Chereads / APA ITU PERNIKAHAN? / Chapter 4 - 4. Anak Mbak Soimah ternyata

Chapter 4 - 4. Anak Mbak Soimah ternyata

Saat kembali kerumah, aku sudah melihat Mas Satria duduk di ruang tamu sembari menikmati teh hangat. Merasa bersalah karena tak menyiapkan teh hangat untuknya. Aku mencoba menghampirinya.

"Udah bangun Mas. Siapa yang bikinin Teh?" Tanyaku, lalu mengambil posisi duduk disampingnya

"Aku sendiri dek. Kamu dari mana?" Tanyanya sembari beralih melihat kantong kresek yang ku bawa

"Dari warung Mbak Rumiah, ibu nyuruh aku buat beli kue."

"Untuk apa?" Mas Satria kebingungan sekaligus penasaran

"Ibu mau ngadain arisan di rumah."

"Arisan?" Aku mengangguk. "Ibu ada-ada saja, terus ibu kemana?"

"Loh, bukannya ibu tadi di dapur?"

"Gak ada." Jawabnya setelah menyeruput teh hangat.

"Mungkin ibu lagi mandi." Sambung Mas Satria.

"Aku tinggal ya Mas, mau nyiapin ini dulu sambil buatin kamu sarapan."

"Gak perlu dek. Kamu pasti kerepotan, Mas makan di sana saja nanti."

Aku tersenyum. "Ya udah kalau gitu."

"Gak apa-apa kan?" Tanyanya, tangan Mas Satria mengelus kepalaku, aku mengangguk. Setelah itu pergi ke dapur menyiapkan kue-kue yang telah ku beli. Mas Satria selalu menghormati masakanku. padahal sebenarnya di tempat kerja selalu di suguhkan dengan makanan namun suamiku itu memilih sarapan dirumah kecuali pagi ini.

Sebenarnya, aku ingin menceritakan tentang ibu yang begitu boros. Namun sepertinya pagi ini bukanlah waktu yang tepat. Mas Satria pasti tetap akan membela ibunya dan menyuruhku untuk bersikap maklum. Aku hanya bisa menghela napas, suatu saat aku akan terbiasa dengan semuanya.

__________________________________________________________

"Ada?"

"Ada Bu." Aku menunjuk piring-piring yang telah tersusun rapi dengan kue yang di pesan ibu

"Kamu bikin minumannya ya?, Ibu mau siap-siap sebentar lagi mereka datang."

"Iya Bu."

Beliau melangkah pergi. Namun semenit kemudian berbalik menyusul ku.

"Jangan manis-manis minumannya." Tegur beliau, aku mengangguk dengan sopan.

Menjadi seorang menantu harus rajin dan gesit, selain itu harus ekstra sabar dalam menghadapi mertua. Betapa untungnya bagi mereka yang memiliki mertua baik nan pengertian serta menyayangi menantunya seperti anak sendiri. Kadang, aku hanya membayangkan saja. Seandainya ibu dari Mas Satria seperti itu padaku mungkin selama menikah aku tak menyimpan beban pikiran yang begitu berat.

Jujur, merawat kedua orang tua yang sudah renta dengan watak yang berbeda membuatku senewen. Aku yang, lahir di era modernisasi harus mengikuti aturan orang zaman dulu sedikit membuatku terkejut. Namun kulakukan semua demi suamiku. Orang bilang, jika cinta dengan orangnya berarti harus cinta dengan keluarganya.

Sebenarnya hal itu yang membuatku kesulitan. Kedua mertuaku tak sama pemikirannya dengan keluargaku sendiri. Mereka perhitungan dan banyak aturan. Beda dengan keluargaku yang santai dan moderenisasi. Aku tak bisa melakukan apapun, hanya mengikuti aturan mereka entah hingga kapan.

Sampai saat ini, kesabaran yang ku punya terus ku pupuk. Entah aku tidak tahu, apakah aku memiliki batas kesabaran atau justru akan terus bersabar dan mengalah seperti ini.

Ibu-ibu arisan meramaikan rumah yang biasanya dalam keadaan sepi. Mereka bertukar cerita mengenai anak-anak yang sekolah di luar kota, suami yang malas, anak gadisnya yang masih lajang dan cucu mereka yang sudah banyak. Aku yang tak ikut bergabung hanya bisa mendengar celotehan mereka di dapur. Ya, ibu mertuaku menyuruhku untuk menjaga makanan saja dan menghidangkan jika sudah waktunya.

