Tangguh merenung, ia duduk menyandar di sebuah batu di tepi sungai, sembari melempar krikil ke permukaan air sungai yang mengalir tenang. Ditemani suara gemercik air, ia teringat kawan–kawannya di sekolah, dan cita–citanya. Ia begitu tertarik dengan perhitungan. Ia ingin sekali menjadi ilmuan yang bisa membuat penemuan mutakhir.
Tapi ia tak tahu apa yang membuatnya begitu rapuh ketika dikeluarkan dari sekolah. Ia seolah kehilangan daya kendali atas dirinya, sehingga membuatnya mengambil keputusan untuk tak pulang ke rumah, dan justru tak sadarkan diri hingga jatuh ke laut.
Kini ia harus menerima kenyataan belajar di ilmu perdukunan. Walau sebenarnya, gurunya bukan mengajarkannya tentang ilmu hitam. Gurunya lebih banyak melatih kekuatan fisik dan mentalnya. Ya, walau kadang apa yang diajarkan gurunya memang aneh. Ia ibarat Sinto gendeng yang mengajar silat pada Wiro Sableng.
Telah lama meninggalkan sekolah, telah lama tak membaca buku. Tapi Tangguh tak behenti belajar. Di pulau yang asing ini ia lebih banyak belajar dari alam. Ia mempelajari kecepatan debit air sungai, ia mempelajari tingkah laku serangga, atau metamorfosis katak, atau juga belajar tentang kapan bunga-bunga bermekaran. Walau ia tak tahu, apakah impiannya menjadi ilmuan akan tercapai. Ia hanya bisa membayangkan masa depannya yang tak tahu entah bagaimana jadinya.
Ketika sedang duduk merenung dengan tenang, tiba–tiba ia tersentak dan tersadar dari lamunannya karena kepalanya terkena sebuah batu kecil. Sontak ia kesakitan sembari memegangi kepalanya.
"Hai. . . Letoy, sedang apa kau melamun di sana, ayo teruskan latihanmu!" teriak gurunya dari seberang sungai.
Rupanya batu itu dilempar oleh gurunya. Tangguh sedang latihan berjalan di atas sungai, namun karena selalu gagal, ia duduk menepi di pinggir sungai dan menyandar pada sebuah batu dengan pakaian yang sudah basah kuyup.
"Guru ini bagaimana, ngelatih berjalan di atas air tapi nggak dicontohin, sebenarnya guru bisa nggak sih?" gumam Tangguh dengan ucapan yang pelan.
"Hai kau sedang memikirkan apa, cepat lakukan latihanmu sampai kau bisa!"
"O. . .i. . . .iya guru."
Tangguh meneruskan latihannya sambil memikirikan apakah hukum fisika diterapkan untuk mengangkat berat tubuhnya ketika berdiri di atas air? Seperti halnya saat ia terapung di atas air laut selama berhari-hari?
Seusai latihan, di malam hari ia merenung. Ia mencoba melupakan sejenak cita-citanya untuk menjadi penemu. Karena yang utama baginya saat ini adalah berusaha menemukan jati dirinya sebagai Tangguh Perkasa, sebagai seorang yang tangguh dan perkasa secara fisik dan mental. Walaupun ia saat ini tidak tahu, apakah nasib pencarian jati diri itu kan menemukan hasil atau tidak.
***
Di sisi lain, ayahnya Tangguh dan beberapa warga desa yang mencari Tangguh nasibnya makin tak menentu. Di malam hari, mereka harus terombang–ambing di permukaan laut yang tak tau seberapa dalam, dengan penuh ketakutan. Ombak yang menggulung tinggi kerap kali menghempas tubuh mereka dan puing–puing kapal. Angin bertiup kencang. Beberapa dari mereka terluka, dan hampir kehabisan oksigen. Ketakutan membayangi mereka kala itu. Namun mereka berusaha tenang dan berdoa agar Allah melindungi mereka.
Pak Anwar, kepala desa, mencoba mengendalikan kondisi dan memberi komando, "Semuanya jangan panik, cepat cari sesuatu yang bisa dipegang!!!"
Mereka semua berusaha menggapai puing–puing kapal untuk berpegangan agar tidak tenggelam.
"Semuanya kita berkumpul dan saling berpegangan!" Pa Anwar memberi komando lagi.
Semuanya dengan susah payah berusaha berenang untuk saling berpegangan tangan dan berpegangan pada puing kapal agar tidak tenggelam.
Akhirnya mereka berkumpul dan saling berpegangan tangan. Kecuali Joko yang masih terpisah agak jauh. Joko masih mahasiswa. Ia nampak tak terlalu pandai berenang. Ia terlihat muncul dan tenggelam dari permukaan air laut.
