjadi, Pak?"
Pak Karyo menceritakan kejadiannya dengan mata berkaca-kaca, "Nak Tangguh, semenjak ditemukannya sumber minyak di kampung ini, Ada pengusaha yang ingin membangun pengeboran minyak dan pengolahan minyak di sini. Terlebih lagi bukan cuma minyak, belakangan juga ditemukan batu bara. Mereka pun rencananya akan memperluas area pertambangan. Kami memang menerima ganti rugi namun besarnya tak seberapa dan tak ada satu pun warga yang setuju dengan pembangunan ini. Kita semua seolah dipaksa menyingkir dari kampung ini."
"Lalu di mana ayah dan ibu?" tanya Tangguh lagi.
"Nak Tangguh, saat Nak Tangguh pergi, semua warga mencari keberadaan Nak Tangguh. Ayahmu sampai saat ini belum kembali semenjak mencari di lautan waktu itu," lirih Pak Karyo dengan raut wajah prihatin.
"Jadi ayah mencariku, hingga saat ini belum kembali. Lalu di mana ibu?" desis Tangguh yang cemas.
"Ibumu adalah orang yang paling keras menolak pembangunan proyek ini. Ia beberapa kali protes. Tapi ibumu malah ditarik, diseret, bahkan dipukul oleh petugas yang berjaga. Ia ingin bertahan tinggal di sini karena ingin menunggumu dan ayahmu. Tapi sudah beberapa hari ini keberadaannya entah di mana."
"Apaaaa...?!! jadi mereka menyakiti ibu. Kurang ajar.. biar kubalas mereka!!!" geram Tanggguh dengan rasa emosi yang meletup.
Tangguh hendak menghampiri petugas dan para pekerja yang mengerjakan proyek itu. Namun Pak Karyo menahannya, "Nak Tangguh... jangan Nak, berbahaya. Mereka pasti bisa menyakitimu. Waktu itu saja ada yang memprotes, tapi mereka malah dihadang buldozer. Lebih baik kita susun rencana dulu sebelum menghadapi mereka," ujar Pak Karyo menenangkan Tangguh.
Walau masih emosi, namun Pak Karyo berhasil menahan Tangguh dan mengajaknya tinggal sementara di kampung sebelah yang belum tergusur. Kira-kira rencana apa yang akan disusun oleh Pak Karyo dan Tangguh?
***