Tangguh dan dukun Parti akan berangkat mengarungi samudra sekitar lima hari lagi. Segala persiapan dilakukan, terutama perbekalan makanan. Mereka rencananya akan pergi menaiki sebuah perahu yang akan dibuat Tangguh. Perahu itu dibuat dari kayu pohon besar yang tumbang disambar petir tempo hari. Kali ini tentu saja diperbolehkan menggunakan alat untuk membuatnya.
Dengan menggunakan kapak dan gergaji, Tangguh begitu semangat membuat perahu kayu yang berukuran tidak begitu besar. Perahu itu harus beres dalam waktu kurang dari lima hari. Jika tidak, mungkin gurunya berubah pikiran. Jika sudah begitu, bisa jadi Tangguh akan menendang perahu itu hingga tertelungkup dan membentuk gunung Tangkuban perahu, (loh. . . . itu kan cerita Sangkuriang).
Cucuran keringat membasahi keningnya, namun ia tak pernah berhenti. Dengan penuh semangat tak kenal lelah, ia menggergaji kayu, menyerut, dan menghaluskan, hingga menjadi sebuah perahu. Sesekali mengusap keringat yang membasahi kening.
Empat hari kemudian, Tangguh telah berhasil menyelesaikan perahu yang dibuatnya. Sebuah perahu kayu yang tidak besar. Perahu itu dilengkapi layar dari kain bekas untuk membiarkan angin mengembus sebagai alat penggeraknya. Perbekalan pun telah disiapkan. Tangguh menarik perahu itu sekuat tenaga ke bibir pantai walau jaraknya cukup jauh, lalu ia menaikkan perbekalan ke atas perahu. Semuanya telah disiapkan di tepi pantai.
***
Esok harinya di pagi hari yang cerah, Tangguh dan dukun Parti siap tuk berangkat. Mereka naik ke atas perahu yang menepi di tepi pantai. Namun tentu saja perahu itu belum melaju sama sekali.
"Hei... Tangguh, bagaimana perahu ini bisa maju kalau kamu tidak menarikanya ke laut?!" ujar sang guru agak sedikit kesal.
"Hehe, baiklah Guru, aku turun. Aku akan menarik perahu ini ke laut.
Setelah Tangguh menarik perahu itu ke laut, ia lantas dengan segera naik lagi ke perahu. Ia mendayung dan mengarahkan layar agar tertiup angin ke tempat yang mereka tuju. Suasana laut saat itu begitu tenang dan bersahabat. Cahaya matahari bersinar cerah menerangi birunya langit dan membias di permukaan laut.
Di atas perahu, Dukun Parti memejamkan matanya, melamunkan kebodohan di masa lalu yang kini telah terbayarkan.
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, saat Dukun Parti masih seorang dukun beranak. Ia bertekad kuat untuk menjadi dukun sakti, setelah merasa harga dirinya diinjak-injak saat membantu proses kelahiran Tangguh. Saat itu pun ia berangkat menaiki perahu nelayan menuju Pulau Asing. Ia percaya bahwa di pulau asing itu ada Universitas Dukun Indonesia yang akan bisa menjadikannya dukun sakti. Ia pun bertekad kuat dengan semangat membara. Setelah sampai di pulau itu ia membakar perahunya, bertekad akan maju terus pantang mundur untuk memenuhi ambisinya menjadi dukun sakti.
Namun sejak saat itu ia tak bisa kembali, dan terus menghuni pulau itu selama puluhan tahun. Dan saat ini ia amat senang bisa keluar dari pulau itu tuk kembali ke desanya dengan perahu yang dibuat Tangguh. Ia tersenyum-senyum sendiri dalam lamunannya.
"Guru, sepertinya ada satu masalah," ucap Tangguh pada gurunya.
"Apa itu?" tanya gurunya yang tersadar dari lamunan.
"Hehe.... aku sebenarnya tak tau kemana arah pulang. Aku bingung harus mengarahkan layar ini kemana."
