Deburan ombak menderu-deru, ayunan daun kelapa melambai-lambai, butiran pasir putih yang halus terhampar, dan langit biru yang megah berdiri tanpa satu pun tiang. Itulah yang setiap hari dilihat dan dirasakan oleh dua orang warga desa yang terdampar di suatu pulau yang asing bagi mereka. Joko dan Pak Tono, itulah mereka. Berulang kali mereka berteriak meminta pertolongan. Namun tak juga ada yang mendengar kecuali suara mereka sendiri yang menggema. Tak ada satu pun perahu yang melintas di hadapan mereka. Bahkan pesawat yang terbang pun jarang sekali terlihat. Hanya deburan ombak dan desir angin yang selalu menyapa.
Sepuluh tahun sudah mereka tinggal di pulau itu. Setiap hari mereka makan dan tidur di tepi pantai. Joko yang kehilangan satu tangannya dan Pak Tono yang mengalami lumpuh memang membuat mereka tak sanggup untuk pulang kembali ke kampung. Mereka menanti bantuan orang lain yang ternyata tak kunjung datang selama sepuluh tahun ini.
Setelah sepuluh tahun menunggu perahu yang melintas di tepi pantai namun tak juga datang, akhirnya tercetuslah ide untuk mencari bantuan ke dalam pulau yang sangat asing bagi mereka. Mereka berpikir sudah saatnya memaksa diri tuk bergerak demi menyelamatkan diri, jika tidak, seumur hidup mereka takkan pernah kembali. Walaupun sebenarnya mereka ragu akan ada orang yang tinggal di dalam pulau itu. Di pulau yang kelihatannya tak berpenghuni.
***
Mereka memulai perjalanan menelusuri ke dalam pulau itu. Walaupun Pak Tono harus digendong Joko yang hanya memiliki satu tangan, tapi mereka tak punya pilihan lain. Mereka harus berusaha mencari bantuan, walau harus menembus hutan yang lebat, mendaki gunung yang tinggi. Segala halangan dan rintangan mereka lalui. Mata mereka peka menangkap objek di sekitar, berharap ada orang yang bisa membantu.
Namun suatu ketika, terlihat sekali raut wajah Joko yang sudah mengalami kelelahan karena harus menggendong Pak Tono yang tak bisa berjalan. Keningnya basah oleh cucuran keringat yang mengalir seiring rasa lelah yang kian menerpa. Langkahnya pun terasa semakin melemah. Melihat wajah Joko yang kelelahan, Pak Tono tak sampai hati,
"Nak Joko, sebaiknya kita istirahat dulu di sini."
Mereka istirahat sembari menyandar di sebuah pohon. Mereka mengganjal perut dengan buah-buahan yang ditemukan di sekitar sana.
Setelah Joko merasa istirahatnya cukup, ia pun kembali mengajak Pak Tono melanjutkan perjalanan. Namun ketika Joko hendak menggendong Pak Tono, ternyata Pak Tono menolak tuk digendong.
"Pak Tono, mengapa tidak mau lagi digendong? Padahal kondisi kaki Bapak kan masih lumpuh?" tanya Joko.
"Saya enggak mau terus merepotkanmu. Saya nggak mau jadi beban bagimu, Nak Joko," ucap pak Tono yang merasa sungkan.
"Enggak Pak, saya sama sekali enggak merasa begitu."
"Tapi kondisi kaki saya sudah jauh lebih baik. Saya pasti bisa jalan sendiri, ya.... pasti bisa," ujar Pak Tono dengan penuh keyakinan.
Pak Tono mencoba berdiri. Ia memegang batang pohon yang ada di sampingnya. Perlahan ia melakukannya. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau ia sedang berjuang keras. Joko yang melihatnya seperti itu tak sampai hati. Namun ia tak ingin menghalangi semangat yang ditunjukkan Pak Tono.
