"Jadi kita beli camilan saja?" tanyaku pada Akio sambil menatap etalase toko yang dipenuhi dengan roti.
Pria itu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Sebenarnya bukan ide yang bagus, mengajaknya berbelanja makanan untuk teman kami di rumah sakit.
Tapi mau bagaimana lagi? Dari pada aku sendirian di tengah kota, tidak ada yang bisa ku ajak bicara ... lebih baik mengajak Akio.
"Tapi percuma juga, toh dia tidak mau membuka mulutnya," keluhku sambil mengambil beberapa potong roti.
"Lalu selain roti, kita har--- Hei! Ke mana manusia itu?"
Pertanyaanku terputus. Karena seseorang yang ingin aku tanyakan, tiba-tiba saja menghilang dari pandanganku.
"Ke mana bocah itu," gumamku kesal dengan pandangan yang mengedar ke sekitar.
Melihat seisi toko roti, apakah manusia berkepala hitam dan berpakaian hitam itu berada di dalam toko.
Hasilnya nihil.
Dia benar-benar menghilang dari toko ini.
Aku berjalan lunglai ke kasir, membayar empat buah roti yang tadi aku ambil dari etalase.
"Ini ... terima kasih, datanglah lagi!" seru penjual itu ramah seraya memberikan kantung kresek penuh berisikan roti.
Aku tersenyum ramah membalasnya. Langkah kakiku tak ragu, segera pergi dari toko roti ini.
Mencari temanku yang tiba-tiba saja menghilang itu.
"Ke mana manusia itu ... kenapa sih dia selalu seenaknya sendiri?!" tanyaku kesal dengan langkah kaki yang ku hentak-hentakkan keras ke tanah.
"Hei kau anak baru dari Tuan Zidane! Aku ini seniormu, kau harus menuruti perintahku!"
Langkah kakiku berhenti tatkala mendengar suara teriakan kasar yang keluar dari mulut pria berbadan besar.
"Apa itu? Mereka membully seseorang?" batinku saat menangkap pria berbadan kecil, tengah dipukuli oleh pria berbadan besar.
Aku menghela napasku kasar berusaha untuk tidak ikut campur masalah mereka.
"Aku harus menemukan Akio. Mereka bukan urusanku, aku lelah terlihat dengan masalah seperti ini. Kalau terlibat lagi, tidak ada bedanya kehidupanku di bumi dengan di dunia game," gumamku kecil lalu kembali melangkahkan kakiku ke depan.
Bugh
Bugh
"Hahaha kau payah! Aku tidak mengerti kenapa Tuan Zidane merekrut orang payah sepertimu!"
Suara tawa menyebalkan itu masuk ke dalam telingaku.
Tubuhku berbalik, melihat pemandangan kejam yang biasa terjadi di bumi.
Seseorang dijadikan bahan lelucon, dan orang-orang yang lain hanya bisa terdiam tidak mau membelanya.
Entah apa yang ada di dalam isi kepala mereka.
Sedih? Kasihan? Marah? Malu?
Hingga tak mau membela pria malang itu.
Aku tertawa kecil lalu berjalan mendekati pria malang itu. Beberapa orang yang menyaksikan melihatku penuh dengan tanda tanya.
Seakan menyelamatkan orang, atau membantu seseorang adalah hal yang aneh atau ganjil.
Aku menjulurkan tanganku pada pria itu, berniat untuk membantunya berdiri.
"Hei siapa kau! Kenapa kau mengganggu kesenanganku?!"
Pria berbadan besar dengan warna rambut di cat merah itu berteriak marah.
Aku mengabaikannya, dan fokus membantu pria kecil ini berdiri.
"Kau tidak apa?" tanyaku lembut sambil membenarkan surai-surai hitam rambutnya yang menutupi wajah.
Ya ampun.
Di lihat dari wajahnya, dia ini masih sangat muda. Badannya juga lebih kecil dari yang ku kira.
"Bisa-bisanya manusia berbadan besar ini tak punya malu, memperlakukan anak-anak seperti ini," batinku kesal.
"Selera humormu pasti buruk sekali, hingga memperlakukan anak-anak seperti ini adalah tindakan yang menyenangkan," ujarku sinis tanpa melihat wajah menyebalkan pria itu.
"Apa?! Hei dasar!"
Dia membalikkan tubuhku kasar.
Wajah marahku bertemu dengannya. Dia menatapku kesal dengan tangan besar yang mencengkram erat bahuku.
"Kau perempuan ... seharusnya tidak ikut campur!" teriaknya kesal.
