"Oh itu. Emang bener aku bisa main basket. Bahkan aku bermain basket sejak masuk SMP.
"Sejak SMP? Gak salah tuh? Aku saat SMP belum ada kepikiran ingin melakukan apa," kata Fahmi membandingkan diri dengan Arya sembari menepuk dahinya.
"Saat itu aku juga masuk klub basket di sekolahanku. Dan hampir menjuarai semua turnamen."
"Nah, kalo ini aku gak percaya. Jelas banget kalo lagi mengarang," ujar Fahrizul langsung membantah.
"Bener kan. Pasti kalian gak percaya sama omonganku. Udah lah, mending nonton pertunjukan daripada ngladeni kalian." Arya seketika merajuk, membisu sesaat. Melihat Arya marah, Fahrizul dan Fahmi tertawa terbahak.
Setelah semua divisi menampilkan keterampilan mereka, mahasiswa baru mendapat perintah kembali ke halaman utama. Disana mereka mendapat sedikit informasi dari panita ospek mengenai kegiatan keesokan hari. Kemudian Arya meninggalkan meninggalkan kampus setelah berpamitan pada temannya.
Beberapa hari kemudian, Ospek mahasiswa baru tahun ini telah selesai. Arya cukup senang, lumayan menghibur dirinya. Meski ia dua kali menarik perhatian orangnya disekitarnya dan dituduh penjahat kelamin oleh dua gadis yang tak dikenal. Setelah ospek selesai, satu hari kemudian pihak kampus langsung mengumumkan pembagian kelas.
Entah sebuah keberuntungan atau bukan, Arya, Fahrizul dan Fahmi berada di kelas yang sama. Fahrizul senang bisa satu kelas bersama Arya. Namun tidak untuk Arya, repsonnya sangat biasa. Atau lebih tepatnya karena terpaksa pilihan kampus. Pihak kampus juga telah memberikan layanan untuk mengisi Kartu Rencana Studi bagi mahasiswa yang ingin mengambil mata kuliah.
Tak ingin cepat-cepat lulus kuliah dan ingin mencari prestasi di kampusnya, Arya hanya mengambil mata kuliah sesuai dengan ketetapan semester satu. Berbeda dengan Fahrizul dan Fahmi, mereka langsung mengambil mata kuliah semester tiga, setelah mendapat izin dari Dosen Penanggung Akademik.
"Apa kalian gak berlebihan langsung mengambil mata kuliah kakak tingkat?" tanya Arya.
"Sssttt." Fahrizul spontan menutup mulut Arya. "Kau yang sama sekali tak berniat mencari pekerjaan, tak sepantasnya membantah kami."
Arya menganga mendengar jawaban temannya. "Kenapa jawabanmu sama sekali tak masuk akal? Aku hanya ingin tahu alasan kalian."
"Oh, tidak, tidak. Kau tak boleh bertanya tentang itu. Yang penting kita sekarang satu kelas. Dengan ini kita bisa bersaing di setiap mata kuliah olahraga," kata Fahrizul merangkul Arya dan Fahmi.
Beberapa hari kemudian, UKM olahraga divisi basket mengadakan pertemuan pertama. Acara itu hanya sekedar perkenalan setiap mahasiswa baru dan latihan singkat untuk memanaskan badan.
Setelah menunggu satu persatu mahasiswa memperkenalkan diri, kini giliran Arya memperkenalkan diri. Saat itu mengucapkan nama dan asal tempat sekolahnya. Seketika salah satu mahasiswa baru terkejut sembari menunjuk Arya.
"Arya Chayton? Kalau gak salah kami dari SMA 2, kan? Yang pernah juara nasional SMA se-Indonesia 2 kali berturut-turut?"
Arya refleks terperanjat sembari menyeringai. "Hahaha, iya benar."
Spontan para mahasiswa baru dan kakak tingkah ikut terperanjat. Saat itu juga anak tadi langsung mendekati Arya dan menjabat tangannya.
"Perkenalkan namaku Stephen Marlon. Aku asli keturunan Amerika dan tinggal di Indoneia selama 10 tahun. Saat final kejuaraan nasional, aku yang menjadi lawanmu. Saat itu sekolah kita menjadi rival. Apa kau ingat?"
