Sepuluh Tahun Kemudian,
Sepuluh tahun telah berlalu. Selama waktu itu pula seorang ibu tak henti–hentinya menanti kedatangan suaminya dan anaknya yang kini telah dewasa. Namun ia tak tahu pasti apakah mereka bisa berkumpul lagi seperti dulu kala. Bermain, bercanda dan tertawa bersama. Ibu itu pun hanya bisa merenung dan menanti di tepi pantai setiap hari mulai matahari terbit hingga terbenam.
Pada tahun 310 SM seorang filsuf Yunani bernama Theophrastus memasukkan surat dalam botol dan melemparkannya ke lautan untuk membuktikan bahwa Laut Tengah berasal dari Samudra Atlantik. Seperti itu pula yang dilakukan Bu Tini selama ini. Sambil menanti kedatangan anak dan suaminya di tepi pantai, ia menuliskan sepucuk surat untuk anak dan suaminya di sebuah lembaran kertas. Surat itu digulung dan dimasukkan ke dalam botol, lalu dilemparkannya ke laut dan berharap anak atau suaminya membacanya di suatu tempat. Walau ia tak tahu ke mana sang ombak membawa surat itu. Yang pasti, itulah yang dilakukannya selama ini dengan penuh harap.
***
Gunung, hutan, lembah, rawa, semuanya telah Tangguh lalui untuk menghadapi ujian yang diberikan gurunya. Sepuluh tahun berlalu, dan ia kini merasa sudah sesuai dengan namanya, Tangguh Perkasa. Badannya yang dulu kurus kerempeng kini sudah agak berotot, membuatnya sudah terlihat sebagai orang yang Tangguh.
Hari itu, ia pergi ke pantai dan duduk termenung bersandar di sebuah pohon kelapa. Ia merenungi semua hal yang telah terjadi dalam hidupnya selama ini. Mulai dari sekolah, sampai terdampar di pulau ini. Ayah dan ibu, itulah sosok yang selama ini paling ia rindukan. Terbesit keinginan dari benaknya untuk kembali pulang. Ia ingin mengetahui bagaimana kabar ayah dan ibunya, dan bagaimana kabar kampung halaman yang telah ia tinggalkan sepuluh tahun yang lalu.
Hari semakin siang, matahari tepat di atas ubun-ubun. Panas terik semakin terasa diiringi permukaan laut yang memantulkan cahaya matahari laksana kristal. Gelombang ombak menyapu pantai dan semakin mendekatinya, hingga air laut membasahi tubuhnya ia tak peduli. Ia masih saja duduk termenung memandangi laut dan langit biru.
Ketika duduk termenung, ombak membawa sesuatu dari lautan mengenai kakinya. Benda itu hanyalah sebuah botol. Ia mengambil botol itu dan ingin melemparnya kembali ke lautan sejauh mungkin untuk melampiaskan kegundahan yang ia rasa. Namun ayunan tangannya terhenti ketika ia melihat ada gulungan kertas di dalam botol itu. Rasa penasaran menyelimutinya dan ia bertanya–tanya sendiri, "Kertas apa ini?"
Tangguh pun membuka tutup botol itu dan mengambil gulungan kertas di dalamnya. Gulungan kertas itu dibukanya dan dilihatnya. Ternyata gulungan kertas itu berisi sebuah tulisan, namun air laut yang merembes masuk ke botol membuat beberapa bagian tulisan di kertas itu luntur. Hanya sedikit bagian tulisan yang masih bisa terbaca, "Pulanglah Tang. . . . ayah sudah. . . . . .ibu. . . . . .mu." Itulah beberapa bagian tulisan yang masih bisa terbaca.
Tangguh penasaran akan maksud tulisan itu, "Sebenarnya apa maksud dari tulisan di kertas gulungan itu? Mungkinkah tulisan ini dari ibu?" pikirnya. "Jika benar ini adalah tulisan ibu, berarti aku harus pulang, karena itulah pesan dari tulisan ini. Lagi pula aku amat rindu pada ayah dan ibu," ucap Tangguh dalam hatinya.
