Aku menyunggingkan senyumku.
"Avere tolong dia dulu di sini."
Aku melompat lalu mendarat tepat di atas salju yang tebal itu.
"Hei aku di sini!" teriakku pada bola salju yang menyerang pria bersurai coklat itu.
Bola besar itu berbalik lalu turun di atas tumpukan salju di belakangku.
"Ayo kejar aku!
Aku berlari.
Meledek bola besar itu, agar menjauhi Avere yang berada di dahan pohon.
"Bagus Caramel! Tolong alihkan perhatian dia," ujar Avere dalam benakku.
Aku tersenyum ketika mendengar suara pria tersebut dalam kepalaku.
Dia menggunakan telepatinya, untuk membagikan strategi pada kami secara diam-diam tanpa diketahui musuh.
"Aku akan menolong Akio dulu dan Haven kau fokus saja dengan bola saljumu!"
Aku menganggukkan kepalaku. Meskipun aku tahu, pria bersurai coklat itu tak bisa melihatnya.
Aku terbang.
Bola salju itu berhenti tepat di bawahku.
"Jadi apa yang harus aku lakukan denganmu?"
Dia melompat-lompat. Berusaha menggapaiku yang berada jauh di atasnya.
Dan tepat pada saat dia berada di hadapanku aku berkata, "Jauhi aku."
Dugh
Seperti ditendang oleh sesuatu yang kuat, bola salju itu terpental jauh ke belakang.
Aku tersenyum bangga lalu menghampiri Akio dan Haven.
"Aku harus membantu mereka, agar misi ini cepat selesa--- Apa?!"
Cling
Aku merasakan sesuatu di belakangku. Tubuhku berbalik.
Mata kecoklatanku membesar, ketika melihat sebuah bola salju besar yang terjun bebas ke arahku.
Bugh
Karena tidak sigap menghindar, akhirnya aku terkena serangan bola raksasa itu.
Tubuhku terhempas ke bawah. Mendarat tepat pada tumpukan benda putih yang sangat dingin.
"Ugh dasar ... bukankah aku telah mengusirnya pergi tadi?"
Bola salju itu kejam.
Seakan tak membiarkanku istirahat, dia menggelinding menuju tubuhku yang masih berbaring ini.
"Berhenti!"
Bola itu langsung berhenti. Meskipun tubuhnya terus saja melawan.
Aku mendekatinya. Tangan kananku terjulur, mencoba memegang bola raksasa yang seperti hidup ini.
"Apakah kau benar benda mati?"
Aku mengusap bola tersebut. Berusaha mengusir kepingan salju tebal yang membentuk bola itu.
Bola tersebut bergerak-gerak. Membuatku sontak mundur. Takut jika bola itu akan menyerangku lagi.
"Oh aku mengerti."
Beberapa detik berlalu, setelah melihat salju-salju yang dingin itu mulai berjatuhan aku mengerti.
Sepertinya ada sesuatu di dalam sana. Dan makhluk itu, berusaha melepaskan semua salju yang menempel di tubuhnya.
Aku mendekatinya kembali. Alih-alih takut jika ternyata isinya adalah makhluk buas, aku malah penasaran hingga membantunya melepaskan semua salju tersebut.
"Wah!" seruku terkejut ketika melihat seekor trenggiling raksasa berwarna putih.
Hewan yang bisa membuat dirinya menjadi bola itu menggelengkan kepalanya. Membuat kepingan salju yang tersisa, terciprat sedikit ke arahku.
Aku tertawa kecil menutup wajahku dengan kedua tangan.
"Aku tidak menyangka. Kenapa kau malah menyerang kami?" tanyaku sok akrab pada hewan ini.
Dia menatap manik kecoklatanku. Mata hitam legamnya nampak tak berkedip, hingga beberapa detik dia menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
Seperti sedang mencari sesuatu.
"Ada ap-- hei!"
Hewan besar itu tiba-tiba saja menggelung tubuhnya menjadi bola. Dia menggelinding, ke arah Akio dan teman-temanku di sana.
"Caramel aku lihat dari posisimu, ternyata hewan ini trenggiling."
Suara Avere tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku.
Aku mengangguk. Memejamkan kedua mataku, berusaha menjawab telepatinya. "Mereka tidak berbahaya, kita pergi diam-diam saja dari sini."
"Aku mengerti, terima kasih. Dan cepatlah kembali ke dahan pohon tadi."
"Oke siap!"
Aku kembali terbang. Kembali ke tempat teman-temanku berada.
"Oh? Haven dan Akio sudah ada di sana," ujarku senang saat melihat Akio dan Haven sudah berada di bawah dahan pohon.
