Setiap hari Sabtu, Sinta dan ibunya mendatangi rumah kami dan membawakan sesuatu. Entah itu makanan, minuman, barang-barang dan lain sebagainya. Tentu saja dengan kehadiran mereka membuatku sedikit tak nyaman. Masalahnya mereka seperti sedang menjodohkan Mas Satria dengan Sinta. Rasanya seperti tidak mungkin, namun dari gelagat mereka bisa terlihat jelas. Seringnya membahas masalalu Sinta dan mas Satria membuatku semakin menciut. Apalagi keduanya juga meladeni.
Malam ini aku ingin berbicara empat mata dengan suamiku. Meminta kejelasan dan keputusan yang harus diambil. Menurutku ini sudah tidak benar, dan akan semakin menjadi-jadi apabila aku membisu.
"Ada apa dek?" Meski begitu, Mas Satria tetap berperilaku lembut terhadapku seolah-olah tak melakukan sebuah kesalahan
"Jelaskan mas."
"Jelaskan apa?" Alisnya terangkat, aku memanyunkan bibir
"Kamu masih sayang sama Sinta kan?"
Mas Satria justru tertawa, lalu mengelus puncak kepala. "Lucu kamu."
"Mas aku serius!, Semenjak Sinta memberikanmu perlengkapan sholat, kalian jadi semakin dekat."
"Ada-ada saja kamu ini," katanya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah gak ada perasaan dengan dia."
Laki-laki sulit dipercaya ucapannya, lalu bagaimana aku harus percaya jika bukti-bukti sudah kupegang. Mulai dari mas Satria yang antusias sekali jika membahas Sinta dan mereka yang ahkir-ahkir ini sering dekat. Aku sebagai istri tak terima dengan apa yang suamiku lakukan, itu adalah perbuatan tak baik.
"Mas, kamu masih ingatkan kalau dalam rumah tangga harus jujur? Jika pemimpinnya saja tidak peduli maka akan jadi apa rumah tangga ini."
"Iya, Mas ingat kok. Aku juga seneng kamu cemburu sama Mas tapi jangan berlebihan ya." Dia menjawil ujung hidungku
"Aku gak suka kalau mas dekat-dekat dengan Sinta, kalian bukan muhrim mas."
Mas Satria mengangguk. "Iya mas tau kok, aku juga jaga pandangan ketika berbicara dengannya."
"Tapi Mas janji, mulai besok akan menjauh dari Sinta. Tapi ada syaratnya."
"Syarat?" kataku ulang, mas Satria mengangguk sembari tersenyum manis
"Apa syaratnya?"
"Cium dulu dong, dari pulang kerja sampai mau tidur gak dicium nih sama istri." Mas Satria memajukan wajahnya, membuatku tersenyum dan terkikik geli melihat tingkahnya.
"Mas Satria ih.."
"Loh kok ih sih?"
"Paling bisa kamu."
"Iya dong, jadi mau gak nih?. Kalau gak mau ya udah besok masih deket-deket sama Sinta ah."
Aku melotot mendengarnya, lalu memberikan cubitan di perut membuatnya mengaduh.
"Ampun dek, ampun.." Teriaknya, aku merasa menang.
Sampai pada ahkirnya posisiku berada dibawahnya dan mas Satria mengkungkungku diantara tubuhnya.
"Mau lari kemana kamu?"
"Mas..."
"Cium dulu, baru dilepasin."
"Iya, iya." Dan begitulah seterusnya.
Kini aku mengerti bahwa emosi dan rasa kekhawatiran serta cemas yang berlebihan harus dilawan dengan rasa sabar dan ketenangan. Mungkin aku terlalu cemas dan takut akan kehilangan suamiku sampai-sampai merasa tidak percaya dengannya. Padahal seharusnya aku menumbuhkan keyakinan ku bersama mas Satria agar rumah tangga kami selalu bahagia.
Dan dengan hati yang tenang sebuah masalah justru dihadapi dan terselesaikan melalui canda tawa yang ada kami semakin dekat. Allhamdulillah ya Allah, caramu begitu luar biasa.
___________________________________________________________
Hari ini mas Satria libur dan dia berinisiatif mengajakku untuk berbelanja di pusat perbelanjaan mengingat aku yang jarang kesana. Tentu saja hal itu membuatku kegirangan, senang bukan kepalang.
"Mas tunggu diluar ya dek?" Kepalaku mengangguk dan melanjutkan merias diri.
Suami yang begitu pengertian, mas Satria bahkan bisa menerima segala kekuranganku dan Allah menghadirkannya dalam hidupku agar aku lebih bahagia lagi. Setelah selesai merias diri, kuputuskan untuk menyusul mas Satria.
"Mau kemana Sat?"
"Ke Mall Bu, mau belikan baju Widya."
"Loh ibumu gak diajak Sat?" Bapak menimpali
"Nanti Satria bawakan oleh-oleh saja ya?"
"Ya sudah, jangan boros-boros. Beras dirumah sudah habis."
"Dari kecil ibu rawat gedenya malah nyenengin anak orang." Meski ibu menggerutu, aku tetap bisa mendengar suaranya di ruang tamu. Sengaja berhenti sebentar untuk mendengarkan apa yang mereka katakan.
