Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 11 - Untaian 11: Air yang Jernih

Chapter 11 - Untaian 11: Air yang Jernih

Sudah sebulan Tangguh menjalani hari sebagai murid dukun Parti. Semakin hari ia semakin tangguh, walaupun ia sadar, masih banyak kelemahan yang ada pada dirinya.

Hampir tiap pagi ia harus mengambil air di puncak gunung. Dengan memanggul dua gentong kayu ia berjalan menelusuri hutan yang lebat dan bebatuan yang terjal. Selama ini ia selalu berhasil menjalankan tugas itu walaupun keringat bercucuran, walau pundak terasa perih menahan beban.

Tapi hari itu, saat menuruni gunung di atas bebatuan, langkah kakinya tersandung batu hingga membuatnya terjatuh dan tertimpa gentong berisi air yang ia bawa. Tubuhnya basah kuyup. Ia duduk termenung sesaat. Ia teringat akan ayahnya yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga walaupun berat dijalani.

Saat ia kecil, ia sering dibuatkan mainan dari kayu. Saat ia sekolah, ayahnya kadang mengantarkannya dengan sepedanya. Ayahnya pula yang membiayai sekolahnya. Namun tempo hari, karena dikeluarkan dari sekolah, Tangguh justru tak pulang ke rumah dan terjatuh tak sadarkan diri ke lautan dari atas batu karang. Rasa penyesalan seolah menusuk batinnya. Terbayang dalam benaknya pasti saat ini orang tuanya sedang mencarinya dengan rasa cemas.

Tubuhnya yang basah kuyup membuatnya merasakan firasat yang aneh, "Ayah.... di mana engkau, apa baik–baik saja?" sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak dalam benaknya.

Firasatnya memang tak salah. Ayahnya yang ikut dalam tim pencari hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya semenjak diterjang badai. Ia tak mengetahui kejadian itu. Tapi yang pasti, ia berharap suatu saat nanti bisa berkumpul kembali dengan ayahnya, dengan ibunya, dan sahabat–sahabatnya.

Tangguh kembali sadar dari renungannya. Air yang dibawanya dari puncak gunung telah tumpah seluruhnya. Artinya ia harus kembali mengambil air lagi dari sumber mata air di puncak gunung. Jika tidak, ia tak tahu hukuman apa yang akan diberikan gurunya, atau bahkan akan bernasib sama seperti gundukan tanah yang ia lihat di puncak gunung tempo hari.

***

Tangguh kembali mendaki gunung dengan upaya pantang menyerah. Langkah demi langkah yang berat terus ia lakukan. Terbayang dalam benaknya ayahnya yang menggoes sepeda puluhan kilometer setiap hari. Dengan mengingatnya saja, semangatnya melecut kembali. Sampai akhirnya ia tiba di mata air puncak pegunungan itu. Mata air yang sangat jernih. Saking jernihnya, ia bisa melihat bebatuan kerikil di dasar mata air. Di sana ada pohon pinus yang berdiri di sekeliling mata air.

Untuk menuju ke sana, Tangguh harus melewati jalan yang cukup berat dan berbahaya. Namun semuanya terbayar ketika ia melihat mata air itu. Ia berkaca sejenak di permukaan mata air, menatap dirinya sendiri lalu membilas wajahnya agar lebih menyegarkan. Setelah mengisi kedua gentong kayu, ia bergegas kembali ke gua tempat ia dan gurunya tinggal. Langkah demi langkah kembali dilalui untuk menuruni gunung. Kali ini ia lebih berhati–hati agar airnya tidak tumpah. Sambil berjalan terus, ia awasi air di dalam kedua gentong kayu yang dipikulnya.

Namun di tengah perjalanan, ia melihat sesuatu yang bergerak menggeliat dari atas tanah. Ia berjalan mendekatinya. Ternyata itu adalah seekor ikan mas yang menggeliat, melompat–lompat di atas sebuah kubangan yang airnya telah surut dan mulai mengering. Ikan itu sangat membutuhkan air untuk bertahan hidup.

Tangguh merasa iba dengan ikan itu. Matanya berkelana melihat sekitar. Namun ia tak menemukan sungai atau sumber air lainnya di sekitarnya. Yang ada hanyalah pepohonan yang rimbun. Ia tak tahu dari mana ikan ini berasal, mungkinkah jatuh dari langit? Terbesit dalam pikirannya untuk membawa ikan ini di gentong kayu yang ia panggul. Namun ia ingat pesan gurunya, "Bawalah air jernih itu dan jagalah agar tetap jernih sampai kesini!"

Ia urungkan niatnya untuk membawa ikan itu. Tapi ia menumpahkan air di gentong yang dibawanya ke kubangan, sehingga ikan itu masih bisa hidup.

Tangguh kembali melanjutkan perjalanan. Namun ia sedikit resah karena ia hanya membawa satu gentong air. Satu gentong lainnya telah kosong karena diberikan untuk ikan mas yang ada di kubangan. Namun ia tetap melanjutkan perjalanan. "Mungkin satu gentong sudah cukup," pikirnya.

Di perjalanan, tiba–tiba ia teringat pesan yang pernah dikatakan ibunya dahulu, "Nak, di mana pun kamu berada, jangan pernah meninggalkan shalat!" Langkahnya terhenti sesaat, mengusap keringat yang membasahi dahinya kemudian melihat ke atas. Ternyata matahari tepat berada di atas kepalanya. Itu berarti telah tiba waktu shalat dzuhur.

