Yang membuatku semakin terkejut adalah, perjodohan itu yang benar-benar terjadi. Apalagi keadaan Sinta tengah Hamil dan tak tahu siapa ayah dari sibuah hati. Tetapi kenapa harus mas Satria yang bertanggung jawab? Kenapa bukan orang lain dan lelaki yang menghamili Sinta? ini sungguh tak adil.
"Bagaimana Satria apa kamu bersedia?" Mbak Soimah berharap cemas, melihat mas Satria yang masih diam. Aku sudah tak tahan, ingin pergi dari tempat ini. Mas Satria lagi-lagi melirikku, dia masih setia menggenggam jari-jemari ku.
"Aku tidak bisa." Tegasnya, terus terang sedikit membuatku lega. Ya Allah, bantu kami dalam kesulitan ini.
"Satria!" Ibu murka sampai berdiri dari tempat duduknya. Mbak Soimah terkejut, Sinta lebih parah. Mata mereka hampir keluar dan air mukanya berubah marah.
"Aku tidak merasa menghamili Sinta, aku bukan ayah dari anaknya. Lalu kenapa harus aku? Apa kalian tidak lihat disini ada istriku?" Mas Satria bahkan juga ikut berdiri dari tempat duduk, dia mengandeng tanganku memintaku untuk ikut berdiri.
"Widya, kamu mau kan dimadu?" Ibu bertanya, dan sangat berharap aku mengangguk untuk menyetujui hal yang mustahil bagiku.
Kepalaku menggeleng. Matanya langsung melotot. Aku tidak segila dan sebaik itu, bagaimana pun juga aku wanita biasa yang mempunyai rasa cemburu. Tak ingin suamiku terbagi-bagi, hanya aku mas Satria adalah milikku.
"Oke, tidak masalah lagi pula masih banyak yang suka dengan anak saya." Mbak Soimah berdiri dan pergi tanpa berpamitan. Wanita itu menahan amarah dan rasa malu. Aku hanya diam mengamati semuanya, sungguh bolehkah aku senang? Bahwa mas Satria selalu memilihku.
"Mbak, saya akan bujuk Satria agar mau." Ibu mengikuti langkah mbak Soimah yang sedang dalam keadaan marah. Sedangkan mas Satria diajak bapak entah kemana. Hanya aku dan Sinta yang sedang mengamatiku dalam kemurkaan.
Dia mendekat. "Kenapa sih kamu selalu beruntung?, Asal kamu tahu dia itu mantan pacarku." Jari telunjuknya menyentuh pundaku.
Aku tersenyum dan merasa menang.
"Awas kamu ya!" Wanita itu langsung menarik hijab yang menutup kepalaku. Aku terkejut karena jilbabku hampir terlepas dengan cepat kuperbaiki karena tak ingin dilihat oleh beberapa pasang mata yang juga tengah menatap kami. Ya, keadaan sedikit ricuh, membuat mereka penasaran dengan apa yang terjadi. Jujur aku malu, tetapi semuanya telah terjadi. Yang terpenting aku tidaklah melakukan hal yang membuat diriku malu sendiri.
"Mbak, tolong jangan berbuat kasar. Karena sedikitpun saya gak pernah mengasari mbak." Ku putuskan untuk membalas, karena pikirku Sinta sudah kelewat batas. Pasang mata saling berbisik-bisik membicarakan kami
"Dasar sok suci!" Umpatnya lagi
"Istighfar mbak, Allah selalu melihat apapun yang hambanya kerjakan."
"Halah, jangan ceramah disini kamu Widya. Pokoknya kalau mas Satria gak mau nikah sama aku, lihat saja." Ancamnya yang sama sekali tak membuatku takut.
"Apa-apaan ini?" Mas Satria datang dan terkejut melihat kami yang beradu mulut.
"Mas lihat istrimu, dia memperlakukanku dengan kasar." Rengek Sinta
"Istriku tidak seperti itu." Tak selang beberapa menit satpam datang untuk melerai keributan dan keadaan kembali tenang karena Sinta yang ditarik keluar oleh petugas keamanan. Mas Satria juga menariku keluar restoran.
"Dek, maafkan mas ya?" Dia menarikku dalam pelukannya, aku terisak pelan, semuanya terjadi begitu cepat. Aku bahkan tak menyangka jika akan seperti ini.
Kepalaku mengangguk. "semoga kita selalu bersama mas."
"Aamiin."