Arya tersenyum sembari menggerakkan tangannya. "Maaf, aku tak pernah mengingat nama lawanku. Apalagi pertandingan sebesar itu."
Telah dua kali bertemu dan menjadi lawan Marlon saat itu,Arya sama sekali tak mengingatnya.
Meski begitu, Marlon tak sakit hati. "Ah lupakan saja. Aku sangat senang bisa satu kampus denganmu dan mengikuti UKM yang sama." Sekali lagi Marlon menjabat tangannya.
Mengikuti Marlon, mahasiswa baru lainnya juga ikut menjabat tangan Arya satu persatu. Bahkan ketua divisi basket pun sampai mendekatinya.
"Apa yang Marlon katakan itu benar? Kamu Arya Chayton, dua tahun berturut-turut menjadi pemain bintang di kejuaraan basket tingkat SMA?"
"Itu benar, kak. Anak ini yang selalu aku ceritakan pada kakak. Bahkan sehebat apapun kemampuanku, aku masih belum bisa mengalahkannya," kata Marlon, sangat membara.
"Tapi basket itu permainan 5 lawan 5, Marlon. Kau tak bisa menilai kalau aku lebih kuat darimu jika kita belum pernah bertanding one by one,"
"Baiklah. Aku tahu ini masih pertemuan pertama dan terlalu cepat untuk melakukan sebuah latihan tanding. Tapi hari ini juga untuk menyambut 2 pemain ternama, aku ingin melihat pertandingan one by one antara Arya Chayton dan Stephen Marlon."
Sontak para mahasiswa baru terlihat kegirangan, mendengar pengumuman Ketua Divisi Basket melaksanakan latihan tanding antara Arya dan Marlon. Meski begitu tak sedikit juga kakak tingkat mereka yang tertarik dan menanti-nanti bagaimana sengitnya pertandinga one by one. Arya dan Marlon, keduanya sama-sama dianggap sebagai pemain bintang (Superstar) tingkat SMA se-nasional. Saat mereka sama-sama menduduki kelas 10, mereka bertemu di final kejuaraan nasional, dan Arya keluar sebagai juara. Begitu pula saat kelas 11, karena permainan mereka sangat konsisten dan jarang sekali orang-orang melihat performa mereka turun, Arya dan Marlon untuk kedua kalinya menjadi pemain bintang. Arya dan tim basketnya kembali menjuarai kejuaraan nasional, dan Arya sendiri menjadi MVP (Most Valuable Player) atau menjadi pemain yang paling bersinar selama berjalannya kejuaraan basket itu.
Namun ketika Ketua Divisi Basket hendak memulai pertandingan one by one tersebut, tiba-tiba suara peluit terdengar dari pintu masuk GOR basket. Sontak mereka semua langsung membalikkan badan, melihat siapa yang seenak jidatnya meniup peluit disaat pertandingan sengit akan dimulai.
"Kalian ini benar-benar. Sebagai kakak tingkat bukannya mencontohkan yang baik-baik pada mereka, tapi kalian malah memulai pertandingan one by one. Sekarang bukan itu yang mereka perlukan. Tapi mendengar ilmu dan pengalaman dari kalian semua, ya ampun." Kata orang itu sembari membawa papan strategi, peluit dan bolpoin.
"Oh, Coach. Saya pikir bapak masih lama menyelesaikan urusannya. Daripada menunggu saya berinisiatif mengadakan latihan one by one, pak. Mumpung ada dua mahasiswa baru yang sempat menjadi Superstar di saat mereka masih SMA," jawab Ketua Divisi Basket, sama sekali tak merasa bersalah.
Sembari mendekati para anak didiknya, pelatih itu berjalan sembari berjalan. "Aku tak tahu seberapa takjubnya kau dan teman-temanmu pada mereka tapi pertemuan pertama tetaplah sebagai perkenalan dan latihan singkat. Kau tak perlu mengadakan one by one tanpa seizinku. Apalagi yang menjadi bahan tontonan mahasiswa baru. Mereka pasti merasa gugup dan setengah hati melaksanakan keegoisan kalian. Ya ampun, nampaknya selain mengajarkan basket, aku harus mengajarkan kalian cara menyambut mahasiswa baru dengan baik dan benar. Meski mereka tak canggung, tapi tetap saja aku tak enak hati pada mereka, "kata pelatih itu sembaru menggelengkan kepalanya.