Chereads / APA ITU PERNIKAHAN? / Chapter 7 - 7. Tangisan

Chapter 7 - 7. Tangisan

Kabar kehamilan dari orang-orang tersebar dimana-mana. Mereka berujung menyamakan dan membandingkan aku. Ya, beberapa bulan lalu tetangga menikah dan saat ini tengah mengidam. Para ibu-ibu sibuk menceritakan aku yang tak kunjung menyusul. Mereka berpikir kenapa aku lambat? Padahal akulah yang lebih dulu menikah.

Jujur, itu membuatku sedih dan putus asa. Akan tetapi, masih menjunjung harapan tinggi bahwa Allah akan mengabulkan. Sempat terpikir dalam pikiran untuk pasrah dan bahkan terkadang mengalahkan takdir, tetapi segera kutepis hasutan setan.

Semua ada waktunya untuk bahagia,bisa jadi saat ini giliran mereka dan Allah menghadirkan kebahagiaan lain untukku.

"Coba kamu minum ini Wid." Kami sedang berkumpul membeli sayuran. Salah satu ibu-ibu berbadan kurus menunjukan buah alpukat padaku

"Ini cocok untuk kesuburan kamu."

"Iya mbak, coba deh aku beli."

Ku putuskan untuk membelinya dua buah, rencananya akan aku buatkan jus.

"Semoga berhasil ya Wid."

"Iya mbak. Ini bang uangnya."

"Terima kasih neng."

Aku kembali kerumah dan ingin mengolah sayuran yang kubeli. Pagi ini Mas Satria tidak bekerja, untuk hari ini dia libur satu hari karena badanya terasa letih katanya. Akupun sebagai istri ingin menyuguhkan dan melayani suamiku. Ku putuskan untuk membuat sup ayam agar mas Satria kembali bersemangat.

"Mau masak apa Wid?"

"Sup ayam Bu."

"Gak usahlah."

"Kenapa Bu?" Tanyaku tak mengerti

"Nanti mbak Soimah datang."

Seketika raut wajahku berubah, entah mengapa aku seakan-akan langsung memasang kewaspadaan. Mengingat mas Satria hari ini tak bekerja. Sungguh, ini membuatku ketakutan. Apa akan ada sesuatu yang terjadi? aku berharap tak akan ada yang mengejutkan tentang rumah tanggaku. berharap penuh tak akan ada yang merusak rumah tangga kami yang baru berjalan tiga tahun ini.

"Kenapa diam?" Ibu sepertinya mengerti dengan raut wajahku,

"Justru kita harus masak dong Bu." tapi aku tetap berusaha bersikap seperti biasanya, mungkin menyembunyikan perasaan buruk ini untuk sementara waktu.

"Gak perlu, mereka akan mengajak kita ke restoran." tapi nyatanya aku semakin terkejut, mengapa mereka tiba-tiba melakukan itu semua? Apa yang akan mereka bahas? mungkinkah hanya kunjungan biasa dan silaturahim? ya Allah , jujur aku tak ingin berburuk sangka seperti ini namun keadaan benar-benar membuatku berpikir demikian. dosakah aku?

"Sudah sana, lebih baik kamu siap-siap." perintahnya

"Mas Satria sudah tau Bu?" tanyaku

"Iya, dia sudah ibu kasih tau semalam. Dia gak kerja kan?"

Aku mengangguk lemah. Entah mengapa sekarang aku mengerti alasan suamiku tak bekerja, bukan letih akan tetapi memilih makan bersama Sinta direstoran. Sungguh aku sakit hati mendengar ini semua, mas Satria mulai membohongiku.

Kakiku melangkah untuk menyusulnya di kamar. Kulihat suamiku masih tidur dengan wajah ditutupi selimut. Kugoyangkan badanya perlahan, menahan isakan.

"Mas.." lirihku, tak tahan dengan semua ini. mengapa suamiku berbohong dan menyembunyikan semuanya hanya demi untuk bertemu dengan mantan kekasihnya?

"Hmmm.." gumamnya.

"Kamu bohong ya?" Sudah tak kuat lagi menutup semuanya. dan berharap pria ku itu jujur

Suamiku itu langsung membuka selimut dan duduk tegak. Sembari mengucek mata.

"Dek." Lirihnya ketika sudah mengumpulkan kesadaran

"Kamu bohong kan?"

"Bukan begitu dek, dengarkan dulu."