Sayup-sayup kudengar suara anak gadis. Dari suaranya aku bisa menebak gadis itu masih berumur kisaran dua puluhan. Kupikir, itu adalah anak dari Mbak Soimah yang ibu ceritakan. Jujur aku tertarik ingin melihat wajah gadis tersebut. Apalagi, ibu mertuaku yang pagi tadi begitu antusias membahas Mbak Soimah dan anak gadisnya.

"Wid, ayo bantu ibu." Tiba-tiba ibu muncul, aku terkesiap dalam lamunan

"Cepetan!"

Tanpa menjawab aku lalu membawa beberapa kue yang sudah disiapkan. Menghidangkannya dengan sopan.

"Silahkan dinikmati." Kataku ramah, mereka menjadikanku pusat perhatian. Aku kembali lagi ke dapur untuk mengambil minuman.

"Itu yang cewek anaknya Mbak Soimah. Cantik kan dia?"

"Iya Bu." Jawabku sembari meletakan gelas berisi teh hangat

"Ya sudah kamu bawa keluar." Perintahnya yang kuturuti.

"Diminum Mbak, Sin kenapa kok gak dimakan kue nya?" Kata ibu mertuaku yang begitu ramah kepada anak mbak Soimah.

"Sebentar Bu."

"Ini istrinya Satria?" Tanya salah seorang ibu-ibu. Yang diangguki oleh ibu mertuaku

"Saya permisi dulu." Aku ahkirnya memilih masuk kedapur tak ingin merusak suasana.

"Sudah hamil?" Tanya wanita tadi, aku melambatkan langkahku kala bisikan itu sampai di telinga. Mencoba sabar dengan pertanyaan yang selalu membuatku teriris

"Belum Mah."

"Hemm.. kalau saja Satria sama Santi dulu, mungkin kamu sudah punya cucu."

Rasanya kata-kata itu begitu panas terdengar di telingaku. Walaupun aku berada di dapur tetap saja. Hinaan itu terdengar jelas di pendengaran.

"Iya, sayangnya Satria gak mau sama Sinta."

Kini aku mengerti, ada hubungan apa ibu mertuaku dengan mbak Soimah dan mengapa ibu begitu antusias membahas anaknya mbak Soimah. Hatiku benar-benar hancur ternyata Sinta adalah mantan pacar suamiku yang masih didamba oleh ibu mertuaku. Ya Allah, lindungilah rumah tangga kami.

Pantas saja, aku sudah merasakan firasat yang tak baik semenjak ibu mertuaku membahas Mbak Soimah. Dari wajahnya ada aura kebahagiaan dan pengharapan penuh. Tapi aku tidak ingin berburuk sangka, semoga saja ini hanya firasat dan tak lebih.

"Gak masalah, masih banyak jalan menuju Roma." itu suara tetangga yang lain. Dalam hati, aku hanya bisa menghela napas sabar. Mengapa mereka Setega itu? Seakan-akan tak memperdulikan perasaanku. Jujur aku khawatir akan yang mereka katakan. Namun, mencoba berpikir positif mungkin nanti aku akan menanyakan hal itu pada Mas Satria. Semoga saja, suami yang kupercaya benar-benar mampu menjaga perasaan.

Tak lama para ibu-ibu arisan membubarkan acara. Merasa lega, karena kegiatan bergosip ria mereka terhentikan. Masalah gosip aku bukanlah orang yang begitu suka bergosip, membeberkan aib orang lain tanpa memikirkan aib sendiri adalah perbuatan tak baik. Kelak di akhirat, tidak ingin memakan daging orang yang aku sebar aibnya.

Memilih memunguti bekas acara. Kegiatanku terhenti kala Ibu mendekat. Beliau duduk di sofa yang berjarak tak jauh dari posisiku.

"Ibu malu, mereka selalu bertanya kapan punya cucu." Entah itu kalimat sindiran, pertanyaan atau permintaan. Namun, terdengar sarkas di telinga. Mencoba menghela napas, bersabar.

"Kapan sih kamu hamil? Rasanya kok susah banget!," beliau menggerutu. Namun, tak kubalas sedikitpun karena memilih fokus pada pekerjaan.

"Apa kamu bakalan gak bisa hamil Wid?, Kalau begitu percuma kamu jadi menantu."

Deg. Hatiku berdesir hebat dicampur rasa pedih bukan main. Air mata mulai berlinang, bahkan benar-benar kalut. Aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca.