Setelah berjuang keras, pak Tono pun bisa berdiri sendiri. Namun beberapa lama kemudian ia terjatuh lagi. Joko pun menahannya. Namun Pak Tono tak menyerah sampai di situ. Ia mecoba berdiri lagi dengan sekuat tenaga dan ia berhasil berdiri. Namun ketika ia hendak memulai langkahnya untuk berjalan, ia pun tersungkur lagi, hingga lututnya terluka. Joko pun tak sampai hati melihatnya.
"Pak Tono, sudahlah, Pak. Biar saya gendong saja," ucap Joko yang merasa iba.
"Tidak usah Nak, saya pasti bisa."
Pak Tono belum menyerah, ia terus berusaha sampai bisa. Ia mencoba kembali, namun beberapa langkah kemudian ia terjatuh lagi. Begitu seterusnya sampai beberapa kali, hingga membuat lutunya semakin terluka, ia pun merintih kesakitan. Tapi ia nampak tak peduli, seberapa kali pun terjatuh ia selalu berusaha berdiri lagi.
Ketika Pak Tono terus berusaha berjalan, justru tiba-tiba joko menjahilinya.
"Hati-hati Pak, ada ular!"
"Aku tak peduli, aku tak takut ular," ucap Pak Tono yang terjatuh kembali.
Kemudian Joko pun berkata sambil menunjuk ke bawah, "Eh Pak, awas ada tikus Pak, itu tikus. . .!!"
"Mana-mana tikusnya manaaaa??????!!!!!!" Pak Tono ketakutan berlari.
Joko pun takjub, lalu terlukis senyum di bibirnya ketika melihat Pak Tono justru bisa berlari. Ia pun terharu.
"Apaa?? saya bisa berjalan lagi, terima kasih Nak Joko," ucap pak Tono yang baru menyadari kalau ia bisa berjalan kembali. Ia pun memeluk Joko dengan perasaan amat bersyukur. Ia baru menyadari, ternyata ketakutan dapat membuatnya mengeluarkan segala potensi.
***
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Kini Pak Tono tidak lagi digendong Joko. Mereka berdua berjalan beriringan menelusuri hutan, menebas semak, dan melintasi sungai. Namun belum tampak seorang pun penduduk yang menghuni pulau itu. Ataukah pulau itu memang belum berpenghuni? Mereka tak tahu pasti, yang mereka tahu hanyalah berusaha dan berdoa. Mereka menyerahkan semuanya pada Sang Ilahi.
"Pak, sepertinya tidak ada siapa–siapa di pulau ini. Apa lebih baik kita kembali saja?" tanya Joko.
"Ssst... kita tak boleh menyerah. Kita baru seharian menelusuri pulau ini. Siapa tau di daerah yang belum kita telusuri ada penduduk asli pulau ini," ucap Pak Tono berpikir optimis.
Mereka melanjutkan kembali perjalanan tanpa kenal menyerah. Tak disangka petang tiba, matahari pun hampir tenggelam. Mereka berdua mencari tempat yang nyaman tuk istirahat. Membangun tenda kecil dari kain–kain bekas yang diikatkan dengan tali ke beberapa arah, lalu menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri dan memanggang makanan.
Ketika malam semakin larut, seusai sholat isya berjamaah dan berdoa, mereka terlelap di dalam tenda dadakan yang mereka buat. Dingin malam itu amat menusuk. Belum lagi nyamuk yang hilir mudik mengiung memekakan telinga. Namun itulah yang harus mereka hadapi ketika tinggal di hutan.
***
Pagi–pagi sekali suara ayam hutan yang berkokok membangunkan mereka dari alam mimpi. Namun alangkah terkejutnya mereka, ketika merasakan tenda dadakan yang mereka dirikan sudah roboh sehingga menyelimuti mereka, dan ada pula bagian–bagian yang sobek. Joko pun mencoba untuk mengintip ke luar dari bagian kain tenda yang sobek itu. Ia mengamati sekitar, mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi.
Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor beruang hitam yang lebih besar dari badan mereka sedang makan sisa ayam panggang yang mereka masak tadi malam. Rupanya beruang itu merusak tenda ketika mereka sedang tidur. Untung mereka tak jadi santapan beruang lapar itu.
