Ketika dalam perjalanan pulang, aku sangat menikmati perjalanan itu karena aku bisa melihat pemandangan kota. Bentuk kota yang cukup semarak walau berbeda masa dengan tempat asalku. Tapi di beberapa titik jalan kota, sangat menjengkelkan. Macetnya luar biasa!
"Eh, Ro." Ucap Karin di tengah jalan.
"Ro?" aku bingung di amembicarakan apa.
"Aku memanggilmu! Ro, panggilan dari ujung namanya Shiro." Jelas Karin selagi berkendara.
"Oh... Ada apa?"
"Kamu bisa memahami rambu penunjuk jalan di tempat ini kan?"
"Aku bisa mempelajarinya kalau kamu memberitahu. Kenapa?"
Karin lalu menjelaskan jika aku tahu rambu, kejadian seperti berhenti di tempat yang tidak seharusnya karena lupa, setidaknya aku bisa mengingatkan. "Tadi itu untung kita bertemu polisi yang baik. Coba kalau tidak, bisa kena tilang juga!"
Aku mengangguk mengerti walau Karin tidak melihatku yang duduk di belakang.
"Kamu mau kan, Ro belajar tentang rambu-rambu?"
"Yah... baiklah! Demi puding ayam enak buatanmu!" jawabku yang langsung membuat Karin bersorak di tengah jalan. Dan meskipun sedang memakai helm sorakkannya tetap terdengar keras hingga mengundang perhtaian pengendara lain yang kebetulan lewat. "Hei berhentilah bersorak. Orang-orang jadi memperhatikannmu!"
Karin menoleh sekilas ke belakang. "Kata siapa orang-orang memperhatikanku? Mereka itu memperhatikanmu! Karena ada seekor kucing comel bin menggemaskan, bisa naik motor tanpa cargo dan duduk santai di belakang tanpa takut suara kendaraan dan klakson!"
"Hanya menjelang terbiasa saja. Awalnya tadi aku juga takut, karena sebelumnya memang belum pernah naik motor. Duduk di belakang lebih enak. Bisa melihat jalan kota. Ya, walaupun aku harus menancapkan cakar untuk berpegangan di jok yang licin!"
"Licin?! Hum... kalau begitu aku harus melakukan sesuatu agar kamu mudah duduknya. Mungkin setidaknya mengikatkan kain."
Kami akhirnya sampai di apartemen. Ketika membawa kotak mi instan berisi kucing, seorang perempuan awal empat puluhan yang setahuku adalah bos dari pengelola apartemen itu menghampiri kami.
"Ada apa bu?"
"Saya hanya menyampaikan jika apartemen ini memang mengizinkan memelihara hewan kecil yang tidak berisik, tapi jika kamu memelihara banyak kucing. Itu bisa mengganggu tetangga! Tolong pikirkan itu baik-baik sebelum keluhan masuk dari tetanggamu."
"Iya, bu. Tapi kucing ini hanya sampai sore saja di sini, karena nanti pemiliknya akan datang menjemput bu!"
Perempuan itu mengangguk beberapa kali sebelum pergi sendiri dalam diam, karena ia tentu sudah mengerti tanpa harus berbicara panjang lebar dan akan menyita waktu masing-masing.
Karin mengangkat ke dua bahunya, karena tampaknya juga sudah mengerti sikap perempuan tadi. Kami kembali melanjutkan perjalanan, menaiki anak tangga satu persatu hingga ke lantai enam. Begitu sampai di dalam apartemennya dan langsung mengunci pintunya kembali, Karin membuka rompi dengan tali tuntun yang ada di punggungku dan juga melepaskan pengait pda ikat pingangnya.
"Ah... leganya!" seruku langsung berguling di lantai karena bebas dari rompi.
Karin tertawa melihatku bergulingan di lantai kemudian berkata. "Kamu sudah menjiwai menjadi kucing!"
Aku terdiam mendengar perkataanya, tapi kemudian berguling lagi kiri dan kanan. Peduli setan, ini rasanya nikmat sekali. Biar saja dia mau mengatakan aku sudah menjiwai menjadi kucing, kenyataannya memang kini aku terjebak dalam tubuh seekor kucing.
Karin meletakkan kotak berisi kucing dan dua bayinya tadi di dekat pintu, ia lalu mengambil sebuah jeruji besi yang ada di balik pintu masuk. Jeruji itu lalu ia buka beberapa bagiannya hingga membentuk sebuah kotak.
