Sedikit berbeda dengan mereka, kisah pernikahan yang hambar dan menyedihkan. Suami yang tak pernah mengerti apa mau istri dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Belum lagi, nelangsanya yang harus satu atap dengan mertua. Semua kupertahankan demi keutuhan rumah tangga. Kejenuhan yang hampir membabi buta setiap harinya. Menanti esok hari rasanya seperti akan kiamat besok.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat, sembari membuatkan teh hangat untuk Mas Satria. Suami sekaligus pemimpin dalam kehidupanku. Rutinitas yang hampir tak pernah ku lupakan. Ya, meski Mas Satria terkadang acuh tak acuh. Sebagai istri aku hanya ingin berbakti.
"Dek, sini dulu." Mas Satria yang sedang duduk di ruang makan, memanggilku. Tanpa menjawab, aku langsung menghampirinya yang ternyata sedang bersama ibu mertua. Jujur saja, aku kadang merasa tak nyaman jika harus mengobrol dengan Mas Satria dan ibunya ada di sana.
"Ada apa Mas?" Tanyaku, setelah meletakan segelas teh hangat.
"Duduk sini." Aku menurut dan mengambil posisi di sampingnya. Meski mertuaku seolah tak peduli dengan apa yang kami lakukan, sudah kupastikan perempuan paruh baya itu menguping pembicaraan.
"Uangnya masih adakan?"
"Masih Mas, memangnya mau beli apa?"
"Uangnya ibu kurang untuk membayar arisan. Ambilkan dua ratus ribu gih." Sebisa mungkin aku menetralkan gemuruh di dada. Melihat suami yang begitu perhatian dengan ibunya tentu membakar cemburu. Bukannya aku pelit, namun Mas Satria bahkan tak pernah telat untuk memberikan ibu uang setiap minggunya. Yang kupertanyakan kemana uang itu? Aku bahkan rela tak membeli keperluan wajahku.
Namun, dengan mencoba sabar aku ahkirnya mengambil uang itu di dompet. Hanya sisa beberapa lembar uang merah. Aku menghela napas, kebutuhan di dapur sudah mulai menipis. Haruskah aku menjerit dan mengatakan kepada mereka bahwa ini terlalu sulit.
"Ini mas." Aku menyerahkan uang itu. Mas Satria langsung memberikannya pada ibu.
"Nanti saya ganti ya Widya. Kamu tenang saja."
"Tidak perlu Bu. Itu sudah tugas kami." Jawabku. Aku tidak mengerti lagi, mengapa ibu justru berbicara seperti itu. Seolah-olah aku takut jika ibu mertuaku tak mengembalikannya.
"Kamu yang sabar ya." Kata Mas Satria, setelah ibu berlenggang ke kamarnya.
"Tidak apa-apa Mas, In sha Allah, ada gantinya."
"Terima kasih istriku." Aku hanya tersenyum menanggapi. Mencoba menyembunyikan semuanya. Kesedihan dan tangisan yang ku redam sedalam-dalamnya. Hanya tak ingin terlihat cengeng di hadapan mereka.
Sulitnya aku yang harus tinggal dengan mertua, membuatku tak bisa leluasa bergerak. Belum lagi, mertuaku itu sangat suka membeberkan hal kecil apapun ke para tetangga. Yang kulakukan hanya mengelus dada, berharap Allah menggantikan semuanya dengan surga. Meski kadang aku tak terima, aibku di umbar kemana-mana
___________________________________________________________
Sebelum Mas Satria berangkat bekerja, aku sudah menyiapkan diri untuk membeli sayuran. Duduk di teras rumah dengan ibu mertua. Ahkirnya tak selang beberapa lama. Kang Jasman si penjual sayur keliling berhenti tepat di depan rumah.
"Sayur apa Neng?" Tanya Kang Jasman.
"Seperti biasa aja Kang. Lagi bokek." Kataku
"Ini, sayur Bayam, Tempe sama Togenya."
"Beli apa Wid?" Tanya tetangga yang juga ikut berbelanja
"Sayur Toge Mbak." Kataku menunjukan kantong kresek. Tentang ga hanya tersenyum, sembari memilah-milah sayuran
"Buat Satria supaya subur ya?"
Deg..
Rasanya sakit, tapi tetap kubalas dengan senyuman.
"Lagi pengen aja Mbak. Kalau begitu saya pamit dulu." Kataku setelah membayar. Pulang sembari menenteng sayuran dan luka di hati. Ya Tuhan, sampai kapan begini? Aku sedih, suamiku di tuduh mandul tapi semuanya belum jelas adanya.
Berita itu sudah meruak hampir ke komplek lain. Kalau bukan karena ibu mertuaku yang menceritakan aib kami, kemungkinan besar masalah ini tak sampai kemana-mana. Meskipun kami belum mengetahui kebenarannya siapa di antara kami yang tidak subur, kami hanya tidak ingin mengetahui lebih dalam karena saling menjaga perasaan.
Biar Allah memberikan waktu yang tepat. Mungkin belum di pernikahan yang sudah menginjak tiga tahun ini, tapi tidak ada yang tahu jika Allah sudah menyiapkan semuanya. Sebagai hamba-Nya aku hanya bisa teru berdoa dan berusaha. Berharap esok atau hari-hari yang akan datang apa yang ku impikan menjadi kenyataan.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••√
Di kampung ini, hampir setiap bulan tetangga mengadakan hajatan. Entah itu anak mereka di khitan atau acara pernikahan. Tak jarang mereka juga mengadakan syukuran untuk anaknya yang baru pulang dari kota. Sebagai toleransi antar tetangga aku hanya pergi untuk membantu dalam masak-memasak. Sebelum jam delapan pagi, sudah banyak tetangga yang lain mendatangi rumah Pak Bejo yang kebetulan hari ini anaknya akan di sunat.