Setelah ia membaca surat itu, walaupun tak tahu dari siapa dan untuk siapa, seketika terbesit dalam benaknya untuk kembali pulang menemui kedua orang tuanya. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya bisa kembali ke rumah. Sedangkan semua murid dukun Parti yang sebelumnya ingin kabur ternyata harus meregang nyawa dan menyatu dengan gundukan tanah di atas gunung. Ia tak mau seperti itu.
Ia mondar–mandir di depan mulut gua memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk pergi dari pulau itu dan kembali ke rumahnya. Kemudian ketika masih mondar–mandir sambil berpikir, datanglah gurunya, "Hei Letoy, sedang apa kau di situ?"
"Hmmmm..... bagaimana kalau aku jujur saja pada guru?" tanya Tangguh dalam hatinya.
"Hei, sedang apa kau, ditanya malah melamun?" gurunya kembali bertanya.
"A....a....aku, tidak guru tidak apa–apa," ucap Tangguh tergagap-gagap.
Tangguh tak jadi mengatakan pada gurunya. Ia pun kembali mondar–mandir.
***
Malam itu ia termenung dan duduk ditemani api obor yang menyala di dinding gua.
"Aku harus bilang, aku harus bilang pada guru, ya, harus bilang," Tangguh berusaha meyakinkan dirinya.
Kemudian ia menghampiri gurunya yang sedang duduk sila komat kamit di tempat persemayamannya.
"Guru..... Guru!" Tangguh memanggilnya dengan suara pelan.
"nyalga'aobfanionvv ueja;enaoada cingcangkeling manuk cingkleng cileupeung, plos kakolong bapa santar buleneng," gurunya masih komat–kamit.
"Guru.... guruuuuuuuuu...!!!!!!!!!!" Tangguh teriak sekerasnya di malam yang sunyi di dalam gua sehingga suaranya terdengar keras dan menggema.
"Ehh... ayam, kodok, kunyuk, bagong, bajing luncat, onta arab, dasar Letoooooooooy, kamu mengganggu konsentrasi Guru saja!!!" gurunya marah dengan kata-kata latah menyebut nama-nama binantang.
"Hihihi, maaf Guru, ada yang ingin aku bicarakan."
"Kau tidak liat guru sedang semedi?!!" Gurunya marah.
"Penting guru, ini penting sekali," Tangguh memohon pada gurunya sambil merapatkan kedua telapak tangannya ke depan.
"Baiklah, duduklah, bicaralah!"
"Be...begini Guru.... begini.... eh... begini," ucap Tangguh tergagap-gagap di depan gurunya
"Begini apa Letoooy!!??"
"Ehhhhmm.... sebenarnya.... sebenernya aku ingin kembali pulang menemui orang tuaku guru." Tangguh menundukkan muka.
"Apaaaa... pulanggggg??!!! Kau pikir kau sudah menguasai semua ilmu yang Guru ajarkan?!" ucap dukun itu kaget dengan pernyataan muridnya.
"Memangnya apa yang Guru ajarkan, paling–paling suruh ngambil air, pijitin, bersihin gua, nyabutin rumput, hmmmm -__- ," kata Tangguh dalam hatinya.
"Hei, mengapa kau diam saja?" tanya sang guru.
"Ehmm, ibuku pasti khawatir sekali, aku ingin sekali menemani ibu dan ayah, membantu mereka bekerja dan berkumpul bersama. Jadi bagaimana Guru, boleh kan?" ucap Tangguh memohon.
"Hmmmmmm.... oke."
"Yeah.., terima kasih guru .... terima kasih, lalala yeyeye lalala." Tangguh kegirangan dan tak menyangka akan semudah itu.
"Sssst, jangan seneng dulu, Guru akan mengizinkanmu asal kau bisa memenuhi satu syarat."
"Apa itu guru?"
"Ikutlah denganku!" Gurunya membawanya berjalan ke hutan yang tak begitu jauh, lalu memperlihatkan sesuatu.
"Letoy... kau tau apa itu?" tanya sang guru.
"Oh, pertanyaan mudah, itu kan pohon, aku benar kan guru? berarti aku boleh pulang kan, yeyeye...."
Tak....!!!!! gurunya menjitak kepala Tangguh.
