Perlahan air matanya keluar, mengalir di atas pipinya. Arya tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas perkatannya. Ia hanya bisa menangis sedu sambil menyeka air mata yang ia tutupi dengan tangan kanannya. Arya sendiri merasa dirinya benar-benar tak berguna. Niat awalnya sangat berbeda dengan hasil akhirnya.
Di satu sisi, ibunya Amelia telah tak terlihat air mata, baik di pipi maupun di mata. Namun matanya masih lebam. Senyum kecilnya terlihat samar-samar, berusaha mengelus Arya yang sedang menangis setelah dirinya.
"Tante dan keluarga akan pindah ke Denmark 3 hari lagi. Mungkin ini terdengar sangat mendadak, tapi jika kamu ingin bermain dengan Amel, kamu bisa bermain dengannya sampai kamu merasa puas, meski dia merasa terganggu dengan keberadaanmu. Jika memang belum puas, kamu boleh menginap di sini sampai kami pindah. Menurut tante itu lebih, karena tante sendiri tak tahu kapan kembali lagi ke Indonesia."
"Tiga hari lagi… Jujur aja, 3 hari waktunya yang sebentar. Tapi Arya semaksimal mungkin memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk bermain bersama Amel." Arya sekejap berhenti menangis, memaksakan diri untuk berbicara meski terbata-bata.
Disisi lain, Amelia masih berada di kamarnya sedang berbaring di balik selimut seraya memegang album foto. Album itu berisikan banyak sekali foto, dari kenangannya bersama orang tuanya, temannya, saudaranya, bahkan bersama Arya. Ia terus membolak-balikkan album itu dan mengenang sedikit cerita dari foto itu.
Dari sekian banyak foto, Amelia hanya melihat foto disaat ia sedang bersama dengan Arya. Meski mereka baru berusia 8 tahun, kenangan mereka berdua bisa terbilang cukup banyak. Maka dari itu Amelia tak ingin kenangan bersama teman dekatnya terlupakan, dan mengambil gambar setiap mereka sedang melakukan hal-hal menyenangkan.
"Arya..." Tiba-tiba air matanya kembali merembah. Seprai kasur dan bantalnya basah, menyerap semua air matanya. Hanya mengingat Arya yang selalu menemani dan membantunya, ia merasa sedih telah mengabaikan bahkan akan memukul wajahnya. Bagaimanapun juga, diumurnya yang masih belum dewasa, keegoisan pasti selalu menyertainya.
Ia ingin sekali menemui Arya saat ini. Namun setelah mengatakan sesuatu yang bahkan bisa melukai hati temannya, ia merasa malu dan takut meski hanya melihat wajahnya saja. Amelia mengira setelah Arya mendapat ancaman darinya, akan menjauhi dan memusuhinya seperti anak kecil pada umumnya. Itu merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada pertemanan anak-anak.
Teman yang selalu ada untuknya, selalu membebani temannya, selalu bersembunyi di belakang temannya. Merupakan sosok Arya di pandangan Amelia yang selama ini menjadi temannya. Sejauh ini, hanya itu yang bisa dilakukan dan berikan dari Amelia. Dilihat darimana pun, pertemanan mereka seakan-akan hanya memanfaatkan keuntungan temannya saja.
Selama di sekolah pun, kemana pun perginya, Amelia selalu mengajak Arya, bahkan disaat Arya sedang bermain bersama temannya. Dari perlakuan itu, teman-teman mereka selalu mengira jika mereka telah berpacaran diumur yang masih sangat muda. Bahkan semestinya hal itu belum pantas bagi mereka berdua.
Saat di sekolah, bangku mereka bersebelahan, dan itu terjadi sejak mereka kelas 1 sampai sekarang. Mereka seakan-akan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Padahal teman mereka selalu bergantian pasangan duduk tiap minggunya. Sedekat itu pertemanan mereka, yang sering dianggap orang lain sebagai 'pasangan anak-anak'.
"Sepertinya kamu telah mendingan. Mau tante suguhkan minuman atau makanan" ibunya Amelia menawarkan Arya seakan-akan dia juga anaknya.
