"Bagaimana jika om yang mengantarmu ke sekolah?" Ayahnya mencoba untuk membujuknya setelah apa yang ia dengar barusan dan menganggapnya sebagai hadiah.
"Oh… Boleh aja. Terima kasih, om."
Tak pakai lama, ayahnya Amelia mengeluarkan mobilnya kembali setelah ia baru saja memasukannya ke dalam garasi. Arya pun duduk di sebelah ayahnya dan suasana mulai canggung.
"Kamu tau gak, kenapa tiba-tiba kami pindah ke Denmark?" Ayahnya mencoba mencairkan suasana.
"Ibuku bilang keluarga kalian terpaksa pindah ke Denmark karena pekerjaan tante bukan?" Arya mencoba menjawab apa yang dengar dari penjelasan orang tuanya.
"Itu benar, tante sendiri bekerja di pengadilan sebagai panitera. Mungkin karena semangat dan ketekunannya dalam bidang hukum, ia diberi kesempatan untuk bekerja sekaligus belajar di sana."
"Tapi mengapa harus Denmark? Apa tak ada negara lain di dekat sini selain Denmark?"
"Seingat om, Denmark salah satu negara dengan hukum terbaik di dunia. Pemerintahan di sana sangat baik dan dapat mengontrol rakyatnya dengan benar. Maka dari itu, tante gak ingin membuang kesempatan ini untuk belajar dan mendapatkan pengalaman yang lebih dari Denmark."
"Tapi tetap saja kejauhan. Apa di negara kita hukumnya tak sebaik di Denmark?" Entah mengapa Arya semakin tertarik dan terus bertanya.
"Itu menurut survey dan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli hukum, mungkin. Om sendiri juga tak tahu apapun tentang dunia hukum. Om hanyalah karyawan kantor yang gajinya lebih kecil dari istrinya, hahaha." Ayahnya tertawa cukup keras.
Arya tersenyum sendiri setelah mendengar tawanya dan suasana hatinya lebih membaik dari sebelumnya.
Terlalu asyik mengobrol, tiba-tiba saja mereka telah sampai di sekolahnya.
"Terimakasih, om. Tadi sangat menyenangkan."
"Tak masalah selagi kau senang. Kau juga belajar yang giat agar suatu saat nanti bisa sukses seperti ibunya." Arya mengangguk dan keluar dari mobil.
Sesampai di kelas, ia tak melihat Amelia dimana pun. Hanya tasnya saja yang tertinggal, namun tasnya berada di tempat duduk yang salah.
"Yak, ngapain diem di depan pintu? Kau menghalangi jalan masuk." Seseorang di belakangnya, tak lain ialah teman dekatnya, Henry.
"Oh, Hen. Tumben datangmu lebih telat dariku."
"Jangan sombong. Kau hanya duluan beberapa detik saja. Selain itu, kenapa kau terlihat murung? Ada masalah dengan keluargamu?" Henry mencurigai yang terjadi pada temannya.
"Bukan apa. Aku tak sempat sarapan sebelum berangkat." Faktanya, Arya telah sarapan 3 roti tawar dengan segelas susu.
"Kau ceroboh sekali. Untung aku bawa makanan lebih. Mau mencobanya?"
"Tentu," perut Arya memang tak normal dari anak lainnya. Kemudian mereka duduk bersebelahan. Sembari menunggu Amelia masuk ke kelas, ia bersama ngobrol dengan Henry, dan semakin lama, teman yang ikut ngobrol dengan mereka pun bertambah.
Bel masuk pun berbunyi cukup keras pada jam 7 tepat. Mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing dan duduk dengan tenang. Arya pun bingung harus duduk dimana, sebab tempat duduk di sebelah Amelia telah dipakai oleh temannya.
"Bel. Kok kamu yang duduk di sini? Harusnya kan aku duduk bersebelahan dengan Amel." Arya terpaksa menanyakan hal itu pada teman kelasnya, Bella.
"Tadi Amel bilang, dia lagi pengen duduk sama aku. Suatu keajaiban bukan, bisa duduk bersebelahan dengan anak yang selalu menempel sama kamu." Mendengar jawaban itu, Arya tak menjawab apapun dan mencari tempat duduk lain. Tak lain ialah bersama Henry.
