Chereads / APA ITU PERNIKAHAN? / Chapter 5 - 5. Nelangsa

Chapter 5 - 5. Nelangsa

Matahari begitu menyengat, menimbulkan rasa gerah di badan. Panas-panas begini biasanya aku membuat es jeruk untuk menyegarkan dahaga. Untung saja di lemari pendingin masih tersedia beberapa jeruk peras, aku langsung mengeksekusinya.

Cukup mudah membuatnya. Setelah selesai, memilih menikmatinya di teras depan rumah. Kebetulan sekali mertuaku sedang pergi kerumah teman, entah apa yang sedang mereka bahas. Aku bukannya ingin kurang ajar, tetapi jika ada mereka sedikitpun tak bisa leluasa. Ibu mertua yang akan mengoceh jika aku membuat sesuatu, dan bapak yang juga mengomel jika tak kubuatkan. Dipikirnya aku yang tidak peduli, padahal siapa kira mertuaku juga ingin.

Sembari bermain ponsel, mengecek kabar yang ada di media sosial. Ya, hanya sekitaran selebriti tapi siapa yang peduli itu kehidupan mereka. Hidup yang kujalani saja masih begini, terlalu banyak waktu jika harus menguntit hidup mereka. Kuganti berita itu dengan dakwah para ustad di laman berbagi. Di waktu senggang begini, biasa aku mencari dakwah-dakwah dari para ustad, setidaknya untuk menambah pengetahuan tentang agama Islam.

Aktivitas terhenti, mobil sedan berwarna silver memasuki halaman rumah. Aku berdiri untuk menyambut seseorang yang belum kukenal. Betapa tidak, mata serasa ingin keluar dari tempatnya. Sinta dan ibunda tercinta keluar dari dalam mobil yang baru saja memasuki pelataran. Memilih diam dan berusaha bersikap sesopan mungkin.

"Mbak." sapa Sinta, aku mencoba tersenyum walau entah rasanya sulit menyembunyikan rasa cemburu

"Tante Karti ada Mbak?"

"Baru saja keluar." Setidaknya aku berusaha seramah mungkin dengan mereka.

"Padahal kami kesini ingin bertemu Mbak Karti," terang mbak Soimah.

Aku membalasnya dengan tersenyum. "Baru saja pergi, mungkin pulang agak lama Mbak." Menimpali perkataan Mbak Soimah.

"Ya udah kalau begitu, ini buat Mbak Karti." Wanita paruh baya itu menyodorkan kresek warna hitam

"Ini buat Mas Satria ya Mbak." Sekarang giliran Sinta menyodorkan bungkusan dari toko yang terkenal mahal ditempat ini. Tentu saja aku menerimanya dengan lapang

"Apa ini?" tanyaku penasaran

"Mbak lihat saja nanti ya. Kami pamit dulu mbak." kepalaku mengangguk, dan tersenyum kepada mereka. Mengabaikan rasa penasaran dan pikiran buruk, memilih untuk menyimpan bungkusan tersebut didalam rumah. Lalu kembali menikmati es jeruk.

Sebenarnya, tidak masalah jika mereka ingin dekat dengan keluarga kami. Akan tetapi, yang membuatku sedikit tidak nyaman adalah tujuan mereka. Firasatku mengatakan bahwa Sinta masih menyimpan rasa kepada Mas Satria. Ya walaupun, aku tahu persis mas Satria pasti akan menjaga perasaanku.

Hanya bisa berdoa, semoga rumah tangga yang terjalin tiga tahun ini akan baik-baik saja.

___________________________________________________________

"Dari siapa ini Wid?" Ibu berteriak dari arah dapur, aku yang sedang berada di kamar langsung menghampirinya

"Dari Mbak Soimah Bu."

"Wah, mbak Soimah itu baik banget ya?" kepalaku mengangguk

"Mbak Soimah mencari ibu tadi pagi."

"Kalau tau begitu ibu gak pergi."

"Dia gak titip salam?" Lanjut ibu

"Gak Bu," Ibu terlihat begitu sumringah sekali ketika mendapat kue pancake durian dari mbak Soimah. Perempuan paruh baya itu langsung menikmatinya, yang membuatku teriris ibu tak mengajakku untuk makan bersama dan berlenggang ke teras depan. Aku menghela napas, mencoba bersabar dengan ini semua. Jujur saja, rasa penasaran ingin melihat barang apa yang diberikan Sinta untuk Mas Satria.

