Chereads / THE BIG BOSS BRONDONG / Chapter 9 - Pencarian

Chapter 9 - Pencarian

9.

Pencarian

~ Setiap musim boleh berlalu, tapi bolehkah aku menetap di hatimu?~

Suara hati Kara untuk Alendra.

copyright ©irma karameena a novel & the quotes

***

Rasa-rasanya dia inging membuang semua gumpalan yang telah lama tumbuh. Selama ini, dia hanya menyimpannya dengan berlagak superior di depan adik sepupunya itu. Pupus merasa benci dengan perasaan semacam itu. Akalnya menolak, namun hatinya tak mau dilogika.

"Dasar anak bandel! Otak mesum!" pekik Pupus bersungut-sungut di setiap lorong-lorong yang dia lewati. Gadis itu meninggalkan kelas Alex cepat-cepat.

Pupus kembali ke kelasnya. Seumur-umur Pupus tak pernah sedekat itu dengan cowok. Dan Alex berani memperlakukan dirinya dengan tidak sopan. Tetapi degupan apa tadi? Kenapa Pupus merasa gemetar. Bahkan sampai sekarang.

"Kurang ajar itu Alex!" teriaknya di kelasnya. Semua teman-temannya memandangnya heran.

Pupus menopang dagu. Mendengus kesal, masih kepikiran dengan insiden tak terduga tadi. Apa ini? Kenapa hatinya masih bergetar. Ah, kesal!!

Pupus mencak-mencak. Lalu berlari ke toilet. Tingkahnya jadi aneh. Seperti salah tingkah. Pupus terus-terusan mengingat Alex seperti bukan sebagai adik. Tetapi...

Ah!

Sebal!!

Sebal!

Sebal!

Pupus menekuk wajahnya berlipat-lipat. Memandang wajahnya di cermin toilet.

"Awas aja itu Alex!" gerutunya dengan bersungut-sungut.

Pupus kembali menarik nafas. Lalu dikeluarkannya lagi pelan-pelan.

"Dia Alex adikku kan? Brandal yang suka bikin masalah?" katanya pada dirinya sendiri, "kenapa dia pura-pura gak kenal sih? Sudah gitu dia pakai barang-barang branded lagi! Apa dia benar-benar menjadi maling handal sekarang?"

Pupus keluar dari toilet sambil mengomel. Dia berbicara sendiri. Lalu mampir ke ruang osis.

"Eh, Pus... Masa jabatan lo tinggal sebulan lagi lho. Persiapan pemilihan ketua Osis baru akan dilaksanakan lho," kata Sari, salah satu anggota osis.

Pupus menghelas nafas, "tadi pagi gue sempat ke ruang pak kepsek. Katanya dimajuin aja."

"Ha?" Sari melongo, "trus lo gimana?"

"Gimana apanya?" tanya Pupus.

"Lo serius mau nyalonin lagi?"

Pupus mengangguk.

"Ya iyalah...! Kita kan baru masuk kelas 3 sebulan kemarin. Seenggaknya ada satu tahun gue menjabat sampai gue lulus," katanya dengan santai.

Teman-temannya tahu Pupus sedang mengejar penghasilan. Di sekolah elite ini, menjadi ketua Osis ada gaji bulanannya. Dan itu tergolong besar juga dibanding anggota biasa.

"Kalian mau dukung aku lagi kan?" kata Pupus pada teman-temannya disitu.

Tak ada jawaban.

Hening.

"Kalian gak mau dukung aku?!!!" Pupus berteriak lagi.

Semua penghuni ruang osis menutup telinga mereka. Kebiasaan Pupus kalau marah pasti teriak-teriak seperti speaker.

"Siap! Kita pasti mendukung ratu kita!" kata Haydar si wakil ketua osis.

Pupus menepuk-nepuk punggungnya sampai berbunyi, "getoooo dong! Baru anak buah gue!"

"Kira-kira siapa ya calon kandidat selanjutnya?" tanya Kara, "selain Pupus!?"

Pupus langsung mendelik padanya. Pupus berharap tak ada satupun siswa yang berani mencalonkan diri! Termasuk Kara! Si cewek misterius ini selalu punya cara skakmat untuk membantah dirinya.

***

Pak Arka dan Bu Dewi sibuk menyebarkan formulir pendaftaran kandidat Ketua Osis. Masalah pemilihan ketua Osis menjadi tanggung jawa tim guru. Sekolah mengajarkan siswa-siswa untuk berdemokrasi sejak dini.

"Bu Dewi, jangan lupa bawa brosur ke kelas Ibu yang crowded itu ya!" kata Pak Arka setelah menempel poster gedhe-gedhean di mading depan.

"Siap pak Arka!"

Bu Dewi masuk ke kelas. Dan membicarakan soal pemilihan ketua osis ini. Di kelas sangat gaduh dan berisik. Seperti itu setiap hari.

"Anak-anak, diam!" kata Bu Dewi.

Seketika mereka terdiam.

"Hari ini, Ibu mau menyampaikan. Kalian di sini siapa yang ingin menjadi ketua Osis?"

Dina langsung mengacungkan tangannya.

"Selain Dina? Murid laki-laki?" tanya B Dewi. Tapi tak ada satupun siswa dari laki-laki mengacungkan tangannya.

