Aku memejamkan kedua mataku erat.
Zrrt Zrrt
Aliran listrik itu kembali muncul.
Masuk begitu saja, mengalir seperti air ke dalam otakku.
"Apakah ini ... kekuatan 12% dari otakku?" batinku dalam hati.
Jleb Jleb Jleb
"Argh!"
Pohon itu berteriak kesakitan. Aku membuka kedua mataku, melihat dua puluh panahku yang berhasil menancap di titik pusat tubuhnya.
"Tidak!"
Goncangan besar terjadi. Seiring dengan teriakan nyaring, yang dikeluarkan oleh makhluk aneh di depanku ini.
Aku terbang, menghindari pohon-pohon serta akar dan serabut yang bergerak tak beraturan itu.
Pikiranku panik.
Seketika aku ingat, kenapa aku harus melawan makhluk aneh besar ini.
"Teman-temanku!"
Tubuhku berbalik.
Splash
Aku melesat cepat menuju tempat di mana Haven, dibawa tadi oleh salah satu akar berduri.
"Haven!"
Aku melihatnya. Seorang pria bersurai blonde, tengah terkulai lemas di tanah.
Aku segera menerbangkannya. Membawa tubuh lemah pria ini kabur, menjauhi kawasan hutan yang sepertinya ingin roboh ini.
"Di mana yang lain? Akio! Avere!" teriakku sambil terbang. Menghindari beberapa pohon yang tumbang.
"C-Caramel!"
Seseorang menanggapi teriakanku.
Dan itu terdengar, seperti suara Akio.
Sudut bibirku naik. Aku menambah laju kecepatanku, bergerak cepat ke mana suara itu timbul.
Hingga beberapa detik berlalu ... aku bertemu dengan pria wajah datar itu, dengan Avere yang ada di punggungnya.
"Kau selamat? Dari mana saja kau?! Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Akio beruntun.
Aku menggelengkan kepalaku cepat lalu menepuk tangannya. "Nanti aku ceritakan! Tapi yang pasti, kita harus keluar dulu dari sini!"
Akio menganggukkan kepalanya setuju. Aku tersenyum kecil, lalu keluar bersama yang lain dari hutan aneh ini.
"Syukurlah, kita semua baik-baik saja."
***
"Wah kalian membawa jamur ini banyak sekali!" ujar senang seorang perempuan yang surainya telah memutih.
Nenek tua itu tertawa kecil sambil menerima kantung putih berisikan jamur emas.
"Benarkah? Padahal kami sudah memakan beberapa. Tadinya kami sedikit ragu, apakah jamur yang kami bawa ini cukup atau tidak hehe," gurauku sambil tertawa kecil.
"Kalau begitu kalian berdua ayo masuk dulu! Aku akan menjamu kalian dengan menu paling laris di tempat makan ini!" serunya sambil menarik tanganku dan Akio.
Aku menggelengkan kepalaku. Tanganku lembut, berusaha melepaskan genggaman nenek tua itu.
"Kedua teman kami sedang berada di rumah sakit ... kami tidak mungkin meninggalkannya berlama-lama."
Nenek tua itu tersenyum kecil. Dia kembali menggenggam tanganku, menatap manik kecoklatanku dalam.
"Kalian pasti sangat kesusahan karena melaksanakan misi ini. Kalau begitu, aku akan memberikan kalian tiket saja."
Aku dan Akio mengernyitkan dahi kami bingung.
"Tiket?" tanya kami bersamaan.
Nenek tua itu mengangguk lalu menengokkan kepalanya ke belakang.
"Rina! Bawakan empat tiket emas!" teriak nenek tua itu, dengan suaranya yang sedikit serak.
Aku dan Akio hanya diam mematung.
Hingga beberapa menit kemudian, muncullah seorang perempuan dengan surai hitam pandangannya menggunakan pakaian pelayan.
"Ini tiketnya Nyonya," ujar lembut perempuan itu.
Perempuan tua itu menerima tiket yang sepertinya diberikan oleh pelayannya.
Dia tersenyum, lalu memberikan tiket tersebut padaku.
"Ini tiket makan gratis selama sebulan. Kalian cukup menunjukkan tiket ini pada kasir dan kalian tak perlu bayar."
"Wah!"
Mataku berbinar-binar. Aku mengerjapkan kedua mataku beberapa kali, sambil menatap tiket emas ini penuh takjub.
"Akhirnya hadiah yang sepadan! Teriak kasih banyak Nenek!"