"Hai. . . .Joko, bertahanlah. Coba cari sesuatu yang bisa kau jadikan pegangan!" teriak Pa Anwar.
"Ya, aku berhasil, aku berhasil berpegangan hahaha. . . . . !" kata Joko dengan gembira.
Di saat seperti ini ia masih bisa tertawa di tengah gejolak air laut. Namun kali ini ia tak bisa tertawa lagi, walaupun kejadian ini kedengarannya agak lucu. Ia tak tahu berpegangan pada apa, tiba–tiba sesuatu yang ia pegang itu bergerak dan muncul ke permukaan memecah permukaan air. Sialnya, ternyata ia memegang ekor ikan hiu bergigi tajam. Ikan hiu itu berbalik ke arahnya lalu menggigit lengannya dan memutarnya. Ikan hiu itu menyeret tubuhnya ke dalam lautan. Joko berteriak kencang. Setelah itu tak ada kru yang tau nasib ia selanjutnya, yang tersisa hanyalah lautan yang memerah dan mereka hanya bisa berteriak ketakutan.
Dengan kejadian ini, mereka semua semakin cemas. Pegangan tangan semakin kencang, dan mata semakin liar mengawasi sekitar walau suasana begitu gelap. Namun mereka baru menyadari kalau selain Joko, ada satu orang lagi yang tidak terlihat di permukaan. Pak tono, juga tak terlihat di permukaan laut. Tim terus memanggil–manggil namanya, namun tak ada jawabnya. Mungkin ia telah tertelan lautan, atau tertelan hewan penghuni lautan, tak ada satu pun yang tahu.
Ombak mulai tenang, angin mulai jinak, tak berapa lama secercah cahaya matahari mulai muncul menandakan datangnya fajar. Pagi mulai cerah dan langit yang hitam mulai membiru. Namun hati mereka sama sekali tidak cerah. Mereka kehilangan dua anggota tim yang tak tahu keberadaannya. Mereka pun tak tahu nasib mereka selanjutnya, karena berjam–jam terus terombang–ambing di atas lautan.
Namun mereka cukup beruntung. Sebuah bendera merah putih terlihat dari kejauhan. Dari sana perlahan muncul badan kapal yang semakin lama semakin mendekat. Rupanya itu adalah kapal nelayan yang sedang melintas. Mereka pun berteriak, "Hai. . . . . .toloooong. . . . .tolooooong. . . . !!!!"
Nelayan itu mendengar teriakan mereka dan mendekat. Satu per satu anggota tim naik ke perahu. Mereka pun kembali ke desa Pasirputih.
***
Di bibir pantai, sudah menunggu Bu Tini dan seluruh warga yang berharap cemas akan keselamatan para tim pencari. Mereka berharap misi tim pencari untuk menemukan Tangguh berhasil.
Perahu semakin mendekat ke bibir pantai dan berlabuh. Namun seluruh warga desa hanya terdiam membisu ketika melihat kondisi dari anggota tim pencari yang lusuh, dan beberapa terluka. Mereka pun bertanya–tanya, "Di mana Tangguh, apa kalian sudah menemukannya?" "Di mana Sartono, di mana Joko, apa yang terjadi?"
Seluruh tim pencari hanya terdiam dan menundukkan wajahnya. Mengusap keringat yang mengalir di keningnya. Mereka seolah tak mampu menjawab pertanyaan itu. Setelah lama terdiam, akhirnya salah satu dari mereka dengan berat hati berusaha untuk menjawabnya, "Hmmm. . . . . .kami. . . . .kamiiii. . ."
"Apa, bagaimana? apa Tangguh sudah ditemukan, lalu di mana Mas Tono?" tanya Tini yang begitu cemas sambil menarik–narik kerah baju anggota tim itu.
"Sabar, sabar, Bu," warga desa lain coba tuk menangkannya.
"Hmmm, kami . . . .kami tak berhasil menemukan Tangguh. Kami semua diterjang badai yang sangat hebat sehingga membuat perahu kami hancur dan kami kehilangan Tono, sedangkan Joko dimakan ikan hiu," ucap anggota tim itu sambil menutup wajahnya dan tak kuasa menahan kesedihannya.
Tini yang mendengar hal itu langsung jatuh pingsan. Ia digotong warga ke puskesmas. Warga lain yang mendengar hal itu juga kaget dan merasa sangat prihatin. Isak tangis pun mewarnai hari itu ketika orang tua Joko mendengar kabar itu. Mereka tak sanggup menerima apa yang menimpa anaknya.
***