Chereads / Pelangi dihidup Bara / Chapter 7 - Kepindahan Pelangi

Chapter 7 - Kepindahan Pelangi

Sebenarnya Serly malas sekali untuk mengabulkan keinginan Pelangi. Namun, mungkin ini adalah pertemuan terakhir untuk Pelangi dan juga Aranya. 

"Baiklah, kali ini aku akan mengabulkan permintaanmu." ucap Serly dengan begitu angkuhnya sambil melipat kedua tangannya.

"Terimakasih, tan." hanya itu kata yang mampu Pelangi ucapkan. Dia begitu bahagia namun tetap saja kecemasan selalu mengiringi langkah hidupnya. Mungkin ini kali terakhir dia akan bertemu dengan sang ibu. Ibu yang sedari dulu menjadi penyemangat dalam hidupnya. Ibu yang selalu menjadi motivasi hidupnya akan terus bertahan dan berjuang demi kebahagiaan keduanya 

Pelangi dan Serly kini dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Jiwa Permata, tempat dimana Aranya di rawat. Serly terpaksa harus memisahkan keduanya demi keinginan sang ibu. Awalnya Serly begitu baik, tidak ada kekejaman dalam hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu entah apa yang membuat dirinya begitu menikmati perannya dalam menyakiti ibu dan anak itu. 

****

"Oma.., bagaimana keadaan Papa?" tanya Raino membuyarkan lamunan Meli.

"Eh, cucu kesayangan Oma udah pulang?" tanya Meli sambil memeluk cucunya. 

"Udah dong, oma. Gimana keadaan Papa? apa ada kemajuan? bahkan Papa aja gak kenal denganku." lirih Raino sambil menundukkan wajahnya berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Bukan Raino tidak berani menatap wanita paruh baya yang kini ada di hadapannya. Namun, dirinya hanya menyembunyikan wajah sedihnya di hadapan ibu dari ayahnya itu. 

"Kamu yang sabar ya sayang.., oma yakin. Papa kamu akan segera siuman." ucap Meli memberikan semangat, agar Reino mampu bertahan dan menunggu hingga hari bahagia itu tiba.

"Tapi, sampai kapan oma? usiaku sudah 16 tahun, dan papa bahkan tidak mengenalku." Reino tidak mampu membendung hatinya yang sudah lelah dengan semua yang terjadi, bukan tidam sabar menantikan kesembuhan sang ayah. Namun, 16 tahun sudah Aditya di rawat dengan segala peralatan yang terpasang di tubuhnya. Bahkan pihak rumah sakit saja sudah memberikan keputusan agar, pihak keluarga dapat mengikhlaskan. Tapi, Meli yakin bahwa Aditya akan kembali sadar dan hidup normal kembali, walau Meli tidak tahu kapan waktunya itu. Yang ia tahu, dia harus bersabar hingga saat itu tiba. 

Raino kembali mengambil tas yang tadinya sudah ia letakkan di sofa. Pergi mungkin pilihan yang tepat saat ini, dirinya butuh waktu sendiri, untuk menenangkan pikirannya. Bukan tidak sayang. Namun, begitu pahit kenyataan yabg harus dirinya jalani. Raino sedari kecil sudah habis di bully sama teman-temannya. Bahkan, dirinya tidak memiliki teman, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Ibu yang dia tahu pergi menghadap sang ilahi saat melahirkannya, sementara sang ayah di dalam perjalanan ke rumah sakit mengalami kecelakaan dan menjadi koma hingga saat ini. Raino tidak memiliki kenangan apapun dengan keluarganya. Disaat anak seusia dia dapat bermain dengan ayah dan ibunya. Raino justru tidak mendapatkan hal itu. Raini ingin merasakan dekapan hangat dari ayahnya, menanyakan tentangnya sepulang sekolah, merasakan kasih sayang orang tua. Tapi, tidak sedikitpun mampu ia dapatkan. 

Kali ini Raino sudah berada di bawah pohon rindang, di tepi danau. Sesekali ia melempar batu kecil ke arah danau, berusaha melepaskan kekesalannya. Hampa pasti, namun kenyataan hidup tidak sesuai harapannya. Memiliki harta berlimpah dan apapun sanggup untuk dia miliki, namun sulit sekali memdapatkan kehangatan keluarga, andai kasih sayang bisa di beli, berapapun harganya pasti Raino akan membelinya, meski ia harus mengorbankan seluruh hartanya. 