Tapi lancang kah aku jika melihatnya? Sudahlah lebih baik aku melihatnya saja lagi pula apa yang mas Satria punya adalah apa yang aku miliki juga. Kresek hitam itu sudah kubuka menampilkan sebuah kotak dengan logo toko yang amat terkenal. Ya, kotak sarung dan perlengkapan ibadah.

Aku tertegun, Sinta begitu pedulikah dengan mas Satria? Apa masih ada perasaan diantara mereka?. Jika memang mereka ingin menjalin silaturahmi mengapa hanya Mas Satria, ibu dan bapak yang diberi hadiah? Sedangkan aku?

Tidak.. aku tidak boleh berburuk sangka, karena itu hanya akan membuat jatuh sakit. Mungkin mereka memang ingin menjalin silaturahmi yang sempat terputus. Ya, mungkin saja begitu

Menikah itu ibadah, dalam Islam melayani suami adalah sebuah ibadah, segala sesuatu yang baik asal untuk suami menjadi ibadah. Cukup mudah bila dikatakan namun pada prakteknya menikah butuh kekuatan mental. Menyetabilkan amarah ketika tiba-tiba suami berubah sikap, menghadapi sikap suami yang berbeda ketika semasa berpacaran atau penjajakan. Dan belum lagi masalah finansial yang sering terjadi dalam biduk rumah tangga.

Sebenarnya menikah itu butuh kesiapan. Tapi jangan takut untuk menikah. Ibadah yang menyenangkan dan seru adalah pernikahan. Kadang menangis, terkadang tertawa semuanya nano-nano. Tapi menantang. Allah Maha Baik, memberikanku keluarga seperti mas Satria agar aku sabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan.

Sore ini seperti biasa, Mas Satria sudah pulang dan bahkan selesai mandi. Rambutnya yang mulai gondrong nampak basah meski sudah dilap dengan kain. Dia mendekat ke arahku yang sedang melipat pakaian.

"Dek apa ini?" Mas Satria menenteng bingkisan dari mantannya.

"Buka aja Mas." Perintahku, suami yang selalu kuhormati itu kemudian membukanya

"Wah alas solat, kamu yang beli dek?"

Aku menggeleng, dia nampak kebingungan. "Ibu?" Terkanya

"Bukan Mas, tapi Sinta."

"Sinta?" Ulangnya, aku mengangguk

"Kenapa dia memberikanku seperti ini?" Tentu saja aku tidak tahu apa alasannya. Karena bukan aku yang membeli untuk suamiku.

"Lalu dia memberikanmu apa?"

"Gak ada," jawabku jujur, toh tidak mengharapkan juga. Mas Satria nampak terdiam, memegang dagunya, dan matanya menerawang jauh

"Dulu, aku pernah bercerita dengan Sinta. Kalau aku suka sekali dengan merek sarung ini dan ingin memilikinya dikemudian hari." Suamiku itu tiba-tiba saja mengenang masalalunya bersama Sinta. Tentu saja mendengar kalimat tersebut membuat hatiku berdesir sakit. Bolehkah aku cemburu meski itu hanya masalalu? Apalagi melihat mas Satria yang nampak tersenyum bahagia ketika menceritakan semuanya.

Tugas melipat pakaian sudah selesai, aku tidak ingin menjawab apapun dari sepenggal kisah masalalu suami. Memutuskan untuk berlalu pergi dan menyiapkan makan malam bersama. Ini yang aku katakan kesedihan dalam rumah tangga, siap tidak siap harus bersedia. Karena jika hanya untuk bercinta, berdua-duaan dan selalu bersama dalam suka dan duka sepertinya hanya ada di negeri dongeng. Harus sabar dan dewasa meski terpaksa.

Kuharap mas Satria tidak terlena hanya karena diberi sesuatu yang mahal. Sungguh, jika mas Satria berpikir rumah tangga lebih mahal harganya ketimbang barang-barang itu.

______________________________________________

"Sinta itu baik, dia dari keluarga baik-baik Sat." Itu suara bapak. Boleh aku jujur bapak memang selalu membangga-banggakan orang yang berada dan bahkan sering mendekatkan diri dengan mereka.

"Iya pak." Mas Satria menimpali, sup ayam yang ada di mulut menjadi hambar.

"Jadi jangan abaikan mereka, niat mereka baik cuman ingin silaturahim."

"Iya Bu. Satria juga menyesal mengabaikan mereka." Bagai ditusuk pedang. Nyeri sekali rasanya ulu hati, benarkah ini mas Satria yang kubanggakan?

