Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 12 - Untaian 12: Pipa Bambu

Chapter 12 - Untaian 12: Pipa Bambu

Tangguh berbaring di dalam gua, pandangannya mengarah pada langit-langit gua yang seolah bergelantungan. Tangguh merasa sangat lelah, namun ia tak bisa tidur nyenyak. Bermenit–menit memikirkan apa yang dikatakan gurunya. Namun tak juga menemukan maksud dari perkataan itu.

Hingga malam kian larut, ia belum juga bisa tidur. Lalu ia keluar dari gua dan duduk menyandar di sebatang pohon. Di antara pepohonan, ia memandangi bintang–bintang yang berkelap kelip bertebaran di langit. Ada juga bulan sabit yang turut melengkungkan senyumnya menghiasi malam kala itu. Ia bertanya pada dirinya sendiri, hingga akhirnya ia menemukan makna dari perkataan gurunya.

"Mengapa guru menyuruhku untuk mengambil air yang paling jernih, walau untuk ditumpahkan kembali pada pohon tomat. Karena guru ingin aku seperti bintang, matahari, dan bulan, yang memberikan cahaya terbaiknya dengan ikhlas. Ya, itu dia jawabannya, aku baru mengerti sekarang."

Diiringi dengan longlongan anjing hutan ia pun kembali ke dalam gua dan tertidur dengan lelapnya.

***

Lelah membawanya melangkah kembali ke rumahnya. Setiap langkah membuatnya semakin dekat dengan tempat tinggalnya, dengan keluarganya yang menyayanginya. Ia berdiri di depan pintu lalu mengetuk pintu rumahnya,

"Ibuuu, Ayahhh, aku pulang," ucap Tangguh.

"Ibuuu, aku pulang, tolong bukakan pintu, Bu...!!!" katanya sambil terus mengetuk pintu.

Walau terus mengetuk pintu, tetap tak ada yang membukakan. Ia dorong sedikit pintu kayu itu, rupanya tak dikunci. Ia melihat ke sekeliling ruangan di dalam rumahnya. Namun tak ada seorang pun di sana.

"Ibu, Ayah, aku sudah pulang!" kata Tangguh memandangi sekeliling ruangan.

Perlahan ia membuka pintu kamar ibu dan ayahnya. di sana ternyata ia melihat ibunya sedang duduk melamun dengan tatapan kosong di sebuah kursi goyang. Tangguh mencoba menyapanya, "Ibu, aku pulang, Bu. Ibu, ibu dengar aku, kan? Ini aku Bu, Tangguh," ucap Tangguh di hadapan ibunya.

Ibunya hanya termenung di kursi goyang. Ia seolah tak menyadari keberadaan Tangguh. Tak lama setelah itu, sang ibu pun meneteskan air mata dari matanya yang sayu. Tangguh ikut merasakannya, walau ia tak mengerti mengapa ibunya hanya terdiam dan menangis seperti ini.

Tiba–tiba hujan membasahi wajahnya. Tangguh tak mengerti kenapa di dalam rumah bisa hujan hingga membasahi wajahnya. Perlahan ia membuka kedua kelopak matanya. Oh, itu cuma mimpi. Dukun Parti menyembur mukanya lagi dengan air dan membuatnya terbangun dari alam mimpi. Kelelahan membuatnya tertidur pulas hingga bermimpi dan bangun kesiangan.

"Bangun kau Letoy, ini sudah jam berapaaa?!! Cepat bangun!" teriak sang guru.

"Baiklah Guru, tapi badanku masih lemas kalau aku harus mengambil air lagi di puncak gunung itu."

"Memangnya siapa yang akan menyuruhmu mengambil air lagi, Justru Guru mau memberi hari libur untukmu selama dua hari."

"A..apa, guru tidak bercanda, kan. Terima kasih, Guru," ucap Tangguh dengan senangnya.

"Hmm, jangan senang dulu, tapi dua hari kemudian...."

"Dua hari kemudian apa, Guru?"

"Dua hari kemudian kau harus mengambil air dari puncak gunung itu dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Kau mengertiiiii??!!!"

"A..apaaa, tapi Guru, dua gentong saja sudah berat L," ucap Tangguh dengan wajah yang menjadi pucat.

"Kau tidak bisa membantah."

Tangguh hanya bisa pasrah mendapat perintah dari gurunya. Ingin rasanya ia menentang, namun apa daya, ia tak kuasa, karena pulau ini memang daerah kekuasaan dukun itu.

***

"Liburan macam apa ini, sebelum liburan dibuat stres duluan. Sekarang dua gentong, besoknya tiga gentong, dua hari lagi empal gentong ehh empat gentong, mungkin lama–lama sehari dia bisa minta seratus gentong. Cuma buat nyiram tanaman tomat," Tangguh mengeluh sendiri.

Ia pun duduk dan memikirkan bagaimana nasibnya nanti, apa yang harus ia lakukan. Otaknya berputar mencari ide.

