Zraast Zraast
Jamur berwarna hitam itu nampak marah. Dia berjalan mendekati Avere dan Haven, dengan mulutnya yang terbuka lebar.
"Ayo lindungi mereka!"
Aku mengangguk setuju.
Aku menarik tubuh Avere ke dekatku. Menghindari serangan dari jamur aneh itu.
Begitu pula dengan Akio. Dia menarik tubuh Haven, membawanya menjauh dari raksasa fungi itu.
"Sekarang bagaimana ketua?" tanyaku sambil menatap jamur tersebut.
"Kita harus melawannya!"
Aku dan Akio berpencar.
Aku di sebelah kanan, sedangkan dia di sebelah kiri.
Dia mengeluarkan pedangnya, sedangkan aku seperti biasa. Menggunakan benda-benda yang ada di sekitarku untuk dijadikan senjata.
Aku mengangkat batu-batu yang lumayan besar, lalu melemparkannya dengan keras ke wajah fungi raksasa itu.
Doeng
Batu yang aku lemparkan terpental kembali.
Jamur hitam itu ternyata memiliki tubuh yang lembek seperti jelly. Sehingga susah untukku menyerangnya.
"Ini menyebalkan ... berarti harus dilibas dengan benda taja--"
Craat
Akio lebih dulu menebasnya.
Mata pedang tajam itu membelah tubuh si jamur menjadi dua. Jamur tersebut mati, mengeluarkan asap abu-abu seiring dengan tubuhnya yang kian menghilang.
"Wah kau keren!" pujiku senang.
Sekali-kali, kan? Aku harus memujinya. Apalagi dia sudah menyelamatkan nyawaku tadi.
"Aku ... ingin lebih akrab dengannya agar tidak bertengkar terus," batinku.
Akio tersenyum kecil. Dia berjalan menghampiri Avere dengan santai. Pria bersurai coklat itu mengangkat telapak tangannya. Akio terkekeh kecil, menyambut ramah telapak tangan Avere yang terlihat mengajak 'tos' itu.
"Eh? Awas!"
Aku berteriak keras. Refleks tanganku bagus, langsung membuka tas panah kecil yang ada di punggungku. Aku mengeluarkan beberapa panah itu dari sana, lalu menyerang jamur hitam yang entah dari mana sudah berada di belakang Haven.
Craat Craat
Jamur itu lenyap.
Meski begitu, kami tidak bisa bernapas lega. Karena setelah menghabisi kedua jamur tersebut ... udara di sekitar menjadi dingin.
Langit berkabut nan gelap, disertai dengan suara tawa aneh dan langkah kaki besar yang berasal dari jamur-jamur hitam raksasa itu.
"Apa ini hasil dari asap tubuh mereka?" batinku.
"Jangan ambil jamur kami!" teriak salah satu jamur dengan suara beratnya.
"Teman-teman ayo kita kumpul di tempat Haven!" teriak Avere menggunakan kekuatan telepatinya.
Aku dan teman-temanku pun menurut.
Haven dan Avere juga telah siap dengan senjata mereka.
Haven dengan keris kecil yang meliuk-liuk, dan Avere dengan pisau lipatnya.
Kami berempat membuat posisi melingkar, dengan punggung yang saling bersentuhan satu sama lain.
"Caramel ... jika aku dan Haven melemparkan senjata dan tidak mengenai target, mohon ubahlah ke arah yang benar," ujar Avere lewat telepati.
Aku mengangguk mengerti.
Suara tawa jamur aneh itu terdengar kembali. Kami berempat fokus.
Meskipun sekarang kondisinya terlihat semakin tidak kondusif untuk mengamati lawan.
Karena kabut berwarna abu-abu itu, semakin menyebar.
Membuat penglihatan kami terbatas. Namun syukurlah, kabut ini tidak berbahaya.
"Sekarang apa?" tanyaku berbisik.
Avere tersenyum kecil. "Akio!"
"Aku mengerti!"
Seakan mengerti apa yang dimaksud dengan Avere, pria bersurai hitam itu melangkah maju. Dia memajukkan satu kakinya ke depan. Terlihat seperti membuat ancang-ancang ingin berlari kencang.
"Akio apa yang ka--"
Splash
Bocah bersurai hitam itu berlari sangat cepat. Dia berlari memutar, membuat tornado angin yang cukup besar.
"Oh aku mengerti sekatang ... Akio ayo hilangkan semua kabut ini!" seruku senang.
Meskipun tidak melihatnya, namun aku bisa merasakan.
Bahwa lelaki menyebalkan itu tenang tersenyum sekarang.
Apalagi di sekitar kami, kabut yang menyebalkan itu sudah menghilang. Senyuman puas penuh kemenangan benar-benar tercetak jelas di wajahnya.
"Kalian benar-benar pengecut rupanya, membuat kabut ... agar kami tidak bisa menyerang kalian," ujar Avere sinis.
Aku terkekeh pelan saat musuh yang ada di depan kami sudah jelas terlihat.
Jumlahnya ada sekitar dua puluh jamur raksasa berwarna hitam. Jamur tersebut nampak sangat marah, dengan mata yang merah menyala.
"Ayo kita serang!" seru Avere sambil melemparkan pisau lipatnya.