"Aaaaaa....." teriak Raino sambil melempar batu ke arah danau dengan begitu kuatnya. Melepaskan segala kepenatan hatinya. 

"Kenapa, pa? kenapa papa melakukan ini padaku, aku gak butuh uang papa, yang aku butuh papa sembuh, papa mengenalku dan aku ingin sekali merasakan di peluk papa." teriaknya, tidak peduli jika ada orang yang mendengarnya. Yang Raino tahu, saat ini ia hanya ingin membuang segala beban hatinya yang begitu menyiksa.

***

"Mama apa kabar?" tanya Pelangi, sambil mendekap erat Aranya. Aranya hanya diam, namun tidak memberontak sama sekali, Pelangi melepaskan pelukannya menuntun sang ibu ke bangku taman yang memang di sediakan untuk pasien agar dapat menghirup udara segar.

"Ma, maafkan Pelangi ya? Jika nanti Pelangi gak bisa lagi mengunjungi mama disini." jelas Pelangi tentunya dengan air mata yang sudah tumpah. Meski Pelangi menyekanya namun sulit sekali untuk membendungnya. 

"Pelangi janji, ma. Pelangi akan jemput mama, mama yang sabar dan harus sembuh di sini. Biar kita bisa hidup bersama dan bahagia, ma. tante Serly akan membawa Pelangi pindah, meski Pelangi menolak, tetap saja dia membawa Pelangi. Mama harus kuat dan bersabar, hingga Pelangi datang kembali kesini dan menjemput mama ya," curahan hati Pelangi membuat Aranya menitikkan air mata, meski ia tidak mengetahui apa arti dari ucapan Pelangi, namun melihat Pelangi menangis, membuat Aranya terenyuh dan ikut dalam suasana kesedihan ini. Dari kejauhan Serly sudah memberikan kode, bahwa waktunya sudah habis. Pelangi mengerti akan hal itu. 

"Ma, Pelangi pergi ya? Doakan Pelangi, agar bisa kembali dan menjemput mama." pamit Pelangi sambil memungut tangan Aranya kemudian ia berikan kecupan hangat di punggung tangan sang ibu yang sudah berjuang melahirkannya. Tidak lupa ia juga mengecup kening Aranya dan berakhir dengan pelukan hangat yang di berikan Pelangi untuk ibunya tercinta. Meski Aranya tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun dirinya merasa sangat teduh jika berada di dekat Pelangi. 

Langkah kaki Pelangi begitu berat, meninggalkan sang ibu sendirian di kota ini. Tapi, Pelangi yakin jika di tempat ini Aranya akan mendapatkan perawatan yang baik, berbeda saat di rumah bersama dengan Serly yang tidak pernah peduli dengannya. Pelangi menyeka air matanya, tidak ingin melihatkan wajah cemasnya pada sang tante yang sudah begitu kejam memisahkannya dengan ibunya. 

Didalam perjalanan Pelangi tidak sengaja melihat seorang lelaki tengah berdiri di pinggir danau. Tidak terdengar apapun yang dirinya ucapkan, namun Pelangi cukup tahu jika seseorang itu tengah meluapkan emosinya. "Aku pikir, hanya aku saja yang begitu menderita, ternyata ada orang lain yang merasakannya juga," batin Pelangi. 

"Disini kau akan ku berikan kamar yang layak, namun kau harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karna aku tidak akan memakai asisten rumah tangga disini." titah Serly membuat Pelangi mengangguk namun tidak mengeluarjan sepatah katapun. Saat keduanya sudah sampai di tempat tinggal mereka yang baru. 

Pelangi memperhatikan tempat tinggal barunya. Rumah minimalis yang di tata begitu bagus. Ada halaman yang luas di penuhi dengan berbagai bunga yang indah. Namun, kali ini mereka tidak tinggal di lingkungan komplek melainkan di sebuah rumah pribadi yang terletak di tengah kota. Dengan di kelilingi tembok pembatas dan pagar yang begitu tinggi. Hanya ada security sebagai petugas keamanan dirumah, untuk berjaga-jaga.

"Apa aku sanggup bertahan tanpa, mama?" batin Pelangi