"Apa mas?" Air mata sudah menetes, aku tak kuasa menahan rasa kecewa

"Ibu memaksa agar aku ikut, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan." haruskah aku percaya saat semua hanya mengecewakanku, kupikir hubungan.mereka sudah tak ada lagi, dan tak ada kesempatan untuk suamiku untuk menyetujui pertemuan itu.

Bibirku tersenyum meremehkan, "kamu sudah dewasa dan bisa memilih mana yang baik untukmu, untuk rumah tangga kita."

"Dek mas mohon." lirihnya yang semakin membuatku sakit.

"Memohon aja mas, demi Sinta kan?" Cibirku tak.juasa, sungguh aku ini wanita biasa yang juga punya perasaan punbutuh dihargai. apa mas Satria tak melihat kecemburuan yang begitu terlihat di wajah dan mataku?

Mas Satria menarik rambutnya frustasi. "Bukan dek, bukan seperti itu."

"Mas, aku sudah percaya sama kamu. Tapi.." lidahku bahkan tak bisa meneruskan kata-kata. Aku menangis terisak, mas Satria merengkuhku dalam pelukannya.

"Berdoa saja, rumah tangga kita baik-baik saja ya?" ucapannya justru membuatku takut, mengapa suamiku itu justru bersikap pasrah? bukankah aku seharusnya adalah sebuah alasan besar untuknya?

"Memangnya akan terjadi hal buruk mas?" tanyaku

"Mas gak tau." ungkapnya yang membuatku nelangsa. aku semakin terisak, dan dia hanya bisa menarikku dalam dekapan. terus saja bersikap pasrah, sampai aku menyerah dengan keadaan ini.

Keadaan menjadi hening, suara isakan masih nyaring terdengar. Aku tak mengerti maksud dari mas Satria, tapi aku yakin ada sesuatu yang tak baik-baik saja.

___________________________________________________________

"Sudah rapi semua kan?" Ibu mengecek pakaian kami. Beliau nampak begitu rapi dengan rambut yang di sanggul.

"Ya udah ayo." katanya ketika sudah memastikan kami rapi.

Kami berangkat dengan menaiki mobil yang difasilitasi oleh keluarga Sinta. Entah mengapa perasaan curiga terus-menerus menghantui. Aku yakin ada sesuatu yang tak beres. Sedang diperjalanan mas Satria menggenggam tanganku, seakan takut kehilangan. Tuhan, jika memang begini jalanya siapkan aku menghadapi semuanya.

"Nanti disana jangan bikin malu Sat."

"Ibu, memangnya kita ingin apa?" Aku melayangkan pertanyaan

"Ssstt.. jangan banyak tanya nanti kamu akan tahu sendiri." gerutunya, aku langsung terdiam.

"Yang jelas disana banyak jajanan Wid." Bapak menimpali

"Sabar ya dek." Bisik suamiku pelan, kepalaku mengangguk meski firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi nantinya. pasti hatiku terluka, kemungkinan besar akan ada tangisan.

Namun ternyata restoran tersebut tak jauh dari rumah kami. Mobil telah sampai dipelataran restoran tersebut. Kami keluar dan mulai mencari keberadaan Sinta dengan keluarganya.

Ibu melambaikan tangan ketika melihat keluarga Sinta yang sudah duduk di meja VIP.

"Silahkan-silahkan." Mbak Soimah mulai beramah-tamah.

"Terima kasih."

"Menunggu dari tadi ya mbak?"

"Gak kok, ini aja barusan datang."

"Kita pesan dulu ya?" Sinta mengintrupsi dan kamipun mulai memesan beberapa makanan dan minuman yang disediakan restoran.

Sembari menunggu, kami berbincang hal-hal ringan. Terkadang mataku tak sengaja menatap Sinta yang juga sedang menatapku penuh telisik. Ada apa dengan perempuan itu? Sepertinya dia menaruh kecemburuan padaku.

"Wah! Makanan sudah datang." ucap bapak senang.

"Iya."

Saat sesi makan mulai dibuka, mbak Soimah mulai membuka suara.

"Terkait hal ini, selain menyambung silaturahmi kami juga ingin menanyakan ketersediaan Satria untuk bertanggung jawab kepada Sinta putri semata wayang kami."

Deg.. tiba-tiba sendok dalam genggaman jatuh di piring. Mas Satria melihatku dengan rasa bersalah. Air mataku tak bisa terbendung lagi, mereka seakan buta akan kesedihan yang jelas-jelas terlihat di wajah.

Aku hendak melangkah pergi, akan tetapi mas Satria mencekal tanganku.

"Disini aja ya?" Bisiknya pelan.