Kami mengamati sekeliling, sepertinya Sinta dan ibundanya telah pergi.
"Apapun yang terjadi kita harus sama-sama, susah dan senang bersama. Jangan pernah takut asalkan kita berada dijalan Allah dek."
"Iya mas, makasih sudah menjadi pemimpin yang baik untuk adek."
"Mas selalu berusaha untuk itu."
Lalu kami memilih berjalan kaki kembali kerumah, meski aku sedikit enggan tapi mau bagaimana lagi? Hanya disana tempat kami kembali. Mendapati ibu akan marah, biarlah kutelan pahitnya amarah beliau.
_________________________________________________________
Ibu marah sesampainya dirumah, dia membanting apapun yang ada didekatnya. Tentu saja hal itu membuatku takut.
"Satria, kamu ini membuat ibu malu!"
"Bu, apa ibu gak takut dosa?" Mas Satria membalas ucapan ibundanya.
"Aku masih memiliki istri, dan aku tidak ingin menikah lagi dengan wanita yang sama sekali tidak kucintai."
"Kenapa harus cinta? dia orang kaya, hidup kalian bakal enak."
"Untuk apa Bu? Sekarang saja hidup kami sudah enak-enak saja. Bukan uang yang bikin kita bahagia tapi rasa syukur."
Aku hanya terdiam, tak ingin menambah perkara. Meskipun sedih melihat mas Satria yang berdebat dengan ibunya. Aku merasa bersalah jika seperti ini.
"Widya, seandainya saja kamu tidak mandul." ucap beliau menatapku seperti jijik, menohok sekali dadaku terasa nyeri. Tapi bukan keinginanku.
"Ibu!" Hardik mas Satria.
"Kenapa? Istrimu memang mandul, sampai sekarang tidak bisa memberikan keturunan. Untuk apa kamu pertahankan? Kaya juga tidak." Mendengar hinaan itu aku hanya bisa terisak.
"Ibu cukup!" Bentak Mas Satria, suasana rumah menjadi sangat kacau. Pertengkaran hebat benar-benar terjadi.
Aku menangis sejadi-jadinya. Mendapatkan mertua seperti ibu membuatku menangis batin setiap harinya. Tuhan, ujian ini sungguh luar biasa. Meski melihat Mas Satria yang membentak ibundanya membuat hatiku teriris. Akan tetapi ibu mertuaku sudah kelewat batas, dia sangat ikut campur atas masalah rumah tangga kami.
Padahal setiap anak berhak memilih jalan hidupnya seperti apa dan orang tua hanyalah petunjuk jalan jika anaknya salah. Tapi aku merasa ibu tidak demikian, beliau terlalu mengatur dengan apa yang kami inginkan. Ini sulit untuk ku teruskan, tapi Allah membenci sebuah perceraian dan aku masih benar-benar menyayangi suamiku itu. Ya Allah, bantu aku
tapi jika memang ini yang terbaik setidaknya, bukan di madu. aku tak ingin berbagi suami dengan wanita lain, jika karena aku sulit untuk hamil itu juga bukan keinginanku melainkan ujian dari Allah. aku sabar, suamiku pun begitu tapi mengapa mertuaku benar-benar tak paham dengan semuanya? seolah-olah ini adalah kesalahan yang aku buat, padahal jika boleh memilih aku ingin segera mempunyai keturunan dan tak sulit hamil seperti ini.
"Bela saja istrimu itu! Lupakan ibumu ini yang menyusui, mengandungmu sewaktu bayi."
"Bu, Satria tahu tapi ibu juga salah!"
"Widya, kamu benar-benar membuat anak saya durhaka!" Ucapan itu lagi-lagi menyakitiku, mas Satria mendekatiku lalu memelukku dengan erat. Lalu menarikku ke dalam kamar, menutup pintunya secara perlahan.
"Dasar menantu gak tau diri." Teriak beliau, aku menangis mas Satria memelukku.
"Jangan di dengarkan dek, sudah ya ada mas disini. kamu gak perlu takut." ucapnya, aku mengangguk meski rasa takut, kecewa, sedih dan juga hancur bercampur menjadi satu.
"Aku kuat demi kamu Mas, aku harap kamu gak akan pernah kecewakan adek."
"pasti dek, pegang janji mas." katanya, lalu mencium keningku begitu lama. aku berharap kamulah surgaku mas, kamulah pria yang menuntut ku ke Jannah, meski harus melalui kerikil dan luka sayatan di dunia, asalkan di surga bersamamu.