"Dasar bodoh .... monyet pun tau kalau itu pohon. Bukan itu maksudku."
"Huhuhu, Lalu apa guru?" tanya Tangguh sambil memegangi kepalanya yang sakit.
"Pohon itu sudah ratusan tahun, saking besarnya, batangnya hanya bisa dipeluk oleh lebih dari lima orang, tingginya hampir seratus kali tinggi badanmu. Tugasmu adalah merobohkan pohon itu tanpa alat apa pun, hanya boleh memakai kedua tanganmu."
"Apaaaaaa.... Guru.... kau bercanda, kan?"
"Kau tak bisa membantah. Lakukanlah, jika kau ingin pulang. Anggap ini tugas terakhir dariku," ucap sang guru yang kemudian kembali ke gua.
"Hmmmm... ba...baiklah Guru, akan kucoba," ucap Tangguh dengan penuh keraguan.
Gurunya sengaja memberikan tugas itu karena ia merasa yakin Tangguh takkan mampu melakukannya.
Sebenarnya Tangguh juga sama sekali tak yakin bisa merobohkan pohon itu. Pohon itu menjulang tinggi dan diameter batangnya amatlah besar. Sepertinya tak terlalu berbeda jauh dengan pohon Coast redwood yang dinamai Hyperion di California. Memakai kapak saja mungkin akan sangat sulit merobohkan pohon sebesar itu, bahkan memakai gergaji mesin pun masih sulit. Apalagi ia harus memakai tangan kosong.
Namun tekad yang begitu membara tuk kembali bertemu kedua orang tuanya, sahabatnya, dan kembali ke kampung halamannya telah memberikan kekuatan tersendiri. Baginya, yang terpenting adalah berusaha sekuat tenaga dulu. Soal hasil biarlah Yang Maha Kuasa yang menentukan.
Malam itu ia istirahat sembari memikirkan bagaimana caranya untuk merobohkan pohon sebesar itu.
***
Ayam telah berkokok, mentari pun telah menampakkan pesona sinarnya. Tangguh telah bangun sejak pagi–pagi sekali. Tekadnya untuk kembali ke kampung halamannya membuatnya lebih semangat untuk menjawab tantangan dari gurunya.
Pagi–pagi ia pergi ke tempat pohon itu berada. Memandanginya sejenak dari bawah hingga ke atas. Lalu ia mulai melangkah maju mendekati pohon itu. Diangkat lehernya menatap pohon yang amat besar dan menjulang tinggi itu. Pukulan, tebasan, tendangan mulai ia coba. Ia coba lagi, ia coba lagi, begitu seterusnya, ia tak menyerah dan terus berusaha. Namun hingga datangnya senja, pohon itu masih berdiri kokoh. Apa yang dilakukan Tangguh sama sekali tak membuat pohon itu bergoyang sedikit pun. Yang ada hanyalah tangan yang terluka dan kaki yang bengkak akibat pukulan dan tendangan yang ia tujukan pada pohon itu.
"Ini sia–sia, ini sia–sia," itu yang muncul di pikirannya petang itu. Namun ia ingin sekali bertemu orang tuanya. Dan merobohkan pohon itu adalah syarat yang diajukan oleh gurunya. Karena itulah segala keraguan ia singkirkan dari benaknya jauh-jauh.
Keesokan harinya, ia coba lagi hal yang sama. Pukulan, tendangan, tebasan, semuanya ia arahkan pada pohon itu. Kakinya semakin bengkak, tangannya semakin luka. Ia merasakan sakit yang teramat sangat. Ia menahan perih, melihat ke arah matahari dan berkata dalam hatinya, "Apakah aku mampu melakukannya?" Namun ia hanya mencoba percaya bahwa ketika kita sudah berusaha sekuat tenaga, maka Yang Maha Kuasa akan membantu kita.
Hari itu ia tak berhasil. Bahkan hanya untuk menggoyangkan pohon itu pun tidak sama sekali. Esok harinya ia coba hal yang sama, di hari berikutnya dan hari berikutnya lagi pun demikian. Namun tak juga membuahkan hasil. Ia tak kuasa lagi menahan sakit. Ia pun merintih dan berteriak memanggil ibunya sambil menangis.
