Hari itu, ditemani rintik–rintik gerimis, Tangguh duduk sendiri di bawah pohon. Tatapannya kosong termenung memikirkan sesuatu. Tapi bukan memikirkan hukuman apa yang akan diberikan gurunya. Tangguh memikirkan mimpinya beberapa hari yang lalu. Sudah dua kali ia memimpikan ibunya yang sangat ia rindukan. Namun mimpi itu sangat aneh. Di mimpi yang pertama, ibunya hanya termenung duduk di kursi goyang, dan di mimpi yang berikutnya, ibunya berjalan menunju lautan seolah tak mendengar teriakannya. Aneh sekali mimpi itu, lalu di manakah ayahnya? ayah yang selalu ia kagumi.
Tak ada orang yang tahu keberadaan ayahnya. Tangguh pun tak tahu kalau ayahnya hilang ketika ikut mencari Tangguh di lautan. Ketika badai besar menghadang kapal dan gelombang lautan mengamuk. Apakah lautan telah menelannya? Ataukah lautan membawanya pergi ke suatu tempat? Tiada seorang pun yang tahu.
***
Pagi itu, di sebuah pantai ada sesosok pria yang tergeletak di hamparan butiran pasir. Tak tahu apakah masih hidup atau tidak. Tapi ketika buah kelapa jatuh tepat di punggungnya, perlahan ia terbangun. Ia telah terbawa gelombang laut dan terdampar di sini. Perlahan ia duduk menyandar pada batang pohon kelapa, memegangi kepalanya, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun ia tidak ingat mengapa bisa berada di pantai ini. Yang diingatnya hanyalah deburan ombak yang begitu besar, dan angin yang berembus begitu kencang hingga menghancurkan kapal. Namun ia amat bersyukur bisa selamat dari bencana itu.
"Api unggun, siapa yang menyalakan api ini, apakah di sini ada orang lain?" tanyanya dalam hati lalu menengok ke kanan dan kiri.
Kemudian seseorang pemuda berambut gondrong menghampirinya, "Pak Tono, sudah sadar rupanya," ujar si pemuda.
"Joko, kau ada di sini." Pak Tono tak menyangka bertemu Joko di sini.
Namun Tono merasa ada sesuatu yang berbeda pada diri Joko, "Joko, ta....tanganmu... tanganmu kenapa?" tanya Pak Tono.
"Ya, saya bersyukur masih punya kesempatan hidup," ucap pemuda itu menunddukkan muka.
"Memangnya apa yang terjadi? kamu kenapa, Joko?" tanya Pak Tono mengerutkan dahi.
"Tangan saya digigit ikan hiu hingga putus, dan ikan hiu itu memakannya. Pak Tono sendiri mengapa bisa terdampar di pulau ini?" Joko bertanya balik.
"Yang saya ingat ketika ombak besar menghantam kapal, saya terlempar ke lautan, lalu saya tak ingat apa–apa lagi. O... iya, saya kasihan sekali padamu, Joko, kamu masih muda tapi sudah kehilangan salah satu anggota tubuh," ujar Pak Tono menepuk pundak Joko.
"Ah, awalnya saya merasa putus asa, Pak, tapi lama–lama saya pikir kalau ini mungkin yang terbaik. Karena yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan yang terbaik dalam hidup ini, apa pun kondisi kita," ujar Joko yang bersikap bijak.
"Wah, saya kagum sekali padamu, sekarang kamu lebih bijaksana," ucap Pak Tono memuji.
"Terima kasih Pak Tono. O... iya, saya sudah masakkan ayam bakar. Kita makan bersama, yuk!" ajak Joko pada Pak Tono.
"Baiklah, terima kasih."
***
Pak Tono mencoba tuk menghampiri Joko yang sedang mengipasi ayam bakar dengan sebelah tangannya yang masih tersisa. Namun tanpa diduga, ia merasa sulit sekali untuk menggerakkan kakinya. Semakin ia paksa semakin sakit yang ia rasakan. Satu tangannya memegang pohon kelapa kuat-kuat, ia berupaya kembali tuk berdiri, namun ia terjatuh lagi. Joko pun menghampirinya dan menuntunnya.
"Pak Tono, tidak apa–apa, Pak?" tanya Joko khawatir.
"Kaki... kaki saya sakit sekali," ucap Pak Tono merintih menahan perih.
"Coba saya lihat, Pak."
Pak Tono sama sekali tak bisa menggerakkan kakinya. Ia pun tak menyadari apa yang terjadi dengan kedua kakinya. Setiap kali berusaha berdiri, kakinya tak kuasa menahan bobot tubuhnya.
***
Hari demi hari berlalu, sampai saat ini Pak Tono masih juga belum bisa menggerakkan kakinya. Ia duduk termangu menyandar pada pohon kelapa, memandangi matahari terbit di tepi pantai diiringi lambaian pohon kelapa.
"Pak Tono, sedang apa Pak duduk melamun di sini?" Joko pun datang dan menyapanya.
Pak Tono hanya terdiam sejenak kemudian ia berkata, "Bagaimana saya bisa menemukan anak saya dengan keadaan seperti ini. Saya mungkin hanya bisa merepotkan saja, lemah?" ucap pak Tono sambil merintih dan sedikit menitikkan air mata.
"Jangan berkata begitu Pak, Apa Pak Tono tau cerita tentang seekor ular. Begini ceritanya pak,
Dahulu sebenarnya ular punya tangan dan kaki seperti manusia. Ia pun bisa berjalan seperti biasa. Namun karena tubuhnya yang kurus, ia merasa dirinya lemah, sehingga ia pun sering sekali diinjak–injak.
Saat itu ia disiksa, dijebloskan ke dalam penjara. Namun ia masih tak berani untuk melawan. Sampai suatu ketika tangan dan kakinya dipotong. Pada saat itulah si ular baru merasa kalau ia tak bisa berdiam diri. Ia harus bertindak dan percaya bahwa dirinya bukanlah diri yang lemah. Ia bertekad untuk menjadi hewan yang kuat dan ditakuti, walaupun tak memiliki tangan dan kaki. Hewan lain pun kini takut akan bisanya yang mematikan. Dan ular sampai sekarang telah menjadi hewan yang kuat.
Mendengar cerita itu, Pak Tono hanya menundukkan muka, tapi ia merasa jauh lebih lega. Ia merasa malu sekali akan pemuda yang ada di hadapannya. Pemuda tanpa sebelah tangan namun masih memiliki semangat yang luar biasa untuk menjalani hidup. Baginya, Joko seperti pendekar Yoko yang semakin kuat walau tanpa sebelah tangan.
Sebenarnya Pak Tono tahu kalau Joko hanya mengarang–ngarang cerita untuk menghibur hatinya. Tapi Pak Tono belajar banyak dari cerita itu. Bahwa kelemahan atau kekuatan tidak ditentukan oleh kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, tapi oleh tekad yang kuat yang kita miliki.
Sejak saat itu, Pak Tono dan Joko hidup saling melengkapi kekurangan masing–masing di pulau itu. Kadang Joko menggendong Pak Tono untuk memetik buah yang ada di atas pohon. Kadang pula mereka memburu ayam hutan untuk dijadikan makanan. Mereka pun semakin menyadari bahwa setiap manusia di muka bumi ini pastilah memiliki kekurangan. Namun karena kekurangan itu, kita hidup saling melengkapi dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Itulah yang dinamakan simbiosis mutualisme.
***