Setelah memoleskan bedak dan lipstik, aku siap berangkat. Sebelum benar-benar pergi, kusempatkan untuk berpamitan dengan Mas Satria yang sedang menikmati pisang goreng di teras bersama Ayah mertua.
"Berangkat sekarang?" Tanya Ayah mertuaku. Aku mengangguk sopan
"Antarkan dulu istrimu."
"Sebentar ya dek. Habiskan dulu kopinya sekalian Mas mau berangkat kerja." Aku mengangguk lagi, lalu duduk di samping Mas Satria.
"Anaknya Pak Bejo di sunat kan?"
"Iya Pak."
"Ibumu gak ikut kondangan?"
Aku mengedikkan bahu, sedari pagi tak melihat batang hidungnya.
"Mungkin lupa Karti."
"Ayo dek." Mas Satria berdiri dari tempatnya.
"Eh sebentar Widya." Sergah Ayah. Refleks kami berhenti
"Ada apa Pak?" Tanyaku
"Jangan lupa bawa jajanannya ya. Soalnya enak."
Aku hanya tersenyum tipis. Dalam hati hanya bisa beristighfar. Entah mengapa Tuhan seakan mengujiku dengan hadirnya kedua orang tua Mas Satria. Ayah yang doyan jajan dan sangat pelit serta perhitungan belum lagi Ibu mertuaku yang sangat egois dan selalu meminta duit. Ujian yang Allah berikan padaku begitu besar, hingga kadang aku tak sanggup memikulnya.
Kami berpamitan pada Ayah. Lalu mengendarai motor matic milik Mas Satria yang dibelinya ketika masih bujangan. Dalam perjalanan, Mas Satria terus membuatku tertawa dengan leluconnya yang garing. Suamiku itu sedikit humoris walau kadang tak pernah mengerti perasaanku.
"Dek."
"Ya Mas?"
"Gak usah bawain bapak jajanan ya, malu-malu in."
"Iya Mas. Kenapa bapak begitu ya mas."
"Maklumlah dek, umur bapak sudah tua sekali jadi tingkahnya kembali seperti anak-anak."
"Tapi aku gak betah Mas. Aku pengen punya rumah sendiri."
"Kita tanya ibu dulu ya." Katanya yang membuat hatiku mencelos. Beginilah rumah tanggaku, aku harus hidup di rumah yang isinya dua kepala keluarga dan dua ibu rumah tangga. Beda pemikiran dan tujuan jelas membuatku merasa tak bebas dan harus selalu mengalah dengan mereka. Bukannya aku ingin suamiku durhaka, tapi aku benar-benar tak suka tinggal bersama mereka yang sangat perhitungan.
Terlebih lagi Mas Satria yang selalu menjadikan ibunya sebagai pemikir utama dalam apa yang ingin kami lakukan. Setiap hal harus dengan persetujuan ibu mertua. Kadang aku merasa tak punya pemimpin dalam rumah tangga.
___________________________________________________________
"Loh Bu Karti mana?" Tanya salah seorang tetangga, salah satu teman ibu
"Masih di rumah Mbak." Jawabku, sembari mengupas bawang merah yang akan di jadikan pelengkap sop
"Tumben Bu Karti terlambat."
"Gak tau Mbak, saya juga gak lihat dia dari tadi pagi."
"Satu rumah kok gak sampai lihat sih." Selip ibu yang berbadan sedikit gempal
Aku hanya tertawa, "Iya Mbak."
"Maaf-maaf saya agak telat ini."
Tiba-tiba saja Ibu muncul di antara sekelompok pengupas bawang. Beberapa teman Ibu nampak kegirangan.
"Dari tadi ditungguin." Kata salah satu tetangga
"Cucian di rumah numpuk."
Cucian apa? Aku terkejut namun tetap diam. Seingatku pagi-pagi buta aku sudah mencuci semua piring kotor dan juga pakaian. Membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan bahkan aku masih sempat menggoreng pisang yang telah dilahap oleh Ayah dan Mas Satria. Dalam hati, aku sudah merasakan firasat yang tak baik
"Bagaimana, ada menantunya kok masih nyuci."
"Saya tadi buru-buru Mbak." Timpalku ahkirnya sebelum Ibu membuat drama lagi.
"Saya takutnya, anak menantu saya kecapean. Dia kan butuh istirahat supaya badannya sehat dan bisa hamil."
Lagi-lagi kata-kata Ibu membuatku teriris, menahan tangis dan memilukan. Aku hanya diam dan pasrah mendapat tatapan dari para tetangga yang prihatin dan juga seperti menghujatku. Salah apa aku? Apakah kemandulan sebagai bentuk kehinaan? Bisa apa aku? Aku bukan Tuhan yang dapat menciptakan apapun.
Tidak bisakah mereka mendoakan? Dan bukannya menghujat? Ya Allah, berikanlah aku kekuatan dan berikanlah petunjuk bagi mereka bahwa engkau yang maha kuasa.