Esok paginya mereka memulai pencarian lagi. Tulisan di dinding gua itu menunjukkan kalau Tangguh berada atau pernah berada di sana. Setelah semalam mereka menelusuri gua dan tidak menemukan Tangguh, mereka pun mencari ke luar gua, ke daerah di sekitar gua itu.
"Tangguh. . . .Tangguh. . . .di mana kamu, Nak!?" teriak Pak Tono yang amat rindu pada anaknya.
Mereka pun terus memanggil nama itu. Namun tak ada jawabnya kecuali seekor burung yang berkicau di dahan pohon yang tinggi, atau suara kera yang bergelantungan. Pencarian mulai meluas, sungai ditelusuri karena orang cenderung tinggal di dekat sumber air, itulah yang mereka pikirkan.
Hari pun semakin sore dan mereka tak menemukan Tangguh, juga tak menemukan satu pun petunjuk mengenai keberadaan anak itu. Mereka pun memutuskan untuk menghentikan pencarian di hari ini. Namun ketika itu, mereka melihat sesuatu yang tak lazim. Jika biasanya pohon bambu tumbuh ke atas, tapi mereka melihat batang bambu justru tumbuh secara horizontal memanjang menelusuri tanah. Rupanya itu bukan pohon bambu yang tumbuh secara horizontal. Karena batang bambu itu sambung–menyambung, menelusuri tanah dan amat panjang. Kemudian mereka menelusuri ke mana batang bambu itu. Mereka menelusurinya sampai naik lebih tinggi lagi ke puncak gunung.
Mereka pun menemukan kalau batang bambu itu berujung di sebuah muara mata air yang terdapat di atas gunung. Rupanya itu adalah pipa yang terbuat dari batang bambu untuk mengalirkan air dari mata air di puncak gunung itu.
"Pasti ada seseorang yang telah membuat pipa bambu ini, Pak," ujar Joko menerka-nerka.
"Ya, ternyata memang benar, ada jejak kehidupan di sini. Tapi apa mungkin Tangguh yang telah membuat ini semua?" tanya pak Tono.
"Jikalau begitu, mungkin ia ada di ujung bawah pipa batang bambu ini. Pipa ini dibuat untuk mengalirkan air dari muara ini," ujar Joko menganalisa.
"Ya... mungkin saja. Kalau begitu, esok pagi kita harus telusuri ke mana air muara ini dialirkan melalui pipa bambu ini."
Mereka pun segera tidur di malam yang dingin. Dengan berselimutkan daun–daunan dari pohon di sekitar sana, mereka tak sabar menanti pagi. Terutama Pak Tono yang telah lama tak bertemu dengan anaknya.
***
Ayam berkokok, fajar pun tiba. Matahari mulai menampakkan pancaran sinarnya melewati sela-sela batang pohon yang berderet. Hari itu, pak Tono dan Joko bersiap untuk menuruni gunung dan menelusuri pipa bambu itu. Mereka berharap ada Tangguh yang tinggal di bawah sana.
Seusai shalat subuh dan sarapan ala kadarnya, mereka pun bergegas tuk berangkat. Mereka mulai menuruni gunung menelusuri meter demi meter pipa bambu itu. Ternyata pipa itu cukup panjang. Matahari mulai naik ke permukaan dan mereka belum menemukan di mana ujung pipa tersebut.
Langkah kaki mereka tak berhenti hingga ujung kaki merasa nyeri menahan berat tubuh yang menuruni bukit. Batu–batuan pun dilalui, rimbunnya hutan juga dilewati.
Setelah sekian lama ditelusuri hingga datangnya sore, akhirnya mereka pun melihat satu titik di mana pipa bambu itu tak ada lagi terusannya. Pandangan seolah tak mau lepas pada pipa bambu yang membentang itu. Mereka semakin semangat untuk terus melangkah. Semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat saja hingga akhirnya mereka benar–benar sampai di ujung pipa bambu itu. di sana nampaknya ada sebuah kebun tomat yang tanamannya telah mati.
"Ini kan kebun tomat. Apa pipa bambu ini dibuat untuk mengairi tanaman ini?" Joko mencoba menerka.
"Ah, jika tanaman padi mungkin ada orang yang membuat pipa saluran untuk mengairinya. Kalau tanaman tomat rasanya nggak mungkin," pikir Pak Tono.