Semuanya diam.

"Ibu mau dari kelas ini, ada yang mengajukan diri dari laki-laki. Karena jarang laki-laki yang mau jadi ketua osis. Nanti akan diseleksi setiap data kandidat yang masuk."

Bu Dewi keluar kelas lagi setelah memberikan setumpuk formulir pada ketua kelas. Dina menyebarkan formulir itu pada semua teman-teman sekelasnya.

Alex mengambil formulir yang diberikan kepadanya. Dia membacanya sekilas. Fotokopian formulir kandidat memang disebar sebanyak-banyaknya. Para guru ingin siswa memiliki inisiatif memimpin. Tidak hanya Alex yang menerima formulir itu, tetapi juga siswa lainnya.

***

Ramon datang ke sekolah Alex. Pengacara ini ingin menegosiasi Alex. Cara satu-satunya agar klien-nya bebas. Masa depannya juga sedang terancam. Sementara ini, Hendra, Ayah Yoga sedang fokus memikirkan pulihnya perusahaan. Jadi dia menyerahkan semua urusan anaknya pada Ramon. Intinya, bagi Hendra, Yoga harus bebas.

"Alex ada yang mencarimu," kata Dina, "Pak Arka menyuruhmu ke kantornya."

"Siapa?" Alex mengernyitkan dahi.

"Mana gue tahu," kata Dina, "mau kutemani ke kantor Pak Arka?"

"Gak usah!" jawab Alex singkat. Dia males pasti Dina akan mepet-mepet padanya.

"Gak ah, aku ikut," kata Dina.

Alex berjalan keluar kelas menuju kantor kepsek. Dibelakangnya Dina mengikutinya. Sesampai di kantor kepsek, dia mengetuk pintu dan memberi salam.

"Masuk, Alex. Pak Ramon ingin bicara denganmu," kata Pak Arka ramah.

Alex duduk di depan pengacara itu, sedangkan Dina juga ikut duduk di sampingnya.

"Kau ngapain sih ikut-ikutan aja," kata Alex pada Dina dengan wajah risih, "mohon maaf, Pak. Ada apa ya?"

Tanya Alex membuka pembicaraan terlebih dulu.

"Hmmm, ini tentang Yoga," kata Pak Ramon.

"Oh, itu bukan saya, Pak," kata Alex, "silakan hubungi Pak Marco, asistant Ayah saya."

Alex langsung berdiri, hendak meninggalkan ruang kepala sekolah.

"Tunggu, Nak!" kata Ramon, "tapi kau bisa membujuknya kan?"

Alex menghela nafas, "tidak bisa, Pak. Karena mereka melihatnya sendiri kalau Yoga dan gengnya mengeroyok saya. Permisi!"

Alex langsung pergi tanpa basa-basi lagi. Ramon pulang dengan tangan hampa. Dia berencana akan bertemu dengan Pak Hendra untuk mengurus ini.

Tak hanya Ramon yang bingung. Orang tua Keenan juga tak kalah pusingnya. Seolah-olah berita Keenan masuk penjara itu aib di mata keluarga. Mereka juga sedang menyewa pengacara. Orang tua Cepi tak kalah malunya karena Ayahnya seorang pejabat.

"Aku ingin mencalonkan gubernur di pilkada berikutnya. Tapi imageku jadi buruk karena putramu itu!" ujar Prasetyo pada istrinya. Wanita itu hanya menunduk tanpa bicara apapun.

PLAK!!

Prasetyo menampar istrinya. Wanita itu hanya bisa menangis.

"Kau tak bisa mendidiknya," Prasetyo keluar dari ruangan.

Berbeda dengan orang tua Cepi.

"Siapa Alex itu? Biar kubuat hidupnya hancur juga," kata Nando. Dengar-dengar, dia salah seorang pengusaha terkenal juga. Dia juga salah satu donatur terbesar di sekolah.

"Bos, aku dengar, bukan Alex yang melaporkan mereka, tetapi orang lain," kata anak buahnya.

"Kau selidiki siapa Marco itu? Apa hubungannya dengan Alex?"

"Dia sepertinya hanya pegawai keluarga anak itu."

"Artinya, Ayah anak itu bukan orang sembarangan???? Begitu maksudmu, hah?!" Nando menendang bokong anak buahnya itu. Padahal lelaki itu lebih kekar dari Nando, tetapi dia takut melawannya.

"Bbb...betul, Bos."

"Kurang ajar! Selain bisnisku batubara, bukankah kita yang menguasai bisnis di negeri ini? Semua pengusaha harus membayar pajak pada kita kan?" ujarnya, "harusnya aku tahu siapa Marco! Cari dia!"

Oh rupanya, selain memiliki usaha, Nando juga seorang ketua mafia. Dia suka menagih pengusaha lainnya secara ilegal menyaingi petugas pajak negara. Terutama, Nando menagihi para pengusaha di bidang tambang: paling sering dia menagih pajak pada para pengusaha dibidang batu bara. Disebutlah dia mafia batubara.

"Baik, Bos!" kata salah satu dari mereka, "ayo kita berangkat mencari Marco!"

Komplotan mafia batubara ini sedang mengancam kehidupan Marco dan tentunya Alex.

***

to be continued...