"Gak usah, tan. Niat Arya kesini hanya untuk menemui Amelia. Gak ada maksud lain. Mungkin Arya akan kembali besok. Ini juga udah hampir malam. Orang tua Arya pasti sedang menunggu kepulangan anaknya," entah belajar darimana, Arya bisa menolak tawaran orang lain dengan sangat baik, tanpa melukai ibunya.
"Oh.. gitu ya. Jangan segan main ke rumah. Tante pasti memuliakanmu. Hati-hati sampai rumah," perkataan ibunya seakan-akan beranggapan rumah mereka berjauhan. Setelah memastikan dirinya telah membaik, ia berjalan ke pintu depan dan berpamitan.
"Mungkin besok Arya akan menghampiri Amel sebelum berangkat sekolah. Sudah lama kami tak berangkat sekolah bareng."
"Tak apa. Jaga anak tante ya saat di perjalanan," ibunya Amelia mengijinkan Arya tanpa berpikir panjang.
"Baik tan. Sampai jumpa. Sampaikan salamku ke kak Adrian." Kemudian Arya meninggalkan rumah berlantai 2 itu dan kembali ke rumahnya.
Keesokan paginya, Arya telah siap untuk menghampiri Amelia. Bersalaman dengan orang tua dan kakaknya, mendapat uang saku sejumlah 5000 rupiah, Arya membuka pintu rumah dengan semangat yang menjiwai dan berjalan menuju rumah teman di sebelahnya. Ia menekan bel rumah itu, menunggu beberapa detik, keluarlah ayahnya Amelia, sedang keluar dari garasi mobil.
"Oh. Arya, mau berangkat bareng Amel ya? Sayangnya Amel udah sampai di sekolah sejak tadi."
"Eh?" Arya terpaku diam, mulutnya menganga.
"Kenapa Amel tiba-tiba berangkat duluan, om? Apa semalam tante gak bilang apapun sama om dan Amel?" Arya sedikit terkejut mengetahui rencananya untuk berangkat bersama Amelia mendadak gagal, tak sesuai ekspektasinya. Ayahnya Amel pun hanya bisa menggaruk kepala, tak tahu harus menjawab apa.
"Ya… Tante ada ngomong kok sama kami berdua, kalo kamu mau berangkat sekolah bareng Amel. Tapi…." Ayahnya dengan cepat menghentikan ucapannya.
"Tapi apa om? Arya ingin tahu alasannya."
"Singkatnya… Amel lagi gak ingin ketemu sama kamu dulu. Itu yang dia bilang semalaman. Bahkan tadi pagi sekali, dia membangunkan om yang masih tertidur agar bisa mengantarnya ke sekolah sebelum kamu menghampirinya." Ayahnya Amelia terpaksa menjawabnya, agar Arya tak terlalu cepat emosi hanya menunggu jawaban.
"Kenapa om gak mencegahnya? Om tahu sendiri kan, kalo kami sebenarnya sedang ada sedikit masalah. Arya sebenarnya ingin menyelesaikan masalah ini selama perjalanan."
"Om tau, tapi mau gimana lagi. Dia terus memaksa agar bisa menghindarimu untuk sementara dan tak ada satupun yang tahu alasannya dari keluarga kami. "
"Selain itu, kenapa kamu merencanakan harus menyelesaikan masalah ini selama perjalanan ke sekolah? Itu terlalu berbahaya jika kalian tak bisa menahan emosi dan berkelahi di jalanan." Ayahnya melanjutkan.
"Mau gimana lagi. Semalam Amel tak mau bicara denganku. Bahkan dia mengancam akan memukul wajahku jika memaksanya. Kalo menyelesaikan masalah ini di sekolah, itu pasti merepotkan kami. Teman-teman di kelas pasti akan terus mengganggu kami dan hasilnya pasti tak akan sesuai rencanaku."
Ayahnya Amelia terkagum mendengar alasannya. "Untuk anak seusiamu yang masih baru menaiki kelas 3 SD, sudah bisa merencanakan sebaik mungkin untuk berbaikan dengan orang lain."
"Aku anggap itu pujian, om. Tapi bukan saatnya untuk itu. Aku harus berangkat sekolah atau nanti aku bisa terlambat." Arya merasa obrolan dengan ayahnya Amelia benar-benar tak membuahkan hasil apapun. Lebih merasa nyaman jika mengobrol dengan ibunya, pikirnya.