"Bu, aku tidak bisa menentukan takdir." bukan kurang ajar, setidaknya menjelaskan lebih baik ketimbang menjadi makian tiap hari. Karena aku memang tidak tahu, kapan Allah memberiku karunia-Nya. Sudah diberi kesehatan, umur yang panjang saja amat bersyukur. Toh, selama ini kami masih bersabar apalagi Mas Satria tidak begitu mempermasalahkan. Hanya mereka saja yang pusing dengan hidup kami, padahal bukan mereka yang menjalankan.

Ibu mertua nampak melotot, mungkin beliau merasa tidak terima aku yang membantah omongannya.

"Lihat mereka yang menikah bersamaan dengan kalian saja sudah mempunyai dua anak, kalau tau begitu saya tidak mau menikahkan Satria dengan kamu."

Lagi-lagi kepalaku menggeleng. "Seharusnya ibu berpikir, belum tentu Widya yang mandul, bisa saja Mas Satria." tentu saja, rasa tidak terima terus membanjiri pikiranku. Karena semuanya belum terbukti adanya, tidak setuju dituduh sepihak tanpa bukti.

Ibu dari mas Satria itu nampak terdiam, akan tetapi membuka suara lagi. "Satria tidak mungkin mandul, selama ini dia sehat."

Tidak ingin melanjutkan perdebatan yang tiada ahkir. Aku memilih mengalah dan berjalan menuju dapur untuk mencuci piring dan gelas yang kotor. Sudah biasa dengan hal demikin, lama kelamaan aku bahkan sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Percaya bahwa Allah pasti akan menjawab doa yang selama ini terpanjat, meski bukan saat ini tapi nanti Allah akan siapkan yang terindah.

___________________________________________________________

Hari sudah sore, untung saja rumah sudah bersih dan aku bahkan sudah membersihkan diri. Tugas lain adalah menunggu Mas Satria pulang. Sebenarnya bisa saja aku pergi dari rumah ini, tapi Mas Satria tetap menjadi tanggung jawab. Rasanya akan sangat durhaka apabila mengabaikan suami dan memilih kepentingan pribadi, akan tetapi jika mengingat gerutuan dan racauan ibu mertua membuat aku tak betah berlama-lama di rumah ini.

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, sebentar lagi Mas Satria akan datang. Keputusan untuk menunggu Mas Satria di teras rumah adalah kesalahan terbesar, karena tak selang beberapa menit Ibu mertuaku datang dan duduk tak jauh dariku. Diam adalah solusi yang tepat, karena kelihatannya wanita paruh baya itu masih dalam keadaan marah. Sebenarnya masih tidak mengerti, mengapa wanita itu marah padaku? Apa yang salah? Semua adalah takdir Allah, marah bukanlah solusi yang tepat tetapi bersabar adalah obatnya.

•••••••••••••••••••••••√

Menikah berarti membuka lembaran baru, bab terbaru dalam penjajakan kehidupan. Berumah tangga harus siap dengan semuanya. Susah, senang, sedih, bahagia dan suka cita lainnya harus dihadapi. Ketahuilah menikah bukan happy ending dari segalanya, akan tetapi pernikahan adalah awal dari segalanya. Jalan hidup yang tak hanya dilalui oleh seorang diri, pemikiran yang diambil untuk semua pihak.

Berumah tangga tak semudah katanya. Namun, tak serumit ceritanya. Pahit, manis, asam, dan gurihnya bumbu-bumbu rumah tangga itu mengasikan. Jika tak ingin menghadapi lelah pergilah, tapi ketika kuat untuk jatuh dan bangkit lagi maka begitulah seharusnya untuk bertahan.

Jujur saja, untuk awalnya menjadi seorang istri aku masih kaget. Terbiasa mengurus hidup sendiri tanpa melayani siapapun membuatku kagok, apalagi harus tegar dalam segala hal. Percayalah semakin lama pernikahan akan semakin kuat tetapi cobaan semakin besar datangnya. Setiap rumah tangga diuji dengan masing-masing kemampuan.

Allah tidak memberikan cobaan melainkan hamba-Nya pasti mampu.

Ku akui, tinggal dengan mertua memang menekan pikiran. Tidak ada yang mudah dilalui, akan terasa sulit apalagi jika kedua mertua itu mengurusi urusan rumah tangga anaknya. Tapi, Allah selalu memberi penawar atas rasa tertekan yang kuterima. Mas Satria sebagai pelipur lara hati rasa sedih yang kadang kuterima di rumah ini. Maka dari itu, bertahan untuk suami dan karenanyalah aku kuat.