"Lho kok balik lagi? Nanti aja ngobrolnya, ini udah mau pelajaran." Henry bingung dengan sikapnya hari ini.
"Bukan itu masalahnya. Amel lagi gak pengen duduk sama aku," kata Arya, tak bisa menyembunyikan wajah murungnya
"Wihhh ada konflik nih, pasangan muda kita…" kata Henry, bertingkah usil untuk semakin memanasi hatinya.
"Gak juga. Sebenarnya kami gak ada masalah apapun." Arya sebisa mungkin menyembunyikan alasan mengapa mereka sedikit ada jarak belakangan ini.
"Haiss.. sok kuat kali, si bucin ini. Nanti cerita saat jam istirahat, ya." Henry tertawa disaat semua siswa sudah tenang sejak tadi.
"Nggak, nggak akan. Ngapain juga cerita sama temen yang ember."
Kemudian kegaduhan diantara mereka pun mengganggu ketenangan itu. Tak lama menunggu, guru yang mengajar di kelas mereka datang. Namun anehnya, Amelia juga baru datang, mengikuti guru dari belakang, dan berjalan menuju tempat duduknya.
"Aneh ya, kenapa Amelia masuk ke kelas setelah guru udah masuk?" Tak terlalu dekat dengan Amelia pun, Henry juga merasakan ada yang aneh dengannya.
"Entahlah. Mungkin dia di rumah belum sempat buang air besar di rumah. Masuk akal bukan jika kau terlambat hanya karena buang air besar di toilet sekolah?"
"Ya… mungkin itu masuk akal." Meski begitu Henry tahu jika Arya sedang menghibur dirinya sendiri.
Setelah jam pelajaran usai, bel pertanda waktu istirahat berbunyi keras. Bu Ningsih, guru matematika yang sedang mengajar di kelas mereka saat ini masih menyampaikan beberapa materi yang diperlukan mereka untuk menjawab pekerjaan rumah yang telah disiapkan. Setelah 3 menit memberi petunjuk dan cara mengerjakannya, barulah Bu Ningsih meninggalkan kelas. Kebanyakan siswa merasa jenuh harus mendengar penjelasan angka-angka yang sama sekali tak mereka gemari.
Namun, tanpa menunggu Bu Ningsih jauh meninggalkan kelas, Amelia langsung berjalan cepat, keluar kelas, mendahului teman lainnya. Arya yang melihat Amelia jalan dengan tergesa-gesa, tanpa pikir panjang langsung mengejarnya. Tetapi temannya, Henry mencegatnya, mengajaknya berbicara.
"Eh, Yak. Nanti belajar bareng ya di rumahmu. Aku mana paham sama matematika. Isinya cuma angka doang," kata Henry mengeluh.
"Iya, ya. Dah, aku mau keluar bentar," kata Arya mengiyakan.
"Lah, buru-buru amat. Santai dikit lah… Jam istirahat juga masih lumayan lama," kata Henry, mencoba menenangkan Arya yang terlihat sedang dikejar waktu.
"Mana sempat, keburu orangnya kabur. Nanti aja kalo mau ngobrol, nanti juga masih ketemu di rumahku."
Arya menunggu jawaban dari Henry dan langsung meninggalkannya. Namun sebelum menginjakkan kakinya ke luar kelas, tiba-tiba temannya memanggil namanya. Arya merasa kesal, seakan ia selalu di hadang untuk bertemu dengan Amelia. Sosok yang memanggilnya ialah Bella.
"Eh, Yak. Boleh pinjam catatan matematikamu nggak? Tadi aku sempat ketinggalan, tapi Bu Ningsih tahu-tahu udah hapus papan tulis aja."
"Pinjam aja sama yang lain, kenapa harus aku coba?"
"Tapi kan kamu biasanya kalo nulis catatan paling lengkap, tulisanmu juga bagus. Jadi ya cuma kamu aja yang bisa dipinjamin. Boleh, ya?" Kata Bella.
"Yaudah, terserah. Ambil aja sendiri di mejaku." Kemudian Arya meninggalkan kelas.
Setelah perbincangan yang mengganggunya telah usai, Arya lepas dan berlari mencari kemana Amelia pergi. Semua tempat yang sekiranya dipenuhi siswa, dia datangi. Aula, koperasi sekolah, kantin, UKS.