Air di satu gentong yang masih ada digunakan untuk wudhu. Lalu ia shalat di atas sebuah daun pisang sebagai sajadah. Kemudian ia berdoa dengan penuh harap agar bisa dipertemukan lagi dengan orang tuanya.

Tangguh melanjutkan perjalanannya. Setelah shalat dzuhur, ia merasa langkah kakinya terasa jauh lebih ringan. Tapi ia baru menyadari kalau perjalanannya lebih ringan selain karena shalat yang meringankan beban pikirannya, juga karena air yang ia bawa tinggal setengah gentong. Tapi ia tetap melanjutkan perjalanan walau hanya membawa setengah gentong air.

Di perjalanan rupanya ia kembali diuji. Di hutan yang ia lewati, kayunya begitu kering. Banyak semak–semak kering yang bertebaran di atas tanah. Dan di suatu sudut hutan, ia melihat asap yang berkumul membungbung ke atas. Asap itu berasal dari tumpukkan jerami yang terbakar. Ia tak tahu dari mana api itu berasal. Namun di sekitar api itu terdapat banyak ranting–ranting dan daun–daun kering yang mudah terbakar.

Lantas ia bergegas menghampirinya. Dengan air yang dibawanya, ia menyiram api itu untuk memadamkannya. Api pun padam, namun tiba–tiba muncul kembali akibat bara api yang masih membara tertiup angin. Tak ada lagi air yang ia bawa. Lalu ia membuka jaketnya dan mengibas-ngibas api itu sekuat tenaga. Usahanya begitu keras karena ia tak mau hutan ini terbakar. Akhirnya api pun benar–benar padam. Lantas ia duduk dan menghela napas keletihan.

Jaketnya kini tak layak lagi untuk dipakai karena telah bolong–bolong terbakar api. Dan yang membuatnya cemas adalah kini ia sudah tak membawa air lagi dari mata air puncak gunung itu. Kedua gentong yang ia bawa telah kosong melompong. Ia tak tahu hukuman apa yang akan diberikan gurunya jika tak membawa air dari pegunungan itu. Sempat terbesit dalam benaknya untuk mencari air dari sungai terdekat saja. Namun gurunya hanya ingin air dari mata air puncak gunung itu. Jika ketahuan guru, bisa-bisa hukumannya lebih berat. Akhirnya dengan terpaksa ia pun memutuskan untuk kembali ke puncak gunung dan mengambil air lagi.

Langkah kakinya kali ini lebih berat, karena ia telah merasa letih. Namun Tangguh tak patah arang. Dengan menyemangati dirinya sendiri, ia jalankan tugas itu walaupun telah tiga kali bolak-balik ke puncak gunung itu. Setelah menunaikan shalat ashar, ia kembali membawa air dan bergegas menuruni gunung. Langkah kakinya harus dipercepat karena hari sudah sore dan matahari telah di ufuk barat. Ia harus tiba di gua sebelum malam hari. Tapi harus tetap hati–hati agar airnya tidak tumpah.

Akhirnya setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampai juga di gua ketika matahari tepat hampir tenggelam. Lalu ia memanggil gurunya dengan napas yang terengah–engah dan jaket yang telah sobek–sobek terbakar.

"Guru.... guru... aku berhasil membawa air ini!!!" teriak Tangguh.

Gurunya keluar dari gua dan melihat ke sekujur tubuhnya yang sudah tidak keruan.

"Hai Letoy, dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?!!" bentak sang guru.

"Haduhhh... maaf guru, kalau diceritain, ceritanya panjang. Tapi maaf, hari ini aku baru berhasil membawa air itu. Tapi ngomong–ngomong guru, memangnya untuk apa sih air itu? Kata guru harus air dari mata air yang jernih di puncak gunung itu?" tanya Tangguh penasaran.

"Hmm, baiklah, kalau kau ingin tau setiap hari kusuruh kau untuk mengambil air ini untuk apa, ikutlah denganku!! Oh iya, bawa juga air itu!" ajak sang guru.

Dukun itu pun membawa Tangguh beberapa puluh meter di samping gua.

"Ini dia, kau tau itu apa Letoy?" tanya sang guru sambil menunjuk kebun tomat.

"Itu kan tanaman tomat, Guru. Memangnya kenapa?"

"Kemarikan air itu!"

Tangguh menyerahkan dua gentong air yang dibawanya pada gurunya. Lalu si dukun menyiramkannya pada tanaman–tanaman tomat yang ia pelihara.

"Apaaaa. . . . jadi Guru menyuruhku susah payah bawa air itu dari puncak gunung cuma untuk disiram ke tanaman tomat itu. . . ??!!!" ucap Tangguh yang terheran dan kaget bukan main bercampur rasa kesal.

"Ssst.... tanaman ini akan tumbuh baik dan berbuah baik jika disiram dengan air yang kualitasnya baik. Kamu mengerti kan maksudku?"

"Ah, aku nggak ngerti, Guru. Sudahlah, aku capek, mau istirahat," ucap Tangguh melenggang pergi tuk istirahat.

Gurunya hanya tersenyum dan berkata, "Suatu saat kau akan mengerti maksudnya."

Sebenarnya gurunyalah yang menaruh ikan di kubangan kering itu. Ia pula yang membakar jerami. Ia melakukan hal itu untuk menguji muridnya. Ya... entah menguji atau balas dendam. Tapi yang pasti, tugas untuk membawa air jernih dari mata air di puncak gunung walaupun berat mengandung makna, yaitu bagaimana bisa tetap menjaga hati tetap jernih, walaupun berat. Lalu menyiramkan kejernihan itu untuk kehidupan.

***