"Apa selama libur dua hari ini aku manfaatin buat kabur. Ah, tapi nanti aku bisa seperti murid dukun Parti sebelumnya yang cuma jadi gundukan tanah di atas gunung. Lagi pula, kabur adalah sifat pengecut. Aku kan Tangguh perkasa, aku harus buktikan itu," Tangguh bertekad sambil mengepalkan tangan.

***

Sembari bersandar di sebuah pohon, ia terus memutar otak, berpikir apa yang bisa ia lakukan. Namun tetes demi tetes air turun dari langit. Hujan mengiringi suasana hatinya yang sedang gundah gulanah. Perkataan dukun Parti memang membuatnya gundah, namun yang lebih membuatnya gundah adalah mimpinya semalam. Mimpi itu menimbulkan sejuta kata tanya dalam benaknya,

"Apa yang terjadi pada Ibu? kenapa ia diam saja? Di mana Ayah? Apa ini cuma mimpi semu, atau semua ini pertanda?" gelisah Tangguh dalam batinnya.

Ia tak tahu arti dari mimpi itu, yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa agar semuanya baik–baik saja. Dan ia harus melakukan yang terbaik. Termasuk bagaimana caranya membawa air empat gentong setiap hari, atau mungkin suatu saat lebih dari itu.

Hujan semakin membasahi rambutnya, wajahnya, dan membasahi sekujur tubuhnya yang tenggelam dalam kegalauan. Air mengalir di sekitar tempatnya duduk, ada yang mengalir di antara bebatuan, di antara tanah, dan menghempas dedaunan. Namun yang menarik perhatiannya adalah ketika ada potongan bambu sepanjang sekitar satu meter. Air mengalir melewati lubang batang bambu itu. Hal itu menarik sekali baginya.

Ia baru menyadarinya kalau ia mendapatkan sebuah ide, seolah sebuah bohlam lampu menyala di atas kepalanya dan gambaran ide terpampang nyata.

"Aha, inilah jawabannya, inilah dia," ucap Tangguh dengan girangnya.

***

Setelah hujan reda, Tangguh segera pergi mencari bambu yang tumbuh subur di sepanjang samping aliran sungai. Ia menebang bambu–bambu itu. Sebenarnya apa yang ia lakukan?

Dari depan gua itu ia mulai menyambung beberapa bambu. Lalu ia kembali lagi dan mengambil beberapa potongan bambu lagi untuk terus disambungkan. Sampai larut malam, ia terus melakukan hal itu. Ia bermalam di hutan setelah bambu yang ia sambung sampai ke hutan. Istirahat hanya satu jam, kemudian dilakukannya lagi pekerjaan yang sama.

Nampaknya bambu–bambu yang ia sambung itu menuju ke atas gunung. Tetesan keringat mengiringi setiap alunan langkahnya, tapi ia terus mengerjakan hal itu. Rasa takut yang menyergap di tengah hutan pun berusaha ia singkirkan dari benaknya.

Sehari telah dilalui. Bambu–bambu yang ia sambung telah mencapai beberapa kilometer. Kaki gunung telah ia lewati, namun untuk menyambung bambu sampai ke puncak gunung, memang merupakan pekerjaan yang cukup panjang dan melelahkan. Karena semakin tinggi semakin berat pula untuk bolak-balik mengangkut bambu turun naik gunung. Ia terus bekerja keras dikejar waktu.

Dua hari tak kembali ke gua. Ia tak akan kembali sebelum proyek gilanya ini berhasil. Ia tak peduli walau dukun itu akan menghukumnya lebih berat lagi. Karena setelah proyek ini jadi, dia percaya akan bisa mendapatkan air berapa pun yang diminta gurunya dan ia tak perlu lagi naik turun gunung untuk mengambil air dari mata air itu.

***

Ternyata libur dua hari masih kurang untuk membuat proyek rancangannya itu. Seminggu pun tak cukup. Al hasil setelah sebulan perjuangan yang tak kenal menyerah, Tangguh baru berhasil menuntaskan proyeknya itu. Pipa bambu itu sudah sampai di depan gua. Dari puncak gunung sumber mata air sampai ke depan mulut gua lalu disambungkan kembali ke kebun tomat. Ia tak sabar memamerkan ini pada gurunya. Kerja kerasnya siang malam dan hanya istirahat sebentar segera membuahkan hasil. Terbayang wajah gurunya yang akan terpana karena bangga padanya.

"Guru. . . . .Guru. . . . .Guru!!" panggilnya.

"Hei Letoy, dari mana saja kamu, guru memberimu libur cuma 2 hari tapi kamu sebulan baru kembali!" gurunya marah sambil mengacungkan tongkat, seolah mau memukulnya.

"Tenang Guru, tenang. Guru pasti senang," ucap Tangguh dengan percaya diri.

"Senang bagaimanaaaaaa....??!!! Kau tahu sudah sebulan kau tidak mengambil air di puncak gunung. Kalau begini terus tanaman tomatku bisa mati. . !!!"

