Queen si angora cantik belang tiga, mengikuti panggilan Carol pemiliknya dan begitu Queen duduk, aku pun didudukkan bersama Queen.
"Lihatlah, mereka cocokkan, Jo?"
Jo memperhatikan Queen dan aku yang duduk bersama. "Tapi kenapa yang jantan sama besar badannya dengan Queen? Selain itu kenapa matanya merah? Apa dia sakit mata?!"
"Ow... ayolah Jo. Masa kamu tidak tahu tentang hewan albino?! Kucing albino terhitung langka! Tubuhnya sama besar dengan Queen, itu karena dia kucing lokal."
Jo mendekati kami, kembali mengangkat tubuhku dan menghadapkan wajahku ke hadapannya langsung. Kami saling menatap. "Mata yang unik! Pupilnya berwarna merah dan irisnya putih!"
"Ya, karena itulah aku mau menjodohkan Shiro dengan Queen! Aku mau punya yang campuran seperti Shiro dan Queen!"
Hari itu setelah bermain di rumah Carol bersama Queen, Jo dan Carol tentunya, aku pun pulang ke apartemen Karin. Sesampainya di tempatnya, Karin terus menanyaiku ke mana aku pergi sampai berjam-jam lamanya. Sepertinya dia cemburu kucingnya menemukan human baru yang lebih menyayanginya dan takut kehilangan kasih sayang dari Shiro.
Karin menggendongku ke ruang keluarga dan ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa beserta diriku dalam pelukannya.
Aku melepaskan diri dan duduk di atas meja. "Aku hanya ke rumah Queen. Apa yang kamu cemburukan?"
"Aku takut si pirang Carol akan merayumu untuk tinggal bersamanya, karena dia memiliki Queen. Queen itu kekasihnya Shiro asal kamu tahu!"
"Aku tahu. Tadi Carol sudah mengatakannya kepada adiknya Jo." Jawabku tidak peduli lagi rengekkan manusia manja yang takut kehilangan kasih sayang dari seekor kucing yang ia anggap sebagai anaknya.
"Jo ada di rumahnya?"
"Ya. Dia adiknya kan?"
"Ya. Dia sekolah di asrama, jadi jarang pulang."
"Kamu tahu, tadi saat Carol menggendongku, aku mencium sesuatu darinya."
"Mencium sesuatu? Kamu menciumnya?!"
Aku menatap Karin dengan sedikit kesal. "Kamu cemburu?!"
"Tentu saja! Sejak kamu merasuki tubuh anakku, Shiro tak pernah lagi menciumku! Shiro biasanya mencium pipi dan dahiku!"
"Tapi aku bukan mencium seperti itu!"
"Terus?!"
"Sebagai seekor kucing, aku tentunya merasakan insting kucing juga. Aku mencium bau obat-obatan dan sesuatu yang lainnya. Aku tak belum begitu paham, tapi seolah bau rumah sakit! Apa dia punya penyakit atau sesuatu yang mengharuskan dirinya meminum obat?!"
Karin mengangguk pelan. "Ya, dia pernah operasi jantung ketika remaja katanya."
"Tapi bau obatnya sangat kuat!"
Karin tampak memikirkan Carol setelah mendengar perkataanku. Apa dia jadi mengkhawatirkan Carol? Mungkin saja. Bagaimana pun Carol adalah temannya dan sesama cat lover.
***
Esok harinya.
Aku mengikuti Karin ke dapur untuk melihat prosesnya dalam memasak. Ia memberiku sebuah kursi agar aku bisa melihat apa yang sedang dikerjakan olehnya di atas meja dapur.
"Kalau Shiro biasanya akan tiduran selama menunggu aku memasak untuknya. Tapi kenapa kamu tidak tiduran? Kamu kan masih kucing yang sama?"
"Aku bosan hanya tiduran walaupun seekor kucing!"
"Seriuskah itu?" ia tertawa mendengar jawabanku.
"Terserah."
Karin lalu diam ketika ia sedang memotong ayam mentah karena takut terkena pisau jika asik berbicara. Akupun ikut diam, tidak ingin membuat Karin sampai kehilangan konsentrasi lalu melukai tangannya sendiri.
Setelah memotong ayam, Karin membagi dua ayam itu. Bagian pertama langsung ia rebus bersama irisan wortel dan potongan tempe, sementara bagian yang lain ia beri bumbu yang baunya sedap begitu di rebus.
"Kenapa yang pertama tak diberi bumbu dan yang ke dua diberi bumbu?" tanyaku karena melihat semua proses itu dari atas kursi.