Craat
Pisau lipat itu berhasil melukai tubuh si jamur.
"Caramel kembalikan pisauku!"
Aku menarik pisau itu kembali, dan syukurlah Avere berhasil menangkapnya.
"Aku akan bantu menyerang."
Aku kembali mengeluarkan panah-panahku. Benda tajam tersebut menyebar, lalu berhasil menusuk tubuh si makhluk fungi raksasa.
Luka-luka sayatan, dan asap-asap kembali terlihat oleh manik mata kami. Namun hal itu bukan masalah besar lagi sekarang. Karena kami sudah tahu cara mengatasi kabutnya.
Craat Craat
Haven dan Avere juga banyak membantu. Meskipun mereka tidak memiliki kekuatan menyerang, namun mereka berinisiatif menyerang jamur-jamur tersebut dengan kekuatan sendiri.
"Haaa!" teriak Avere dan Haven bersamaan.
Mereka menghampiri salah satu jamur itu, lalu menusuknya dengan cara biasanya.
Meskipun terkadang merepotkan. Karena jamur itu juga bisa menyerang. Membuatku mau tak mau harus menyelamatkan kedua temanku itu.
Zraast Zraast
Cairan hitam itu kembali diluncurkan oleh salah satu jamur.
Haven dan Avere nampaknya sudah lihai menghindarinya.
Terlihat tubuhnya yang mulai luwes, menghindari cairan menjijikan tersebut.
"Kau tidak perlu khawatir dengan kami Caramel! Cepat urus saja semua jamur-jamur ini!" teriak Haven.
Aku menganggukkan kepalaku mengerti.
"Baik terima kasih. Ayo para panah-panahku yang mungil ... serang mereka!"
Bunyi goresan-goresan memenuhi telinga kami.
Pertarungan ini sangatlah mudah. Bahkan jauh lebih mudah, jika dibandingkan dengan melawan si Penakluk kemarin. Melihat para jamur hitam yang telah bergeletak tak bernyawa di atas rumput, membuat kami senang.
Aku, Akio, Haven dan Avere pun langsung mengambil jamur-jamur emas yang mereka lindungi tadi. Karena para penjaga jamur emas ini telah musnah, kami jadi lebih mudah untuk memasukkannya ke dalam tas punggung, dan segera membawanya pulang.
"Haah ... Haah."
Napas kami terengah-engah. Haven merebahkan dirinya di atas rumput, sambil memejamkan kedua matanya.
"Bisakah kita istirahat sejenak di sini?" tanya Haven dengan nada lesu.
"Ide yang bagus!"
"Eh? Bagaimana jika jamur itu kembali?" tanyaku heran pada Avere yang dengan mudahnya mengiyakan permintaan Haven.
"Tidak akan. Mereka sepertinya takut pada kami ... lihatlah," ujar pria bersurai coklat itu pada jamur hitam kecil yang berbondong-bondong bersembunyi di balik pohon besar.
"Kau benar ... aku jadi merasa bersalah."
"Kalau begitu ayo kita bangun tenda!"
Kami berempat pun membangun tenda.
Waktu misi kami berakhir hingga besok sore.
Kami mempunyai waktu yang cukup untuk beristirahat sejenak sebelum kembali ke ibukota.
"Dan yang terpenting ... kami mempunyai bahan masakan paling enak di dunia game ini. Jamur emas!" teriak Haven bahagia lalu memotong jamur mungil itu menjadi beberapa bagian.
Aku tersenyum kecil lalu duduk di sebelahnya yang tengah sibuk memasak.
"Mau ku bantu?" tawarku sambil melihat pria itu yang sedang menyiapkan bahan-bahan makanan.
Dia menggeleng. "Tidak perlu, ini sudah tugasku. Kau beristirahat saja, sambil menunggu Akio dan Haven kembali dari mencari kayu bakar."
Aku tertawa lalu mendongakkan kepalaku ke atas. Melihat langit senja yang mataharinya mulai lenyap di telan langit.
"Sebentar lagi gelap ... haruskah aku mencarinya?" tanyaku dalam hati.
"Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, bagaimana jika nanti ada makhluk aneh yang menyerangku."
Yang dikatakan Haven ada benarnya.
Jadi aku hanya bisa pasrah, menunggu teman-temanku kembali dan Haven yang menyiapkan makan malam.
"Lagipula aku ingin berbicara berdua denganmu," ujarnya tiba-tiba dengan nada serius.
Aku menengokkan kepalaku ke samping. Menatap penuh ingin tahu pada pria bersurai blonde itu.
Dia tersenyum kecil lalu kembali fokus pada bahan-bahan di depannya. "Aku minta maaf ...."
"Tentang apa?" tanyaku bingung.
"Kejadian si Penakluk itu, aku memarahimu sangat keras."
Aku menggeleng pelan. "Tidak. Itu memang salahku. Aku memaksa kalian, maafkan aku karena terlalu egois."
"Tapi aku juga salah. Seharusnya aku tidak memarahimu yang baru saja bangun seperti itu. Padahal aku menjadi dokter di tim ini, tapi ucapanku jahat sekali waktu itu.
Aku sungguh minta maaf Caramel. Kau mau, kan memaafkanku?"