"Ettt. . . tenang Guru, sekarang aku tak perlu lagi naik turun gunung. Guru bisa memintaku mengambil air berapa pun banyaknya yang Guru mau, hehehe...."

"Kau ini bicara apa?" gurunya mulai jengkel.

"Taraaaa..... lihat ini guru, ini adalah pipa bambu yang menyambung sampai ke mata air di puncak gunung itu," ucap Tangguh girang sambil menunjuk pipa bambu itu yang juga telah disambung sampai ke kebun tomat.

Mereka segera ke kebun tomat untuk membuktikan hal itu.

"Lihat ini Guru, aku akan buka penutup pipanya, dan air akan mengalir ke setiap tanaman."

Tutup pipa pun dibuka, dan ... dan ..... dan ..... dan ternyata, tak setetes pun air keluar dari pipa bambu tersebut. Keduanya hanya tercengang, terutama dukun Parti yang merapatkan kedua alisnya dan meletakkan tangannya di pinggang. Ia semakin tak percaya akan yang dikatakan oleh muridnya itu.

"Mana, mana airnyaaa??!!!!! Kamu sudah berani membohongi gurumu sekarang!!" kata gurunya semakin jengkel.

"Bener Guru, aku nggak bohong. Aku sudah berusaha keras menyambungkan pipa bambu ini sampai ke mata air itu," kata Tangguh sambil menggoyang–goyangkan pipa bambu itu berharap airnya keluar.

Gurunya yang tidak percaya akan perkataan Tangguh dibuat penasaran. Ia pun menundukkan badannya dan melihat ke lubang pipa itu. Namun sialnya, tiba–tiba air begitu derasnya keluar dari pipa bambu itu dan menyemprot wajahnya.

"Siaaaal ... dasar Letoooooy!!!!" teriak gurunya yang mukanya kebasahan.

Namun marahnya mereda ketika melihat tanaman tomatnya yang sebelumnya hampir kering kini disirami air kembali.

"Nah, sudah ya Guru, tanaman tomatnya kini sudah segar kembali. Berarti aku tidak mendapat hukuman kan Guru, hehehe? Aku mau istirahat dulu."

"Hmm, enak saja. Kau hampir membuat tanaman tomatku mati. Kau tetap harus dapat hukuman. Sekarang cepat kau bersihkan gua dari kotoran kelelawar!!"

"Uhhh, guru, aku kan capek," ucap Tangguh mengeluh.

"kau tak bisa membantah, sekarang cepat kau lakukan!"

Dengan terpaksa, ia melakukan apa yang diperintah gurunya. Ia membersihkan gua dari kotoran kelelawar. Namun karena saking lelahnya, ia pun tersungkur, tertidur pulas di bawah langit-langit gua.

***

Bunga tidur membawanya berada di sebuah pantai. Butiran pasir putih diiringi suara desiran angin, pohon kelapa yang melambai, ombak yang mengulung–gulung ke tepi pantai, laut yang biru, semuanya begitu indah di pandang mata. Namun ketika asyik memandangi pemandangan, Tangguh melihat ada seseorang yang berjalan perlahan menuju laut. Orang itu terus berjalan menuju laut hingga kakinya mulai basah oleh datangnya ombak, namun orang itu tak peduli. Tangguh pun berlari ke arahnya laksana seorang penjaga pantai, "Hei. . .jangan ke sana, bahaya!!!!!!" serunya.

Ketika semakin dekat, ia baru menyadari kalau orang itu ternyata adalah ibunya. "Ibuuuu. . . Ibuuu, Ibu mau ke mana? Itu kan laut, bahaya, Bu...!!!!!!" teriak Tangguh.

Ibunya tak menghiraukan teriakan Tangguh, ia terus berjalan menuju lautan. "Ibuuuu.. jangan Bu, bahayaaa....!!!" teriak Tangguh lagi sambil berlari ke arahnya.

Air laut semakin membasahi mereka. Ombak pun datang dan membasahi wajahnya. Namun rupanya air itu menetesi wajahnya dari atap gua. Dan seketika itu pun Tangguh terbangun dari alam mimpi ketika mendengar ada suara teriakan, "Letoooooyy...!!!!!" teriak gurunya dari luar gua.

"I....itu kan suara Guru, memangnya ada apa, sih?" Tangguh menuju ke gurunya di luar gua.

"Guru, memangnya ada apa Guru teriak–teriak?"

"Kau lihat itu Letoy, tanaman tomatku mati semua gara–gara kebanjiran air. Ini semua gara–gara kau, Letoyy, yang tidak menutup pipa bambu ituuuu!!" teriak gurunya yang marah besar.

"Ups.... maaf guru, aku ketiduran," kata Tangguh dengan polosnya sambil menggaruk kepalanya.

"Mulai sekarang kau akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Awas kau Letoooy!!!!!"

"Ampun Guru, maaaaf...!! " Tangguh lari terbirit-birit menghindari gurunya yang mengejarnya sambil berusaha memukulinya dengan tongkat kayu.

***