Karin melihatku dengan tertawa kecil. "Yang pertama itu buat kamu. Biar bulu kamu tidak mudah rontok, tak perlu campuran apa-apa. Akan tetap enak sama insting kucingmu! Yang ke dua itu, ya buat aku tentunya! Hehehe..."
"Oh ya? Tapi awas saja kalau sampai tidak enak, ayam punyamu yang akan aku makan!"
"Oh... ya, ampun... aku diancam seekor kucing! Seram... Hehehe..." Karin membuat ekspresi menyebalkan ketika mengatakan hal itu untuk mengejekku yang kini hanya seekor kucing.
Begitu rebusan ayam yang katanya untukku itu masak, Karin segera mengangkat dan dengan sengaja membawa ayam yang baru ia angkat dalam mangkuk itu tepat ke arahku. Dengan maksud agar aku dapat mencium bau ayam rebus tanpa bumbu itu.
Ketika uap ayam itu tercium oleh bidungku, aku terdiam. Ternyata... baunya menggugah selera juga walau tanpa bumbu.
"Pasti kamu tergoda baunya! Enak, kan?!"
Aku diam saja, karena tidak mau terus ditertawakan.
Selagi menggoreng ayam yang telah direbus dengan bumbu, Karin mensuir ayam rebus tanpa bumbu yang telah mulai dingin, memasukkannya ke dalam mangkuk kecil. Membagi dua lagi ayam yang baru ia suir.
"Kamu mau membuat apa dengan ayam itu?"
"Mau aku buat puding. Dicampur tempe dipotong kecil, wortel yang telah diiris tipis, rebus sampai empuk dengan irisan daun bawang dan seledri. Setelah itu diblender, tapi tidak terlalu halus. Kemudian masak agar-agar dan campurkan dengan ayam dan wortel yang baru diblender, terakhir baru masukkan suiran ayam. Jadilah puding ayam, wortel, tempe dengan bumbu seledri dan daun bawang buatan rumahan yang sehat tanpa pengawet. Ini bisa untuk tiga hari makan. Sisanya disimpan dalam kulkas, kalau kamu mau makan tinggal aku panasin sebentar."
"Hua... aku jadi tergoda untuk mencobanya!"
"Nah... itulah kenapa tidak perlu pakai bumbu ketika merebusnya tadi."
Proses memasak berjalan dengan cepat, karena Karin sudah biasa memasak sendiri tampaknya. Begitu semuanya siap dimasak waktunya makan bersama.
Ketika sedang makan pagi bersama di ruang keluarga. Aku makan puding ayam yang terdiri dari wortel, tempe plus ayam suir yang dibuatkan oleh Karin, aku mengatakan jika nanti setelah makan aku ingin ke tempat Queen.
"Kenapa kamu harus ke sana lagi?"
"Aku bosan di rumah sendirian. Kamu pergi dan aku hanya bisa tidur. Itu membosankan! Lebih baik aku main ke rumah Queen cantik!"
Karin melirik ke kiri, tampaknya sedang mencari ide agar aku tidak pergi ke tempat Queen. "Hum... aku mau pergi mengantarkan pesanan pagi ini sebelum pergi kerja, apa kamu mau ikut?"
Aku jadi penasaran, sejak kemarin Karin ini sudah pernah pergi mengantarkan pesanan orang. Sekarang kenapa pergi lagi? "Kenapa selalu di antar? Memangnya apa yang kamu jual?"
"Aksesoris keperluan kucing! Aku memproduksinya sendiri! Jaket hoodie yang kamu pakai, baju kamu yang lain itu aku yang buat sendiri. Kasur tidurmu, hammok, kalung, harnes H, topi dan tas cargo. Semua aku buat sendiri! Kadang ada yang beli, minta dipaketkan. Kadang aku juga masuk ke pet shop yang ada di kota untuk menawarkan produk buatan sendiri."
Aku mengangguk mengerti. "Jadi itu kenapa kamu sering keluar untuk mengantarkan pesanan orang yang beli aksesoris kucing yang kamu buat sendiri?"
"Ya, begitulah. Lumayan uangnya untuk tambahan uang jajan. Bagaimana? Apa kamu mau ikut?"
"Apa sepulangnya nanti aku boleh main ke tempat Queen?" aku balik bertanya.
Karin menghela nafas. "Ya ya ya, baiklah. Kamu boleh ke tempat Queen cantik, pacarmu itu."
Aku tersenyum untuk mengiyakan saja apa perkataan Karin.