"Dek, kenapa ya masakanmu selalu enak?" Mas Satria sedang memujiku, tentu saja aku tersipu.

"Kamu gombal ya Mas?"

"Ndak dek." Jelas Mas Satria, sebenarnya aku sudah terbiasa dengan gombalannya.

"Mas, Widya pengen ngomong sesuatu."

"Apa dek?"

"Nanti, sudah makan kita bahas di kamar ya?" Mas Satria mengangguk. Aku sudah tidak sabar ingin tahu siapa Sinta anak Mbak Soimah itu? Ada hubungan apa mereka dulu dan sebelum benar-benar bertanya aku sudah menyiapkan diriku untuk menerima semua yang dia akan katakan. Meski menyakitkan tapi begitulah kenyataannya.

Mas Satria sudah selesai makan, lelaki yang menjadi pemimpinku itu meminum teh hangat yang kubuat terlebih dahulu. Lantas mengajakku kekamar. Kami duduk berhadapan di sisi ranjang, dia menatapku penuh tanya. Mengambil napas lalu menghembuskannya, menyiapkan diri untuk bertanya.

"Mas pernah punya hubungan sama Sinta ya?" Inilah moment yang harus ku perhatikan, raut wajah Mas Satria nampak berbeda.

"Iya dek." Jawabnya pelan, kenapa hatiku berdesir? Padahal aku sudah siap dengan semua jawaban Mas Satria

"Tapi dulu ketika Mas belum kenal kamu." Sambungnya

"Begitu ya Mas. Apa ibu kenal dekat dengan Mbak Soimah?"

"Sebentar dek, bagaimana kamu bisa tahu?"

"Mbak Soimah dan Sinta kemari, ikut arisan."

Mas Satria terdiam, awalnya ia terkejut. Akan tetapi menyetabilkan kondisi.

"Ibu-ibu cerita kalau kalian dulu pernah punya hubungan."

"Tapi itu dulu dek."

Aku tersenyum, "Iya Mas." Mas Satria juga tersenyum

"Ibu-ibu juga tanya, apa aku sudah hamil? Terus ibu jawab belum lalu ada ibu-ibu yang lain bilang seandainya dulu kamu mau sama Sinta mungkin.."

"Ssstt..jangan dipikirkan. Kamu yang terbaik buat mas, terlepas apapun itu."

Air mataku berlinang, perasaan sedih itu ahkirnya tumpah juga. "Kenapa kamu pilih aku mas?, Aku tidak bisa memberikanmu anak."

Mas Satria menariku dalam dekapan. "Jangan bilang tidak bisa, tapi belum. Lagi pula kita tidak tahu siapa yang bermasalah kan? Sudah gak perlu sedih ya?"

"Tapi mas.."

"Sayang, kamu tau Nabi Zakaria?"

"Ya Mas."

"Nabi Zakaria dan istrinya bersabar dan terus meminta pada Allah keturunan. Apa yang terjadi? Allah mengkaruniai mereka anak Yahya bahkan nama anaknya diberikan oleh Allah."

"Masya Allah."

"Padahal istri Nabi Zakaria divonis mandul. Percayalah dek, saat semua orang menganggap kita tidak bisa mempunyai keturunan Allah Maha Pengasih dan membolak-balikkan takdir. Jadi jangan pernah putus asa ya?" Dia menjawil ujung hidungku, membuat senyum di bibir.

Benar saja, rasa putus asa sempat menghampiri. Namun, bukan begitu seharusnya. Ini adalah ujian agar lebih sabar dan Ikhlas menerima takdir justru Allah menguji karena Allah sayang pada kami. Semoga saja rumah tangga ini selalu dalam lindunganmu ya Robb.

"Kita tetep harus ikhtiar, dengan ilmiah tapi biarlah Allah yang merubah dengan kebesaran-Nya."

"Iya Mas. sholat isya yuk Mas?"

"Ayo dek."

Menikah itu ibadah, kalau disuruh pilih menikah atau lajang tentu saja aku memilih menikah meski tak selalu bahagia. Tapi siapa yang tidak ingin setiap aktivitas yang diperuntukkan pada suami adalah sebuah ibadah. Meski masih belajar aku ingin menjadi istri yang kelak berada di surga bersama Mas Satria. Terdengar klasik namun begitu indah bagi para pengejar ahkirat.