Chereads / 12% Invitation / Chapter 26 - 25' Berita bagus

Chapter 26 - 25' Berita bagus

Kerikil-kerikil kecil yang mengelilingi tubuhnya, serempak menyerangku.

Aku tersenyum kecil lalu menggerakan kapak besar yang aku ambil tadi, untuk melindungiku dan anak kecil ini dari kerikil-kerikil tajam itu.

"Sial! Kau curang itu senjataku!" teriaknya tak terima.

Aku menggeser sedikit kapak tersebut dari depan wajahku, menyembulkan kepalaku sedikit melihat wajah marah pria itu.

"Lho? Apakah seranganmu sudah selesai?" tanyaku dengan wajah sok polos.

Dia semakin marah. Dia mendaratkan kedua tangannya di tanah, membuat pijakan kami berguncang.

Orang-orang yang sedang menonton kami tertawa dan bersemangat, seperti sedang menonton pertunjukkan gratis.

"Kyaa!"

Tanah bergoyang.

"Terbang."

Tubuhku dan anak kecil itu melayang. Menghindari lubang besar, yang baru saja pria besar itu buat.

"Bagus juga refleksmu. Bagaimana kalau ini?"

Dia kembali menyerangku dengan kerikil-kerikil.

Aku menepisnya dengan mudah menggunakan kapak yang tadi ku rebut darinya.

"Kenapa dia malah mengajakku bertarung ya?" tanyaku pada diri sendiri seraya menepis semua serangannya.

"Aku lelah. Sekarang berhenti semua."

Kerikil-kerikil itu berhenti. Aku dan anak kecil itu mendarat, di tanah yang nampaknya sudah kembali kokoh.

"Jatuh."

Kerikil-kerikil tersebut jatuh ke tanah. Aku melangkahkan kakiku santai, menuju ke arah pria besar bersurai merah.

"Kenapa diam? Kau sudah kehabisan trik?" tanyaku sambil tersenyum miring padanya.

Aku menghunuskan kapaknya tepat di wajah pria besar yang tengah menatapku kesal itu.

"Aku kembalikan padamu. Tapi janji, jangan berbuat macam-macam pada anak kecil atau orang lain."

Tang

Aku menjatuhkan kapak tersebut. Tubuhku berbalik, lalu berjalan mendekati anak kecil tadi.

"Ayo aku antarkan pu---"

Tubuhku ditarik ke bawah. Tanah pijakanku, tiba-tiba saja berubah menjadi lumpur.

Tubuhku tenggelam, terus masuk ke dalam lumpur tersebut hingga setengah badan tersisa.

"Hahaha."

Dia tertawa sangat puas lalu mengambil kapak yang tadi telah ku jatuhkan.

Dia menghunuskan kapak tersebut padaku, sambil menunjukkan senyuman penuh kemenangan.

"Sekarang bagaimana Nona sok jagoan? Sepertinya keadaannya berbalik."

Aku menyunggingkan senyumanku.

"Terbang."

Kapak yang dia pegang kembali terbang. "Tebas dia."

Kapak itu berputar, mengarah tepat pada leher pria berbadan besar.

"Hei! Kau mau membunuhku?!" teriaknya ketakutan saat melihat kapak miliknya sendiri tengah menghampirinya.

"Berhenti."

Kapak itu berhenti tepat di sebelah lehernya.

"Jadi bagaimana sekarang? Kalau kau menenggelamkanku ... kau akan kehilangan kepalamu," ujarku santai sambil tersenyum penuh kemenangan.

Dia mendengus sebal. Seperti tidak terima dengan dirinya sendiri yang tengah dipermalukan di tengah orang banyak.

Suara orang berbisik-bisik semakin ramai.

Semuanya membicarakan kami ... hingga seseorang tak ku kenal datang.

"Wah wah wah ... ramai sekali ada apa ini?"

Semua orang terlihat menyingkir. Pria tinggi dengan pakaian berwarna putih menghampiri kami berdua.

Aku menengokkan kepalaku padanya, memasang wajah datar tak peduli pada pria berpakaian putih itu.

"Hei Aziel sepertinya kau kesusahan melawan bocah," ledek pria itu sambil memperhatikan wajahku.

"T-tuan Zidane!" teriak pria berbadan besar yang ternyata bernama Aziel.

"Kau tidak apa-apa, kan?" tanyanya lalu mencoba menggapai kapak yang berada di dekat leher pria itu.

Tang

Kapak itu kembali ke tanganku.

Aku tidak akan membiarkan, pria aneh berbaju putih ini mengambil kapak tersebut.

"Oh? Telekinetik ya ... kau salah pilih lawan sepertinya Aziel."

