Hujan mengguyur Bumi, menyegarkan tanah yang gersang beberapa waktu belakangan. Di tengah rahmat-Nya aku hanya bisa berharap suamiku pulang lebih awal. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun hingga kini suamiku belum pulang dari bekerja.
Mas Satria begitu giat bekerja, meski hanya sebagai kuli bangunan namun kebutuhan sehari-hari masih cukup jika orang tuanya tak merepotkan. Kadang aku kasihan padanya, membanting tulang demi menafkahi ku dan kedua orang tuanya yang sudah renta. Namun, aku dan Mas Satria selalu percaya bahwa Allah pasti akan membalas kebaikan hamba-Nya meski sekecil batu.
"Satria belum pulang Wid?" Ibu yang datang dari arah depan, langsung duduk di depanku
"Belum Bu."
"Sudah kamu telfon?"
"Gak diangkat."
"Coba telfon lagi." Akupun menurut dan mencoba menghubungi Mas Satria kembali. Namun nihil, tetap tak di angkat olehnya.
"Gak diangkat Bu."
"Ya sudah, kamu tungguin suamimu. Ibu mau tidur." Kata mertuaku, aku langsung meng-iyakan.
Rasanya aku ingin langsung menemui Mas Satria ke tempat kerja. Mengabaikan hujan yang semakin deras. Kucoba terus menghubungi dan mengirimkan pesan padanya namun tetap tak ada respon. Sampai pada ahkirnya deru suara motor Mas Satria terdengar di gendang telinga.
Aku buru-buru membuka pintu, sebelum itu aku berlari kearah kamar untuk mengambil handuk.
"Ini mas." Kusodorkan handuk itu
"Terima kasih dek."
"Mas langsung mandi aja. Aku buatin teh hangat dulu."
"Iya." Katanya dan mengikuti perintahku.
Kadang, aku merasa kasihan pada suamiku yang harus seperti ini demi kami. Tapi tak ada lagi yang bisa ku perbuat selain hanya sebagai istri yang melayani suaminya. Aku tak bisa menambah penghasilan Mas Satria apalagi membuatnya bahagia.
"Dek, kenapa melamun?" Mas Satria yang sudah mandi, ikut bergabung bersamaku.
"Maafkan aku mas. Aku menyusahkan kamu."
Mas Satria mengelus puncak kepalaku. "Ini sudah tugas Mas, tugasmu ya ini bikinin teh, masak dan menyiapkan keperluanku."
"Semoga Allah yang membalas semuanya ya Mas."
"Aamiin."
Mas Satria lalu menyeruput teh hangat yang kubuat.
"Mas, aku ingin hamil seperti orang-orang." Tuturku lirih. Mas Satria meletakan gelas di atas meja. Lalu merubah posisinya lebih menatapku
"Aku juga ingin dek."
"Aku juga pengen punya rumah sendiri." Ungkapku lagi. Malam ini rasanya aku ingin menyebutkan semua keinginan dan ketidak nyamanan ku berada dirumah ini.
"Sabar ya dek."
"Kenapa jawab Mas selalu begitu?, Kurang sabar apa aku mas?"
"Aku tidak bisa meninggalkan Bapak sama Ibu. Mereka sudah lansia, lagi pula aku anak bungsu yang harus menjaganya."
"Sampai kapan begini?"
Mas Satria mengedikkan bahunya tak tahu. Aku yang kurang puas dengan jawabannya tentu semakin geram. Mas Satria begitu acuh dengan apa yang ku inginkan.
"Tapi Mas, kita bisa buat rumah di belakang. Masih ada lahan kosong."
Mas Satria hanya diam saja, sembari menghela napas. Kemudian menyeruput teh yang perlahan dingin.
"Mas usahain."
"Mas." Kataku menyusul suamiku yang beranjak pergi.
"Apa?"
"Kamu selalu begini, kasar dan dingin ketika aku meminta sesuatu."
"Permintaan mu yang aneh-aneh."
"Aneh apanya?, Mas yang gak ngerti perasaanku!" Kataku sedikit keras
"Sudah ya Dek. Mas capek mau istirahat." Mas Satria meninggalkankanku diruang tengah. Suamiku itu langsung masuk kedalam kamar mengistirahatkan diri.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••√
Dalam hati aku hanya bisa menangis. Istri mana yang tak sedih apabila suaminya acuh dan tak mengerti perasaan istrinya. Apalagi lebih mementingkan perasaan orang tua. Aku merasa hanya menjadi pemuas nafsunya saja, karena setiap keinginanku tak pernah di kabulkan. Aku menangis di tengah derasnya hujan, biarlah mengalir bersamaan dengan kekecewaan.
