Chereads / APA ITU PERNIKAHAN? / Chapter 3 - 3. I'M Sorry

Chapter 3 - 3. I'M Sorry

Pagi-pagi buta, aku sudah melihat Ibu mertuaku memasak di dapur. Hal itu tentu membuatku penasaran, akan yang sedang di kerjakannya. Melirik sekilas, lalu ku coba mendekat dan membantu kesibukan beliau.

"Buat apa Bu?"

"Kamu bikin kaget saja!" Katanya sedikit marah, beliau sedikit tersentak. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya

"Ibu mau buat Onde-onde." Jelasnya sembari menguleni adonan.

"Untuk apa Bu?" Tanyaku penasaran, setahuku ibu mertuaku itu tak pernah rajin seperti ini. Biasanya, jika ada acara kecil-kecillan, beliau akan memesan makanan dari tetangga atau paling tidak membuatnya di siang hari

"Untuk arisan, teman-teman Ibu datang semua. Ada Mbak Soimah juga ajak anaknya." Ibu nampak begitu antusias menjelaskan tentang Mbak Soimah yang tak kukenal

"Jadi Ibu ada arisan hari ini?" Tanyaku yang tak tahu menahu. Karena biasanya jika ada acara apapun yang akan di adakan dirumah, Ibu pasti memberitahuku sebelum hari itu juga.

"Iya, kamu bantu beres-beres sana."

"Nanti ya Bu, Widya mau menyiapkan sarapan buat Mas Satria dulu."

"Halah.. sebentar saja!" Paksa ibu mertuaku. Tak ingin membuat keributan akhirnya aku menurut saja dan mulai merapikan ruang tamu, ruang tengah dan juga halaman depan.

Ini adalah pertama kalinya ibu mertuaku mengadakan arisan di rumah. Sebelumnya, beliau hanya menghadiri acara di rumah teman-temannya. Sekarang aku mengerti, mengapa saat itu beliau meminta uang lebih pada Mas Satria. Jujur, aku sedih melihat ini semua. suamiku yang susah payah mencari nafkah hanya untuk berfoya-foya. Ibu bahkan tak peduli beras dirumah yang hanya tinggal dua liter tak cukup untuk besok. Namun tak bisa kupingkiri, bahwa tugas kami termasuk Mas Satria ialah berbakti kepada kedua orang tuanya dan aku sebagai istri harus bersedia membantu.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas dan bersabar. Aku selalu percaya bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya yang sabar. Suatu saat pasti Allah akan ganti semua dengan kebahagiaan. Jika bukan di dunia mungkin di surga-Nya Allah.

Tak terasa waktu telah menunjukan pukul setengah enam pagi. Setelah selesai menyapu halaman depan yang kebetulan dedaunan dari pohon Mangga berserakan di terpa angin dan hujan semalam. Aku langsung membangunkan Mas Satria, padahal aku belum sempat membuatkannya sarapan pagi.

"Mas.." mencoba membangunkannya dengan menggoyangkan lengannya

"Sudah pagi." Bisikku di telinga. Mas Satria merespon lalu perlahan membuka mata

"Jam berapa Dek?"

"Setengah enam. Kamu bangun ya?"

Mas Satria merubah posisinya menjadi duduk. Ia mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu.

"Teh atau kopi Mas?"

"Teh aja."

"Ya udah. Aku bikinin dulu, kamu cuci muka gih." Perintahku sebelum pergi. Mas Satria langsung menuruti.

Kakiku kembali menuju dapur, melihat ibu mertua yang masih sibuk.

"Belum jadi Bu?"

"Gak jadi. Malah kayak gini." Beliau menunjukkan sepiring onde-onde dengan bentuk yang sedikit aneh. Ibu mertuaku itu memang tak begitu bisa dalam membuat jajanan. Aku memaklumi itu semua namun ku coba untuk mencicipi rasanya.

"Enak kok Bu." Kataku jujur, meski tak sama dengan yang di jual di warung-warung.

"Yang bener kamu?" Ibu mertuaku sedikit tak percaya, namun tetap mencoba buatannya

"Enak sih, cuman Ibu malu bentuknya kayak gini." Ungkap beliau setelah mengunyah Onde-onde tersebut

"Bentuknya gak begitu aneh Bu. Cuman beberapa aja yang gak bulat. Ini di kasih gula halus udah cantik."

Beliau menggeleng tetap pada pendiriannya. "Ibu gak mau teman-teman Ibu nyeritain nanti. Kamu mending belikan Ibu kue Putu 20 ribu sama kue bolu kukus 20 ribu di Mbak Rumiah." Perintahnya.

Aku terkejut, dengan apa yang dikatakan beliau. Kue Onde-onde buatannya cukup enak dan pantas untuk di berikan pada teman-temannya. Tapi, lagi-lagi aku tidak bisa menolak beliau cukup keras kepala. Ahkirnya aku mengangguk, meski itu terdengar boros.

"Pake uangmu dulu ya."

Dengan pasrah aku tetap menuruti kemauannya. Dalam perjalanan, aku hanya bisa berdoa semoga orang-orang di dekatku memberikan pengaruh yang positif untukku. Allah menghadirkan mereka karena mungkin selama ini aku yang kurang sabar, Allah menjadikan mereka sebagai orang yang dekat denganku supaya aku kuat. Tidak patut untuk bersedih, karena esok hari bisa jadi lebih baik. Tidak boleh putus asa karena ini hadiah dari Allah dan aku adalah orang yang beruntung.