"Kalau Sinta ingin dekat dengan kita, tidak masalahkan?" Mas Satria meminta pendapatku

"Mas sebenarnya.."

"Gak masalah, kenapa harus menjadi masalah mereka cuman ingin menjadi saudara." Ibu memotong ucapan ku, dalam hati aku hanya bisa mengucap istighfar. Kenapa semuanya berubah seperti ini?

•••••••••••••••••••••••••••••~••••••••••••••••••••••✓

Menikah itu ibadah, dalam Islam melayani suami adalah sebuah ibadah, segala sesuatu yang baik asal untuk suami menjadi ibadah. Cukup mudah bila dikatakan namun pada prakteknya menikah butuh kekuatan mental. Menyetabilkan amarah ketika tiba-tiba suami berubah sikap, menghadapi sikap suami yang berbeda ketika semasa berpacaran atau penjajakan. Dan belum lagi masalah finansial yang sering terjadi dalam biduk rumah tangga.

Sebenarnya menikah itu butuh kesiapan. Tapi jangan takut untuk menikah. Ibadah yang menyenangkan dan seru adalah pernikahan. Kadang menangis, terkadang tertawa semuanya nano-nano. Tapi menantang. Allah Maha Baik, memberikanku keluarga seperti mas Satria agar aku sabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan.

Sore ini seperti biasa, Mas Satria sudah pulang dan bahkan selesai mandi. Rambutnya yang mulai gondrong nampak basah meski sudah dilap dengan kain. Dia mendekat ke arahku yang sedang melipat pakaian.

"Dek apa ini?" Mas Satria menenteng bingkisan dari mantannya.

"Buka aja Mas." Perintahku, suami yang selalu kuhormati itu kemudian membukanya

"Wah alas solat, kamu yang beli dek?"

Aku menggeleng, dia nampak kebingungan. "Ibu?" Terkanya

"Bukan Mas, tapi Sinta."

"Sinta?" Ulangnya, aku mengangguk

"Kenapa dia memberikanku seperti ini?" Tentu saja aku tidak tahu apa alasannya. Karena bukan aku yang membeli untuk suamiku.

"Lalu dia memberikanmu apa?"

"Gak ada," jawabku jujur, toh tidak mengharapkan juga. Mas Satria nampak terdiam, memegang dagunya, dan matanya menerawang jauh

"Dulu, aku pernah bercerita dengan Sinta. Kalau aku suka sekali dengan merek sarung ini dan ingin memilikinya dikemudian hari." Suamiku itu tiba-tiba saja mengenang masalalunya bersama Sinta. Tentu saja mendengar kalimat tersebut membuat hatiku berdesir sakit. Bolehkah aku cemburu meski itu hanya masalalu? Apalagi melihat mas Satria yang nampak tersenyum bahagia ketika menceritakan semuanya.

Tugas melipat pakaian sudah selesai, aku tidak ingin menjawab apapun dari sepenggal kisah masalalu suami. Memutuskan untuk berlalu pergi dan menyiapkan makan malam bersama. Ini yang aku katakan kesedihan dalam rumah tangga, siap tidak siap harus bersedia. Karena jika hanya untuk bercinta, berdua-duaan dan selalu bersama dalam suka dan duka sepertinya hanya ada di negeri dongeng. Harus sabar dan dewasa meski terpaksa.

Kuharap mas Satria tidak terlena hanya karena diberi sesuatu yang mahal. Sungguh, jika mas Satria berpikir rumah tangga lebih mahal harganya ketimbang barang-barang itu.

______________________________________________

"Sinta itu baik, dia dari keluarga baik-baik Sat." Itu suara bapak. Boleh aku jujur bapak memang selalu membangga-banggakan orang yang berada dan bahkan sering mendekatkan diri dengan mereka.

"Iya pak." Mas Satria menimpali, sup ayam yang ada di mulut menjadi hambar.

"Jadi jangan abaikan mereka, niat mereka baik cuman ingin silaturahim."

"Iya Bu. Satria juga menyesal mengabaikan mereka." Bagai ditusuk pedang. Nyeri sekali rasanya ulu hati, benarkah ini mas Satria yang kubanggakan?

"Kalau Sinta ingin dekat dengan kita, tidak masalahkan?" Mas Satria meminta pendapatku

"Mas sebenarnya.."

"Gak masalah, kenapa harus menjadi masalah mereka cuman ingin menjadi saudara." Ibu memotong ucapan ku, dalam hati aku hanya bisa mengucap istighfar. Kenapa semuanya berubah seperti ini?