Aku tersenyum miring sambil menyingkirkan tangannya dari bahuku. "Jangan pegang-pegang. Baju ini hadiah dari seorang yang berharga, aku tidak akan membiarkan tangan kotormu itu menyentuhnya lagi."
Dia tertawa keras.
Tawa yang menjengkelkan itu menggema keras, hingga membuat orang-orang di sekitar semakin ramai.
"Kau ini berani sekali! Biar ku tebak, kau juga pasti orang baru, kan? Paling level kekuatanmu hanya sebatas empat. Tapi berani sekali hingga berbicara seperti ini padaku. Hahaha."
Aku ikut tertawa.
Bukan tertawa keras, melainkan tertawa kecil dengan wajah polos tanpa dosa.
"Kau benar. Aku baru beberapa minggu di sini, dan kekuatanku baru level empat."
Dia semakin menatapku jengkel.
Tangannya mulai bergerak, mengeluarkan sebuah kapak besar dari punggungnya.
Dia menghunuskan kapak tersebut padaku sambil berkata, "Kalau begitu kau seharusnya tahu posisimu anak kecil. Jangan menggangguku."
Aku tersenyum lalu mengangkat tangan kiriku ke atas.
"Ambil."
Tang
Kapak besar itu sudah berada dalam genggamanku.
Mereka semua terkejut. Seperti melihat sebuah pertunjukan sulap pada sirkus jalanan.
"Lho kenapa terkejut? Bukankah hal seperti ini sering terjadi di dunia game?" tanyaku dengan raut wajah polos.
Pria bersurai merah itu mendengus kesal. Lalu berjalan mendekatiku dengan tangan yang terjulur, berusaha mengambil kapak yang tengah aku pegang.
Aku menghindarinya.
Setiap langkah yang dia buat, tiap gerakan tangan yang dia tunjukkan, aku mulai bisa merasakannya.
Sehingga bisa menghindari tubuh pria jelek ini dari kapalnya sendiri.
"Hei cepat kembalikan dasar---"
"Mau melihay sesuatu yang lebih seru?" tanyaku dengan senyuman jahil.
"Apa?" tanyanya bingung.
"Terbang."
"Wahh!"
Tubuh besar pria itu melayang di udara. Dia nampak ketakutan, hingga tubuhnya terus bergoyang tanpa keseimbangan.
Aku menghiraukannya lalu membalikkan tubuhku pada anak kecil tadi.
"Kau sudah makan? Mau aku traktir makanan atau minuman?" tanyaku lembut padanya.
Dia menggeleng pelan. Mata biru lautnya sangat mempesona, menatap lembut kepadaku.
"Hei kalau kau tidak mau menurunkanku juga aku akan menyerangmu!" teriak si pria besar sambil melayang.
Aku mengabaikannya, dan malah memberikan sebuah roti yang tadi aku beli pada anak kecil tersebut.
"Aku hanya punya ini ... kau suka roti, kan?"
Dia mengangguk pelan dengan wajah ragunya. "T-tapi ... bukankah seharusnya kau menurunkan dia?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak perlu. Biarkan saja dia melayang, anggap itu hukumannya kar---"
Aku tidak bisa meneruskan ucapanku.
Sebuah bayangan gelap, tiba-tiba saja menutupi tubuhku dan anak kecil ini.
Aku membalikkan tubuhku, melihat sebuah batu besar tengah menerjang ke arah kami.
"Oh? Dia melawanku?"
"Berhenti."
Batu itu berhenti.
Tepat sebelum mengenai kami berdua.
"Serang dia."
Batu besar berwarna coklat itu bergerak, lalu dengan kasar menghantam pria berbadan besar yang tengah melayang.
"Hahaha! Ternyata kau bisa menahan seranganku yang besar. Kalau begitu, bagaimana jika begi---"
"Jatuh."
Bugh
Aku menjatuhkan kasar tubuh pria besar itu ke atas tanah.
Dia mengaduh kesakitan, sambil berusaha berdiri kembali dengan kedua kakinya.
"Perempuan sialan!" teriaknya nyaring.
Seluruh tubuhnya dikelilingi oleh kerikil-kerikil kecil. Dia menatap mataku tajam, seperti ingin menghabisiku.
"Hei berhentilah ... atau kau mau ku lempar ke danau di sebelah sana?" tanyaku santai dengan jari telunjuk yang mengarah ke kiri.
Lebih tepatnya ke sebuah danau jenis, dengan beberapa jenis ikan aneh di dalamnya.
"Jangan sombong! Aku akan menghabisimu setan kecil!"
Aku menggelengkan kepalaku, menghela napasku kasar.
"Dasar orang gila."