"Hei Nona ... tolong turunkan aku," ujar Avere sambil melambaikan tangannya.
Aku menurunkan Avere.
Kami berempat melihat sekitar, menatap satu trenggiling yang tengah berhadapan dengan dua bola salju raksasa lainnya.
"Mereka sedang berdiskusi. Waktu yang bagus untuk kabur," ujar Avere.
Kami berdua mengangguk setuju lalu diam-diam berjalan lurus.
Menghindari para hewan besar itu.
Tap
Tap
Kami terus mengendap-ngendap.
Langkah demi langkah kami ambil, hingga akhirnya kami berhasil bebas dari hewan yang bisa menggelung tubuhnya itu.
"Syukurlah ... kalau begitu, kami hanya tinggal melewati kawasan bersalju lalu sampai di tempat jamur emas, kan?" tanyaku penasaran.
Avere menganggukkan kepalanya sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Bersiaplah, dan jangan lupa ... kita berbaris seperti posisi awal!" titah pria bersurai coklat itu.
"Siap!"
Tiap langkah yang kami tempuh semakin berat. Tumpukan-tumpukan salju menyebalkan terus saja memenuhi tubuh kami.
Meskipun salju ini tidak dingin, tapi benda putih ini mampu membuat siapapun kesusahan.
"Benar-benar merepotkan."
Beberapa menit kemudian akhirnya kami keluar dari kawasan bersalju itu.
Udara disekitar menjadi sejuk nan asri. Tidak seperti tadi yang bersalju namun tak dingin.
Aku tersenyum senang, melihat kupu-kupu dan kura-kura aneh dengan bentuk kotak yang merayap di pohon.
Hewan yang sangat aneh. Bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
"Wah itu dia!" seru Haven keras sambil menunjuk ke arah samping.
Kami memberhentikan langkah kaki kami sejenak. Mata kami semuanya terbelalak, melihat banyak jamur emas yang tumbuh di dekat pohon-pohon besar berwarna silver.
"Yeay! Bolehkah kami ambil sekarang?" seru Haven penasaran.
"Tunggu dulu. Akio ... sebaiknya kau coba petik satu dulu. Kita tidak akan tahu apakah jamur itu bisa menyerang, atau pohon disekitarnya juga," jelas Avere.
"Kenapa harus Akio?" tanyaku bingung.
"Karena dia larinya cepat, dan jika ada sesuatu yang menyerang kau dari jauh bisa melindunginya dari belakang."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Pernyataan pria bersurai coklat itu masuk akal.
"Oke aku akan coba ke sana."
Akio melangkahkan kakinya maju.
Perlahan-lahan dan santai, hingga akhirnya sampai di depan jamur-jamur itu.
Dia menundukkan tubuhnya. Tangannya terjulur ke bawah, berniat mengambil jamur tersebut.
"Oh? Berhasil ... tidak ada apa-apa," ujar Akio santai.
Kami semua menghela napas kami lega. Aku dan Haven mulai melangkahkan kaki kami maju, mendekat ke arah Akio.
"Tunggu! sebaiknya satu persatu saja yang maju. Caramel, kau maju setelah Akio kembali ke sini."
Aku menurut.
Karena dia yang bertugas membuat rencana dan strategi di tim kami, tentu saja aku menurutinya.
Setelah Akio kembali dengan selamat, aku melangkah maju.
Aku langsung berjongkok sambil mengambil beberapa jamur berwarna emas itu.
"Wah kelihatannya lezat," batinku sambil mencabuti jamur-jamur itu dari akarnya.
Zraast
"Caramel awas!" teriakan teman-teman membuatku terkejut.
Aku mendongakkan kepalaku, melihat seekor jamur besar di hadapanku berwarna hitam.
Dan jangan lupa ... sebuah cairan kental hitam yang mendekat ke arahku.
Aku tidak bisa mengendalikan cairan tersebut. Tubuhku sedikit panik, apalagi melihat cairan itu tinggal beberapa inci lagi menyentuh wajahku.
Bugh
Aku terdorong ke samping.
Seseorang mendorong tubuhku cepat sekali, membuat diriku berguling di tumpukan rumput hijau hutan ini.
"Kau tidak apa?"
Aku mengerjapkan kedua mataku. Kepalaku pening akibat berguling tadi.
"A-ah tidak apa-apa Akio," ujarku pada pria yang baru saja menyelamatkanku.
Pria itu tersenyum lalu membantuku berdiri.
"Baguslah kau tidak apa-apa. Ayo bangun, kita harus segera menyelesaikan ini."