___________________________________________________________

"Banyak banget to Wid?" Tanya Mbak Rumiah tangannya dengan cekatan membungkus kue-kue yang kubeli

"Iya Mbak."

"Acara apa?"

"Ibu mau adakan arisan."

"Oalah, tak kirain acara syukuran."

Mataku menyipit, pikiranku bertanya-tanya. "Syukuran apa Mbak?"

"Kamu hamil."

"Hamil?"

Mbak Rumiah mengangguk. "Tak kirain kamu hamil, terus ngadain syukuran."

Aku tersenyum tipis. Lagi-lagi hal itu yang membuat moodku menjadi berantakan. Namun, aku harus bersabar mungkin mereka hanya ingin tahu kabar rumah tanggaku saat ini.

"Belum dikasih rejeki Mbak."

"Usaha Wid. Suamimu suruh minum Telur sama Kemiri."

"Iya Mbak. Ini sudah?" Tunjukku pada kantong kresek, Mbak Rumiah mengangguk.

"Kalau begitu saya pulang dulu Mbak." Ucapku setelah membayar.

Aku sedih, bahkan tidak percaya diri saat harus keluar rumah. Apalagi jika sudah bertemu dengan ibu-ibu yang selalu ingin tahu rumah tanggaku. Tak bisa kupungkiri, hal tersebut membuat perasaanku hancur lebur. Tapi aku tak bisa berbuat lebih selain menutup kedua telinga. Berdoa agar Allah mengganti kesedihanku dengan kebahagiaan di kemudian hari.

••••••••••••••••••••••••••••••••••√

Saat kembali kerumah, aku sudah melihat Mas Satria duduk di ruang tamu sembari menikmati teh hangat. Merasa bersalah karena tak menyiapkan teh hangat untuknya. Aku mencoba menghampirinya.

"Udah bangun Mas. Siapa yang bikinin Teh?" Tanyaku, lalu mengambil posisi duduk disampingnya

"Aku sendiri dek. Kamu dari mana?" Tanyanya sembari beralih melihat kantong kresek yang ku bawa

"Dari warung Mbak Rumiah, ibu nyuruh aku buat beli kue."

"Untuk apa?" Mas Satria kebingungan sekaligus penasaran

"Ibu mau ngadain arisan di rumah."

"Arisan?" Aku mengangguk. "Ibu ada-ada saja, terus ibu kemana?"

"Loh, bukannya ibu tadi di dapur?"

"Gak ada." Jawabnya setelah menyeruput teh hangat.

"Mungkin ibu lagi mandi." Sambung Mas Satria.

"Aku tinggal ya Mas, mau nyiapin ini dulu sambil buatin kamu sarapan."

"Gak perlu dek. Kamu pasti kerepotan, Mas makan di sana saja nanti."

Aku tersenyum. "Ya udah kalau gitu."

"Gak apa-apa kan?" Tanyanya, tangan Mas Satria mengelus kepalaku, aku mengangguk. Setelah itu pergi ke dapur menyiapkan kue-kue yang telah ku beli. Mas Satria selalu menghormati masakanku. padahal sebenarnya di tempat kerja selalu di suguhkan dengan makanan namun suamiku itu memilih sarapan dirumah kecuali pagi ini.

Sebenarnya, aku ingin menceritakan tentang ibu yang begitu boros. Namun sepertinya pagi ini bukanlah waktu yang tepat. Mas Satria pasti tetap akan membela ibunya dan menyuruhku untuk bersikap maklum. Aku hanya bisa menghela napas, suatu saat aku akan terbiasa dengan semuanya.

__________________________________________________________

"Ada?"

"Ada Bu." Aku menunjuk piring-piring yang telah tersusun rapi dengan kue yang di pesan ibu

"Kamu bikin minumannya ya?, Ibu mau siap-siap sebentar lagi mereka datang."

"Iya Bu."

Beliau melangkah pergi. Namun semenit kemudian berbalik menyusul ku.

"Jangan manis-manis minumannya." Tegur beliau, aku mengangguk dengan sopan.

Menjadi seorang menantu harus rajin dan gesit, selain itu harus ekstra sabar dalam menghadapi mertua. Betapa untungnya bagi mereka yang memiliki mertua baik nan pengertian serta menyayangi menantunya seperti anak sendiri. Kadang, aku hanya membayangkan saja. Seandainya ibu dari Mas Satria seperti itu padaku mungkin selama menikah aku tak menyimpan beban pikiran yang begitu berat.

Jujur, merawat kedua orang tua yang sudah renta dengan watak yang berbeda membuatku senewen. Aku yang, lahir di era modernisasi harus mengikuti aturan orang zaman dulu sedikit membuatku terkejut. Namun kulakukan semua demi suamiku. Orang bilang, jika cinta dengan orangnya berarti harus cinta dengan keluarganya.

Sebenarnya hal itu yang membuatku kesulitan. Kedua mertuaku tak sama pemikirannya dengan keluargaku sendiri. Mereka perhitungan dan banyak aturan. Beda dengan keluargaku yang santai dan moderenisasi. Aku tak bisa melakukan apapun, hanya mengikuti aturan mereka entah hingga kapan.

Sampai saat ini, kesabaran yang ku punya terus ku pupuk. Entah aku tidak tahu, apakah aku memiliki batas kesabaran atau justru akan terus bersabar dan mengalah seperti ini.