Dia berjalan mendekatiku dengan senyum ramah yang tidak bisa aku terka apa maksudnya.

"Kau butuh bantuan? Aku bi--"

"Terbang."

Tubuhku melayang. Aku keluar dari lumpur yang menyedot tubuhku tersebut, lalu mendaratkan diriku tepat di belakang pria berbaju putih.

"Tidak ... terima kasih. Sepertinya kau kenal dengan pria bersurai merah itu, bisakah aku memberimu suatu nasihat?" tanyaku datar dengan tatapan kosong ke depan.

"Heee ... kau bisa melepaskan diri begitu mudah. Sepertinya kau sengaja ya? Membuat lawanmu berpikir kalau kau lemah." Dia membalikkan tubuhnya menghadapku, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Jadi ... nasihat apa yang ingin kau berikan padaku?"

"Jangan biarkan anak didikmu bertingkah seenaknya pada orang lain di sini. Kalau kau membiarkan hal itu terjadi, berarti orang-orang bisa menebak seberapa busuknya dirimu."

Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali, lalu memalingkan wajahnya dariku.

"Oke siap! Terima kasih juga ya, karena tidak jadi membunuh anak didikku."

Aku tertawa kecil lalu menghampiri anak kecil yang aku selamatkan tadi. "Aku tidak bisa membunuh manusia, itu tadi hanya gertakan. Ini ... kau harus menjaga dia dengan baik. Kau yang membawanya ke sini, kan? Jadi kau harus bertanggung jawab penuh atas dirinya."

Aku menerbangkan anak kecil itu lembut lalu mendarat tepat di depan pria berpakaian putih.

Aku menundukkan kepalaku. Meminta maaf pada semua orang yang merasa terganggu, atau sedang menonton pertunjukkan sirkus membosankan ini.

"Maaf telah membuat keributan."

Aku pergi. Terbang menjauh, dari kerumunan manusia yang penuh rasa penasaran itu.

"Entah apa yang sedang terjadi ... tapi aku memiliki firasat, jika pria berbaju putih itu adalah orang baik," batinku.

.

.

.

"Hei Akio!"

"Caramel!"

Aku menutup mulutku rapat-rapat. Melihat Avere berteriak padaku dengan wajah cemasnya, langsung membuat mulutku bungkam.

Tidak berani melontarkan sumpah serapahku pada pria bersurai hitam yang tengah duduk bersantai di samping Haven.

"K-kenapa kau membentakku?" tanyaku kesal dengan bibir mengerucut.

"Aku dengar ada keributan hebat di ibukota. Apakah kira-kira kau tahu siapa yang menjadi dalangnya?" tanya Avere dengan nada menyindir.

Aku mendengus sebal. Kaki yang terasa berat ini ku hentak-hetakkan kesal, pada lantai rumah sakit.

"Tidak tahu! Yang jelas bukan aku!" teriakku kesal lalu duduk di samping Avere.

"Oh begitu? Kenapa Akio melihatmu ada di sana?" tanya lagi Avere.

"Apa?! Jadi kau melihatku tadi? Kenapa tidak ikut membantu?" tanyaku kesal sambil menunjukkan jari telunjukku padanya.

Akio mengangkat bahunya santai lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

Aku menghela napasku kecil lalu memberikan plastik berisikan roti pada Avere.

"Baiklah ... aku akan menceritakan semuanya."

Dan pada akhirnya, aku menceritakan kejadian tadi pada mereka bertiga.

Mereka nampaknya mengerti kenapa aku melakukan itu. Meskipun mereka tetap menceramahiku, karena aku sedikit bertingkah berlebihan.

"Tidak berlebihan, dia yang lebih berlebihan hingga membuatku berbuat seperti itu," racauku kecil tak terima diceramahi seperti anak kecil oleh Avere.

"Apa?" tanya pria bersurai coklat di depanku yang sepertinya tidak mendengar ucapanku.

Aku menggeleng cepat lalu melemparkan tatapan pedas pada Akio.

"Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau meninggalkanku tiba-tiba?" tanyaku bingung.

"Karena aku mendapatkan berita bagus. Lagipula, saat melihatmu berurusan dengan berandal besar itu ... aku merasa kau tak perlu bantuan. Kau bisa mengatasinya sendiri," ujarnya santai lalu berdiri dari duduknya.

"Umm ... terima kasih? Itu pujian, kan?" ujarku ragu-ragu padanya.

"Ini. Yang aku temukan."

Dan seperti biasa. Dia tidak menjawab pertanyaanku.

"Wah ini ...."

Avere nampak takjub. Melihat selembar kertas yang Akio berikan padanya.

"Sepertinya, kita harus ikut!"