Aku mendekat karena mau tahu. "Apa itu?"
Karin melihat ke arahku dengan tatapan ingin tertawa. "Kamu tidak tahu?" ia balik bertanya.
Aku mengangguk sekali.
Karin lalu membuka sebuah bagian dari jeruji itu yang ukurannya kecil, hanya pas untuk dimasuki hewan. Setelah itu Karin mengangkat tubuhku dan memasukkan tubuhku ke dalam jeruji itu, kemudian menutupnya. "Itu namanya kandang! Kalau kamu nakal akan aku kurung! Hehehehe..."
"Eh. Kandang?"
"Ya." Ia tersenyum usil diiringi tawa yang menjengkelkan, tapi kemudian ia membuka kembali pintu dan menyuruhku keluar. "Ini untuk induk dan bayi kucing itu sementara. Biar tidak ke mana-mana menjelang pak polisi tadi datang menjemput kucingnya!"
Aku berjalan keluar dan langsung menghampiri kotak tadi untuk memberitahu induk kucing. [Kamu akan dipindahkan lagi ke tempat lain. Sabar ya, sampai menjelang sore. Di sini kamu juga akan aman dan baik-baik saja bersama dua bayimu!]
[Terima kasih. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika masih di tempat sebelumnya!]
Karin meletakkan sebuah tisu khusus di dalam kandang, ukurannya hampir sama dengan kandang tadi. Setelah itu Karin mengangkat induk kucing terlebih dahulu ke dalam kandang.
[Jangan takut!] kataku kepada induk kucing.
Tapi walaupun aku mengatakan hal itu, induk kucing itu tetap saja tampak ketakutan berpisah dari anaknya walau tidak sampai sedetik. [Anakku! Anakku! Jangan pisahkan aku dari bayiku!]
[Tenang! Jangan panik! Sebentar lagi anakmu akan kembali!] aku terus berusaha menenangkan induk kucing itu.
Karin bergerak cepat dan sangat hati-hati ketika memindahkan bayi kucing dari kotak ke dalam kandang. Selain itu Karin juga bertanya kepadaku. "Apa yang dikatakannya sampai begitu histeris?"
"Dia takut dan tidak ingin terpisah dari bayinya!" jawabku cepat karena harus menenangkan induk kucing. [Lihatlah, bayimu dikembalikan bukan?!]
[Oh bayiku sayang!] si induk kucing langsung memeluk bayinya begitu dimasukkan ke dalam kandang oleh Karin.
[Nah... lihatkan? Bayimu sudah dikembalikan!]
Induk kucing putih abu-abu itu kembali terisak. Setelah ke dua bayinya kembali, aku menungguinya agar tidak ketakutan di tempat asing.
Sementara Karin masuk ke dalam entah untuk apa aku tidak tahu, tapi tidak lama ia kembali dengan membawa sebuah baki berisi empat buah mangkuk kecil. Begitu sampai, Karin meletakkan baki itu di lantai yang ternyata mangkuk itu berisi puding ayam dan susu.
Karin memasukkan dua mangkuk berisi susu dan puding ayam ke dalam kandang, yang tentunya untuk induk kucing. "Makanlah, kamu pasti lapar dan lelah setelah melahirkan. Kamu butuh makanan untuk mengembalikan energi dan agar kamu kuat menjaga bayimu!" ucap Karin penuh kasih pada induk kucing itu.
Aku menjelaskan pada induk kucing apa yang dikatakan Karin. Induk kucing itu meminum susu yang diberikan karena sangat kehausan setelah melahirkan di tempat antah berantah oleh seekor kucing yang tidak tahu apa-apa. Aku sungguh merasa kasihan melihatnya, ia minum terburu-buru karena begitu kehausan sampai membuatnya tersedak. [Perlahan saja, tidak akan ada kucing lain yang merebutnya darimu!]
Induk kucing itu mengikuti perkataanku, ia minum perlahan dan makan dengan tenang sambil menyusui dua bayinya yang comel.
"Aku akan kembali bekerja, kamu silahkan main bersama induk kucing itu." Ucap Karin sambil berdiri dan langsung pergi tanpa menunggu jawabanku yang hanya melihat kepergianya masuk ke dalam. Meninggalkan aku dan induk kucing tadi di dekat pintu masuk bagian dalam apartemennya.