"Heeeyyhhhhhhhh, dasar kau Tangguhhhhh!!!!!!" teriak gurunya yang begitu jengkel.
"Ampun Guru, biar kuingat–ingat lagi. Maklum, aku sudah sepuluh tahun di pulau itu. Lagi pula saat terdampar di pulau itu aku tak sadarkan diri."
Tangguh mengingat–ingat arah menuju kampung halamannya dengan memanfaatkan posisi matahari. Ia mengarahkan layar ke kiri dan ke kanan, melihat matahari seperti seorang yang kebingungan.
Lima jam terombang–ambing di atas laut yang kala itu begitu tenang, ia belum juga melihat pulau tempat tinggalnya berada. Nampaknya sekali mandayung 2-3 pulau terlampaui, hanya sebuah peribahasa. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk istirahat sejenak di salah satu pulau yang mereka lewati sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Mereka pun menepikan perahu di tepi pantai lalu menggelar tikar dan membuka makanan yang mereka bawa.
"Kita makan dulu Guru, aku lapar sekali." Tangguh segera membuka bekal makanan yang mereka bawa.
"Oke, kebetulan guru juga lapar," sahut gurunya.
Mereka makan dan beristirahat sejenak di pulau itu. Sambil menikmati makanan ala kadarnya, mereka juga menikmati pemandangan sekitar. Selanjutnya mereka akan kembali ke perahu untuk melanjutkan perjalanan.
Namun ketika hendak melanjutkan perjalanan, dukun Parti melihat ada sesuatu yang aneh dengan pulau ini. Pohon kelapa yang ada di pantai, gunung di tengah pulau yang terlihat dari tepi pantai, dan suasana pemandangan di pulau ini sepertinya ia amat mengenalnya. Kemudian setelah melihat dan berpikir sejenak ia langsung berteriak pada muridnya, "Tangguhhhhhhhhhhhhhhh. . . .!!!!!!!"
Tangguh kaget dengan teriakan gurunya.
"A...ada apa Guru, memangnya ada apa?" tanya Tangguh kebingungan.
"Heyyhhhhhhh.... Tangguh, kau ini.... kau ini bodoh sekali ya, kau benar–benar membuat gurumu ini kesal!!!!!" jawab gurunya yang begitu marah.
"Memangnya ada apa sih, Guru? Kok Guru marah–marah terus?" tanya Tangguh yang tak mengerti.
"Kau lihat pulau ini, pulau ini kan pulau yang kita huni. Mengapa kita kembali lagi ke sini. Heyyyy..... dasarrrrrrrrrrr!!!"
"Hmm.... hehehe, kalau di pikir–pikir iya juga, ya. Pulau ini seperti pulau yang kita huni. Kalau begitu kita mulai saja perjalanannya lagi Guru, gitu aja kok repot."
"Hehhhhhhhhhhh, grrrrrrrrrrrr," geram gurunya yang amat jengkel. Penantiannya untuk keluar dari pulau itu selama puluhan tahun harus tertunda lagi.
Mereka kembali naik perahu untuk melanjutkan, eh bukan–bukan, untuk memulai perjalan dari awal lagi menuju kampung halaman Tangguh.
Kali ini Tangguh sudah belajar banyak dari gagalnya di perjalan pertama. Ia tahu kalau di dalam kegagalan ada pelajaran yang berharga. Ia lebih berhati–hati dalam memutar arah layar.
Jam demi jam berlalu, mereka belum tiba juga di pulau tempat tinggal Tangguh. Hari pun berlalu dan hari berikutnya pun terus mereka lalui di atas laut. Makan dan tidur di atas perahu. Tak terlihat lagi pulau untuk sekedar istirahat sejenak. Yang terlihat hanyalah hamparan permukaan laut dan langit yang biru. Kini mereka benar–benar berada di tengah lautan, hanya lautan, dan lautan yang begitu luas seperti tak bertepi. Dihiasi matahari yang naik dan turun bergantian dengan bintang yang bertaburan di malam hari.
***