Apa pun itu, kini mereka telah sampai di ujung pipa bambu. Dan di sana hanyalah ada kebun tomat yang tanamannya telah mati. Tak ada Tangguh atau siapa pun di sana. Nampaknya kebun itu telah ditinggalkan pemiliknya.
"Joko, kau lihat itu, di sana ada gua. Kita istirahat dulu di sana. Siapa tau ada orang di sana!"
"Baiklah, ayo, Pak!"
Mereka berjalan menuju gua yang letaknya tidak jauh dari kebun tomat itu. Namun mereka cukup terkejut ketika melihat gua itu, "Pak Tono, ini kan gua tempat kita istirahat kemarin lusa."
"O iya, nampaknya begitu. Berarti kita balik lagi kesini."
"Ia juga pak. Tapi tak apa–apa pak. Setidaknya kita dapat petunjuk baru kalau di tempat ini sebelumnya ada yang tinggal."
"Ya, dan mungkin anakku Tangguh."
Mereka istirahat kembali di gua itu untuk menghabiskan waktu semalam dengan tidur melenyapkan rasa lelah yang bergumul di sekujur tubuh setelah melalui perjalanan panjang seharian.
***
Mereka bangun di pagi yang begitu sejuk. Udara dan embun bersinergi menghasilkan suasana yang begitu nyaman. Burung–burung berkicau sembari hilir mudik kesana kemari. Daun–daun yang hijau melambai–lambai secara perlahan. Pagi itu mereka kembali mencari Tangguh yang kemungkinan ada di pulau itu. Pohon–pohon yang rindang dilalui. Dan belum berapa lama mencari mereka sudah menemukan petunjuk baru.
"Pak Tono, apa itu?" Tanya Joko melihat sesuatu.
"Oh... itu kan sisa pohon yang sudah tumbang, memangnya kenapa?"
"Bukan pohon yang telah tumbangnya, tapi lihat itu, Pak. Di sekitar pohon yang telah tumbang itu banyak bekas serutan kayu."
"Oh. . . benar juga, bekas apa itu ya?"
Di sekitar bekas pohon tumbang itu bertebaran serutan kayu dan potongan kayu kecil–kecil. Di sekitarnya juga ada beberapa peralatan seperti gergaji, dan kapak.
"Lihat itu, jejak apa ini?" kata pak Tono sembari menunjuk tanah.
"Ini, jejak apa ya. Hmmm.... oh saya mengerti sekarang, Pak. Ini pasti bekas perahu yang ditarik."
"Ah, jadi di sini ada orang yang membuat perahu lalu setelah jadi perahu itu ditarik ke pantai. Begitu maksudmu?" tanya Pak Tono.
"Ya, saya kira begitu, Pak."
"Tapi mungkin saja ini adalah buatan Tangguh."
"Mungkin saja sih, Pak. Tapi kalau begitu, berarti Tangguh hendak pergi dari pulau ini."
"Ya, kalau begitu ayo cepat kita telusuri jejak perahu ini. Siapa tau Tangguh belum pergi."
Dengan bergegas mereka menelusuri jejak perahu yang ditarik sambil setengah berlari. Mereka berharap orang itu adalah Tangguh dan belum sempat meninggalkan pulau ini.
Mereka pun sampai di tepi pantai. Namun sialnya, ternyata jejak perahu yang ditarik itu putus sampai tepi pantai. Dan itu artinya, orang yang membuat perahu itu, yang kemungkinan adalah Tangguh telah meninggalkan pulau itu menuju lautan bebas.
"Sial, kita telat, Pak."
"Ya, dia sudah meninggalkan pulau ini," desis Pak Tono menundukkan muka. Ia melihat puisi yang telah ia salin dari dinding gua ke sehelai sapu tangannnya dan berharap benar-benar bertemu dengan anaknya.
"Kalau begitu, kita pun harus ikuti dia. Siapa tau Tangguh meninggalkan pulau ini untuk kembali pulang ke kampung kita, Pak," usul Joko.
"Ya, mungkin saja. Tapi bagaimana kita kembali ke kampung?" tanya Pak Tono.
"Kita juga harus bisa bikin perahu, Pak."
"Kamu betul, berarti kita harus kembali ke sana."
"Ayo Pak, kita harus semangat!"
Mereka berusaha mencari jejak Tangguh. Mereka pun kembali lagi ke hutan untuk membuat perahu. Keinginan yang kuat telah mengikis rasa lelah mereka, seperti ombak yang tak henti-hentinya kembali ke pantai, walau terkadang harus menghantam batu karang.
***