Hujan turun seiring isak tangis dan rintihannya. Air hujan membasahi darah yang mengucur dari kepalan tangannya. Ia pun berlari tuk berteduh di mulut gua karena hujan yang semakin lama semakin membesar. Gemuruh petir dan kilatan cahaya datang silih berganti. Awan yang hitam pekat menggelapkan suasana sore itu. Tiupan angin yang begitu kencang membuat daun–daun berterbangan. Gemuruh suara petir semakin besar terdengar. Di saat letih dan terluka, Tangguh merasa ketakutan.
"Ibu... aku takut, Ibu... aku takut," itulah yang diucapkannya sambil setengah menangis.
Tangguh menutup mata dan telinganya. Di dalam pikirannya ada bayangan ibunya. Ibunya yang selalu memeluknya di saat ia ketakutan ketika ada petir menyambar saat ia masih kecil. Ia pun terus menutup mata dan telinganya kuat-kuat.
Kilatan cahaya petir tak ada lagi, tiupan angin pun semakin melemah, dan hujan pun semakin mereda. Sinar mentari perlahan muncul di balik awan seiring dengan memudarnya awan–awan hitam. Cahaya matahari yang dibiaskan rintik–rintik hujan menimbulkan pelangi yang begitu indah kala itu. Perlahan Tangguh mulai memberanikan diri membuka mata dan telinganya. Tatapannya tertuju pada langit yang cerah. Ia tersenyum dan takjub akan munculnya pelangi yang begitu indah. Sampai–sampai ia hampir lupa tugasnya untuk merobohkan pohon besar itu.
Namun ketika ia hendak kembali pada tugasnya untuk merobohkan pohon besar itu, ia terkejut. Teramat terkejut ketika melihat pohon besar yang hanya mampu dipeluk oleh lebih dari lima orang dan menjulang tinggi ke langit. Pohon yang begitu sulit untuk dirobohkan sampai–sampai tangan dan kakinya terluka. Pohon yang hampir membuatnya putus asa itu. Kini pohon itu tak lagi berdiri kokoh sebagaimana sebelumnya. Ternyata pohon itu telah tumbang akibat sambaran petir yang menggelegar begitu dahsyat saat hujan deras tadi.
Namun ada yang lebih terkejut lagi. Yaitu gurunya yang baru saja terbangun dari tidur pulasnya. Ia keluar dari mulut gua menuju tempat pohon besar itu berdiri, untuk melihat muridnya yang sedang menjalankan tugasnya. Saat iler masih menetes dari mulutnya. Saat belek masih nangkring di matanya. Saat rambut yang masih kusut walaupun biasanya selalu kusut, ia terkejut setengah mati, hampir–hampir bola matanya melompat keluar dari tempatnya dan mulutnya menganga seperti kudanil di kubangan air.
Ia melihat sang murid, Tangguh, telah berhasil menjawab tantangannya untuk merobohkan pohon yang teramat besar itu. Ia tak tahu kalau kala itu ada petir besar yang menyambar pohon itu dan menumbangkannya.
"Tang..... Tang... Tangguh, kau berhasil me...merobohkan pohon itu," ucap gurunya yang matanya melotot dan mulutnya membuka lebar tanda sangat takjub.
"Guru.... Guru tak memanggilku Letoy lagi, apa ini artinya aku sudah lulus dari ujian ini? Apa aku boleh kembali pulang?" tanya Tangguh berharap.
"Kau... kau sudah berhasil."
"Asiiiiii.......k!!!!!!!" teriak Tangguh lalu melompat setinggi mungkin sambil meninju udara.
"Tapi tunggu dulu Tangguh, kalau kau ingin pulang ada syaratnya lagi."
"Aduuuh Guru, syarat apa lagi sih, aku kan sudah berhasil merobohkan pohon itu." ("Sebeneernya bukan aku sih, pohonnya kan roboh kesamber petir hehehe," ucap Tangguh dalam hati)
"Syaratnya adalah, kau harus mengajak Guru ke kampung halamanmu. Guru juga kan ingin melihat dunia luar, hehehe..."
"Haduhhh Guruuu. Huuuh... apa boleh buat (-_-)!!"
***