"Bukan begitu Bu. Uang Satria juga gak cukup kalau harus ikut semua."
"Ya, ibu ngerti." Ketus ibu.
Tak sadar air mataku menetes, mendengar semuanya membuat kebahagiaan sirna. Namun tiba-tiba saja mas Satria menyusul ku
"Dek?"
"Kenapa menangis?" Tanyanya
"Gak apa-apa mas."
"Jangan dengerin omongan ibu ya?, Kamu kesayangannya mas. Cuma kamu semangat mas." Pria tersebut mengelus puncak rambutku lalu berganti mengelap air mata di pipi
"Ayo."
"Terima kasih mas."
"Susah seneng kita harus sama-sama ya dek?, Mas janji akan melindungi kamu dari apapun."
"Adek juga janji mas, akan selalu berusaha menjadi istri yang Sholeha."
"Aamiiin."
___________________________________√
"Dari mana Wid?" sontak kepalaku menoleh, tersenyum kearah tetangga yang memanggil
"Dari warung Mbak, beli sabun mandi."
"Sini mampir dulu cerita-cerita." aku tersenyum
"Lain kali ya mbak, belum cuci baju ini."
"Ya sudah."
Kakiku melangkah pergi namun sayup-sayup terdengar suara mereka sedang membicarakan ku. Dari yang mengatakan aku jarang kumpul-kumpul dan keluar rumah serta berahkir menggosipku yang belum hamil jua.
Semua itu ada alasannya, aku benar-benar tidak suka untuk berkumpul hanya membicarakan keburukan orang lain. Gibah dalam Islam sendiri dilarang dan aku juga tak ingin menjadi wanita penggibah. Bagaimana nasib suamiku yang mempunyai istri tak dapat menjaga mulutnya?. Aku tidak tega menceritakannya orang lain sementara aku sendiri masih buruk.
Akan tetapi itu hak mereka untuk mengomentari, tugasku hanyalah menjadi manusia yang baik. Sejak dulu aku selalu belajar seni untuk bersikap bodo amat. Tak ingin memusingkan omongan orang-orang. Karena sampai kapanpun dan di manapun manusia akan senantiasa menjadi bahan pertimbangan manusia yang lain.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar, untuk menyimpan uang kembalian.
"Widya.." itu teriakan ibu
"Ada apa Bu?"
"Cuci dulu bajunya. Ibu mau pergi kerumah mbak Soimah, anaknya sakit."
"Sinta Bu?"
"Iya, oh ya. Suruh Satria nanti jemput ibu ya?"
"Iya Bu."
Ibu pergi, meninggalkan kekhawatiran dibenakku. Sepertinya mereka memang bertekad menjodohkan Sinta dengan mas Satria. Meskipun suamiku menolak tidak bisa dipungkiri merek akan kembali karena desakan-desakan yang sering terjadi. Entahlah hanya Allah yang tahu ahkirnya.
Jujur aku juga ingin menjenguk Sinta, akan tetapi jika aku kesana akankah mereka menerima kedatanganku? Mengingat mereka sedikit memasang jarak denganku. Ku putuskan untuk tidak memikirkan hal itu dan fokus untuk mencuci pakaian yang kotor.
__________________________________________________
"Mas, ibu di rumahnya Sinta."
"Terus?"
"Ibu bilang kamu harus jemput."
Mas Satria menggeleng. "Mas sudah janjikan sama kamu?"
Aku terdiam, memang benar malam itu mas Satria sudah berjanji denganku.
"Iya mas."
"Mas gak mau bikin kamu kecewa. Lebih baik mas suruh Tejo aja ya?"
"Tejo gak keberatan mas?"
"Mas tanya dulu."
Tejo adalah tetangga sebelah, dia masih remaja tapi suka membantu kami sering menganggapnya adik sendiri.
"Bagaimana mas?"
"Dia mau."
Syukurlah, perasaanku sedikit lega mendengarnya. Apalagi tahu jika mas Satria tidak akan bertemu dengan Sinta aku merasa aman.
"Kamu deg-degan ya?"
"Hah?" Kepalaku mendongak, menatap mas satria
"Kamu takut kan kalau mas ketemu Sinta?"
"Gak." jawabku dusta
"Bodong kamu.."
"Bodong apaan sih mas."
"Ayo ngaku!" Mas Satria mendekat ke arahku yang sedang duduk diruang tamu
"Hmmm." jawabku enggan mengakui
"Cie istriku cemburu."
"Mas ih." aku memukul lengannya pelan, malu dibuathy
"Kalau suami istri seperti kita cemburu itu ibadah asalkan masih batas wajar." terang mas Satria
"Gitu ya mas?"
"Iya dong."
"Tapi mas janji gak akan pernah buat kamu cemburu, buat kamu menangis karena adanya wanita lain. Mas pengen cuman kamu satu-satunya dek, mas gak mau nyakitin kamu. Meski kita gak pernah kenal dekat awalnya tapi mas yakin kamu bidadari surgaku."
Aku memeluknya, dibuai oleh ucapannya yang begitu tulus. Ya, meski kami kenal tidak begitu lama tapi entah mengapa kami saling yakin bahwa cinta dan rumah tangga tidak akan ada yang bisa menggoyahkan.