"Pak Tono, ayo cepat bangun. Kita harus lari dari sini!!" kata Joko yang agak panik.
"Ada apa, Nak Joko? Mengapa kita harus pergi dari sini?" tanya Pak Tono yang tak tahu apa yang terjadi.
"Ayo, Pak, pokoknya ayo lari...!"
Mereka keluar dari runtuhan tenda dan segera lari dari tempat itu. Pak Tono baru menyadari apa maksud Joko ketika melihat beruang besar berbulu hitam yang tak sopan itu. Namun akibat mereka tergesa–gesa dan panik, beruang itu pun menoleh ke belakang dan menyadari keberadaan mereka. Beruang itu melihat mereka dengan sorot mata yang tajam. Lantas tak lama kemudian beruang itu langsung mengejar.
Di tengah rasa ketakutan, mereka berlari sekuat tenaga meliuk-liuk di antara pohon-pohon yang berjejer di hutan. Beruang gemuk itu pun terus mengejar mereka tanpa henti. Bahkan apa pun yang dilewatinya dirusaknya.
Perjuangan yang melelahkan untuk menghindari terkaman beruang lapar itu mengharuskan mereka untuk berpisah di suatu jalan. Mungkin inilah jalan yang terbaik agar beruang itu berhenti mengejar mereka.
Ketika mereka berpisah, beruang itu memilih mengejar Pak Tono yang baru saja sembuh dari lumpuhnya. Namun Joko tak tinggal diam. Ia lantas melempari beruang itu dengan batu dari belakang. Beruang itu semakin marah dan berbalik arah untuk mengejar Joko. Namun sebagai kawan. Pak Tono berusaha untuk menyelamatkan Joko. Tapi sulit baginya untuk mengejarnya.
***
Matahari telah tergelincir, hari pun telah sore. Pak Tono beristirahat sejenak. Di hadapannya, ia menemukan sebuah gua untuk tempat istirahat dari rasa letih. Namun di sisi lain, ada penyesalan dalam batinnya karena tidak bisa menolong Joko yang dikejar beruang ganas itu. Pak Tono hanya bisa bersandar di mulut gua dan berdoa semoga Joko baik–baik saja.
Ketika ia istirahat dan menyandar di dinding gua, datanglah seorang berambut gondrong dan bertangan satu yang berjalan dengan tubuh yang letih dan napas terengah–engah, itulah Joko yang rupanya selamat dari kejaran beruang hutan. Lantas Pak Tono pun langsung memanggilnya,
"Joko. . joko, kemarilah!! Kamu selamat ternyata!!"
Joko melihat Pak Tono di mulut gua itu dan berjalan menghampirinya. Namun langkah kakinya berhenti, pandangannya kabur dan ia terjatuh tak sadarkan diri.
Pak Tono segera berlari ke arahnya dan membawanya berbaring di mulut gua. Rupanya Joko benar–benar kelelahan akibat dikejar beruang itu.
Beberapa lama kemudian Joko pun sadar dari pingsannya.
"Nak Joko, akhirnya kau sadar juga, kau selamat dari kejaran beruang ganas itu?"
"I..iya pak, saya cukup beruntung. Saya hampir saja jadi santapan beruang itu. Ketika dikejar beruang itu, saya tersudut di ujung tebing. Saya bingung sekali apa yang harus saya lakukan. Saya sempat mikir loncat dari tebing itu? Tapi waktu beruang itu menyergap, saya tiarap dan berpegangan pada akar pohon. Sementara beruang itu gagal menyergap saya Pak, dan ia jatuh dari tebing itu," cerita Joko dengan tubuh yang masih lemah.
"Syukurlah kamu selamat, Nak Joko."
Sekarang gua itu dijadikan mereka sebagai tempat istirahat. Sesekali mereka mencari makanan untuk bisa bertahan hidup. Ketika malam tiba, obor di pasang di dinding gua untuk sedikit menerangi gua yang amat gelap. Sebelum tidur, pandangan Pak Tono tiba-tiba terpaku pada sisi dinding yang dipasangi obor. Ia mendekat dan meraba dinding gua itu, mencoba menerka apa yang ia lihat.