Dalam waktu senggang, aku selalu mencari informasi-informasi mengenai kehamilan. Mulai dari situs internet hingga dari teman-teman. Aku mulai menerapkannya satu-persatu namun diantara beberapa ada yang gagal. Yang bisa kulakukan selain melakukan terapi herbal adalah dengan berdzikir dan bersholawat. Salah satu ustadz dilaman berbagi mengatakan bahwa mungkin saja sebagai manusia pernah melakukan kesalahan besar dan perlu untuk sholat tobat. Dari situlah aku menerapkan hal itu, selain itu setelah sholat akupun bersholawat dan berdzikir selama seribu kali.
Terus ku coba selama dua tahun belakangan. Kadang-kadang aku juga berpuasa Senin, Kamis sesuai yang ustadz anjurkan. Aku berharap dengan usahaku itu, Allah memberikan apa yang selama ini kudamba-dambakan.
Selepas sholat tahajud, aku langsung menyusul Mas Satria yang tengah tertidur pulas. Ketika melihat Mas Satria yang tengah tidur seperti itu, terbesit rasa penyesalan telah membuatnya berpikir terlalu keras. Menambah bebannya dan tak bisa menjadi istri yang baik. Padahal dalam setiap sholat, aku selalu meminta pada Allah, agar setia pada suamiku dalam suka dan duka. Namun, mengapa kini aku justru seolah tak terima dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang selalu membuatku memendam segala kekecewaan dan rasa sedih.
Tak bisa kupingkiri, tinggal dengan mertua berarti harus siap untuk menjadi bahan olok-olokan tetangga. Atau paling tidak siap untuk aibnya disebar. Selama menikah, aku memang tak pernah menerapkan edukasi itu.
Ku elus rambut suamiku yang mulai memanjang. Sangking sibuknya dengan pikiran yang tidak-tidak aku bahkan sampai melupakan perawatan suamiku. Aku bahkan tidak memerhatikan hal kecil darinya. Sungguh, aku merasa malu menjadi seorang istri yang gagal.
"Dek?, Kenapa nangis?" Tiba-tiba saja Mas Satria terbangun, sepertinya ia terganggu dengan perbuatanku tadi.
"Gak apa-apa. Maaf ya mas." Kataku sedih, sembari mengusap air mata. Mas Satria menarikku dalam dekapan
"Maaf-in Mas juga ya, belum bisa menuruti apa kemauanmu. Mas cuman ingin berbakti pada Bapak dan Ibu."
Aku mengangguk. "Aku akan selalu berusaha untuk lebih sabar lagi Mas. Kamu terus kuatin aku ya?"
"Pasti dek. Mas selalu kuatin kamu."
Kami berpelukan. Beginilah kami, memang sering bertengkar dan beradu mulut namun tak lama kami juga baikan. Kadang Mas Satria yang lebih memilih mengalah sedangkan aku tak mau kalah. Maklumlah, aku wanita yang selalu ingin dimengerti.
"Kamu sudah sholat Dek?"
"Sudah Mas."
"Gak bangunin Mas, kalau gitu Mas sholat dulu deh, kamu tidur aja nanti Mas bangunin buat sholat subuh."
Aku mengangguk
"Jangan lupa minta sama Allah keturunan ya Mas."
"Itu pasti dek." Katanya lalu berlenggang pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
____________________________________________
"Dek.."
"Ayo bangun sholat subuh."
Sayup-sayup kudengar suara Mas Satria, perlahan membuka mata. Lalu menyeimbangkan posisi menjadi duduk, sebelum benar-benar menerima aku menyetabilkan kondisi.
"Ada apa Mas?" Suara serak menjadi tanda aku yang sudah terlelap beberapa jam
"Sholat subuh yuk." Melirik jam di atas meja, sudah menunjukkan pukul lima pagi. Rasanya cepat sekali watu berjalan padahal aku baru saja terlelap.
"Aku ambil wudhu dulu." Meski begitu aku tetap melangkah menjalankan kewajiban. Sholat berjamaah dengan suami adalah mimpi yang begitu indah, aku harusnya bersyukur mendapatkan suami seperti Mas Satria. Bahkan di luar sana masih ada wanita yang mendambakan suami mereka menjadi imam dalam sholat namun terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga kelelahan dan tak mempunyai waktu untuk menjemput amal kebaikan.
Allah maha baik. Meski aku tinggal bersama mertua namun Allah memberikan penawar untuk rasa sedihku. Mas Satria, kuanggap sebagai obat di kala duka melanda, suami yang selalu membuatku tertawa dan berusaha untuk memenuhi apa yang ku inginkan.
Kuharap, Allah SWT. Selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kami. Serta menghadirkan sosok anak kecil dalam pernikahan yang membuat rumah tangga menjadi lebih harmonis lagi.