Setelah mendapatkan tiket tersebut, akhirnya kami kembali menuju rumah sakit di mana Haven dan Avere di rawat.
Tok tok tok
Aku mengetuk pintu kamar tersebut.
Dan tanpa ku sangka, seseorang membukakannya dari dalam.
"Hana?!" teriakku senang lalu memeluk perempuan mungil itu.
"Wah Caramel! Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada ceria.
Aku menganggukkan kepalaku cepat.
"Tentu saja aku baik-baik saja! Aku mendapatkan skill baru!" seru senang sambil melepas pelukannya.
"Skill apakah itu? Wah ... jika kau bisa kembali tanpa luka sedikitpun, itu pasti skill yang hebat!" seru Hana riang.
"Hei bisakah kalian tenang? teman kita sedang tertidur."
Akio menyerobot percakapan kami. Dia berjalan santai, lalu duduk di kursi kecil samping ranjang Avere.
Aku mendengus kecil lalu melipat kedua tanganku di dada.
"Kau pasti iri, kan?" tanyaku dengan satu alis yang terangkat.
"Untuk apa iri? Aku juga mendapatkan skill baru kok."
Dia berkata santai seperti biasa. Mulutnya berucap tenang, dengan tangan yang bergerak membuka bungkus camilan.
"Benarkah?! Kenapa kau tidak cerita?" tanyaku penasaran sambil mendekati pria itu.
Dia menatapku datar lalu memiringkan kepalanya. "Kenapa harus?" tanyanya dengan mulut yang penuh dengan cemilan.
Aku mendengus sebal lalu mengambil camilan yang sedang dia makan tiba-tiba.
Aku memeluk camilan tersebut, lalu memakannya dengan santai.
"Hei itu camilanku!" protesnya seraya berdiri dari duduknya.
Aku menempelkan jari telunjukku di bibir merah mudaku. Aku mengedipkan sebelah mataku genit lalu berkata, "Hei diamlah. Teman kita sedang tidur."
Wajah datarnya berubah marah.
Aku menanggapinya santai, dengan tangan yang terus memasukkan keripik gurih ke dalam mulutku.
"Berikan padak--"
"Duduk."
Tubuh pria bersurai hitam itu terlempar pelan, lalu duduk kembali di kursi.
Aku tersenyum meledek lalu melanjutkan makanku. "Hana mau?"
"Oh? Mau!" seru Hana senang lalu ikut memakan camilan ini bersamaku.
"Hei Caramel jangan menggunakan kekuatanmu seenaknya pada rekan satu timmu sendiri," ujar Akio kesal dengan wajahnya yang terlihat lelah.
"Kenapa tidak boleh?" tanyaku bingung sambil mengunyah makanan.
"Cih ... sudahlah." Pria itu menyerah. Dia menyandarkan punggungnya, pada sandaran kursi.
"Jadi bagaimana skill barumu itu Caramel?" tanya Hana lagi.
Aku tersenyum lalu menceritakan tentang kemarin. Bagaimana aku mengalahkan monster pohon beringin yang bentuknya aneh itu.
Hana dan Akio manggut-manggut.
"Itu hal yang wajar seharusnya karena kau pengguna telekinetik," ujar santai Akio.
"Wajar?" tanyaku bingung.
"Iya. Karena pada dasarnya, kalau kau tidak merasakan energi atau hawa keberadaan benda tersebut ... kau tidak bisa memindahkan benda atau makhluk itu dengan kekuatanmu," jelas Akio.
Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Tapi kenapa harus listrik? Aku juga baru merasakannya belum lama ini. Kenapa baru sadar sekarang ya."
"Karena kau sering bertarung dan menggunakan kekuatanmu. Untuk masalah kenapa harus listrik, karena sebenarnya di dalam otak kita itu banyak sekali neuron-neuron penghantar listrik yang tak kasat mata," jelas Akio lagi.
"Mungkin konsepnya agar kau mengerti ... sama seperti ponsel. Tidak ada kabelnya, tapi bisa menerima pesan. Tapi tubuhmu ini lebih modern, karena bisa memindahkan benda tersebut atau mengarahkan ke segala arah sesukamu." Aku menganggukkan kepalaku, saat mendengarkan ucapan Hana.
"Aku mengerti ... lalu bagaimana dengan skill barumu Akio?" tanyaku penasaran.
Pria bersurai hitam itu tersenyum.
Dia melipat tangannya di dada, dengan satu kaki kanan yang naik bertumpuan pada paha kirinya.
"Rahasia."