"Apa ini? Ini nampak seperti sebuah tulisan," ucap pak Tono dalam hatinya.
Ia mencoba membaca tulisan yang tergores di dinding gua itu. Alangkah terkejutnya ia, karena tulisan yang ia baca itu seperti ini :
Di gua ini aku sendiri
Tiada kutemukan tepi di antara sepi
Aku rindu ayah dan ibu
Dan semua tentang kampungku
Juga kawan–kawanku
Namun di sini aku akan buktikan kepada semua
Bahwa aku bukan anak yang lemah
Bahwa aku pantas memiliki nama seperti yang aku sandang saat ini
Tangguh Perkasa
Pak Tono yang terkejut segera membangunkan Joko yang baru terlelap dalam tidurnya, "Nak Joko... Joko. Bangunlah.... bangunlah!!"
"Ada apa, Pak.... apa ini sudah pagi?" tanya Joko.
"Tidak, ini masih malam. Tapi coba lihat apa ini?!"
"I. . . itu sebuah tulisan di dinding gua," ujar Joko yang juga terkejut.
"Ya, cobalah kau baca tulisan itu."
"I. . . ini tulisan Tangguh... Tangguh Perkasa?"
"Ya, rupanya anakku pernah ada di gua ini. A..atau jangan–jangan ia masih ada di sekitar sini. Kalau begitu coba kita masuk ke dalam gua ini, siapa tau ia ada di dalam," ucap Pak Tono dengan mata berbinar penuh harap.
"Baiklah Pak, ayo kita masuk!"
Mereka berdua masuk lebih dalam ke gua itu. Dengan berbekal obor sebagai alat penerang. Mereka mengamati setiap sudut gua, menyisir setiap dinding gua kalau-kalau ada petunjuk lainnya. Ada kelelawar yang menggantung di langit–langit gua dan sesekali di antara mereka terbang hilir mudik. Suasana begitu gelap dan mereka tak tahu apa yang ada di dalam gua itu. Bisa jadi di dalam gua itu mereka bertemu hewan buas atau apa pun itu. Tapi tujuan untuk mencari Tangguh begitu kuat, membuat mereka tak peduli akan apa yang mungkin terjadi.
Di dalam gua itu terkadang mereka harus menunduk, kadang pula harus melewati batu, mereka juga menemukan ruang di dalam gua itu. Mereka menuju ke ruangan itu. Seketika mereka terkejut dengan isi ruang di dalamnya. Di sana terdapat sesajen dan perlengkapan dukun lainnya.
"Ini tempat dukun bersemayam. Apakah Tangguh di sini menjadi dukun? A...atau mungkin ia jadi persembahan dukun itu. Ah... tidak itu tidak mungkin," pikir Pak Tono.
Mereka terus menelusuri gua dan memanggil nama Tangguh. Namun tak ada jawabnya kecuali suara mereka sendiri yang menggema memantul ke setiap dinding gua. Tak mereka temukan petunjuk lain di dalam gua, akhirnya mereka memutuskan untuk menghentikan pencarian itu sementara dan akan melenjutkannya lagi keesokan hari.
"Pak Tono, lebih baik pencarian ini kita lanjutkan besok pagi saja. Kelihatannya Tangguh tidak ada di gua ini. Malam ini lebih baik kita istirahat dulu."
"Ya, kamu benar. Lebih baik kita lanjutakan esok saja. Saya tak menyangka kalau Tangguh ternyata berada satu pulau dengan kita. Padahal sepertinya pulau ini kan tidak begitu luas. Coba saja kalau selama sepuluh tahun ini kita tidak diam saja di tepi pantai."
"Ya, benar, Pak. Tapi lebih baik kita bersyukur karena mengetahui bahwa Tangguh pernah di sini. Dan itu sebagai petunjuk untuk mencari Tangguh di pulau ini."
***