Chereads / THE BIG BOSS BRONDONG / Chapter 8 - Perjanjian Rahasia

Chapter 8 - Perjanjian Rahasia

8.

Perjanjian Rahasia

~Suatu hari, jika mereka menipumu, mereka yang akan tertipu dengan dirinya sendiri.~

Suara hati Alex dalam menepis rasa dendam.

copyright ©irma karameena a novel & Quotes

***

Langit berpendar merah. Sudah mulai sore. Namun, pembicaraan Hendra dengan Alex baru saja dimulai. Ini bukanlah akhir, tapi awal dari segalanya. Kisah yang akan terus terjalin tiada akhir.

"Anda tidak bisa membatalkan perjanjian rahasia dengan saya!" kata Hendra masih dalam keadaan tidak tahu. Dengan siapa dia berhadapan.

Alex memutar  kursinya. Menunjukkan wajahnya. Dirinya bukan Pak Zindaq yang dimaksud Hendra.

"Oh... jadi Anda rupanya," ujar Alex dengan menopang dagu. Alis tebalnya terangkat ke atas, menyipit dengan sempurna. Dua pasang mata Alex terlihat tajam. Seperti mata elang.

Siapa anak ini? Tentu saja Hendra bertanya-tanya.

Melihat Hendra tampak bingung, Alex mempersilakannya duduk.

"Silakan duduk, Pak. Bagaimana pun, Anda lebih tua dari saya," ujar Alex. Anak remaja ini sudah menggunakan setelan jas rapi selayaknya seorang CEO.

Hendra berusaha mengendalikan ekspresi bingungnya. Lantas, dia duduk di depan meja Alex. Mereka saling bertatapan. Mencoba menerka pikiran masing-masing.

"Nama saya Alex Waleed Alan Tabarak," ujar Alex sambil menggigit ballpoin.

"Anda CEO baru?" tanya Hendra gugup.

"Yup! Saya CEO baru. Saya sudah mendengar apapun yang Bapak katakan tadi. Dan saya memahaminya. Sangat paham!" kata Alex tegas.

"Sejak kapan jabatan CEO diganti?" Hendra nampak keberatan dengan keberadaan Alex.

"Baru-baru ini sih, Pak. Saya dengar tadi Anda dan Pak Zindaq, CEO sebelum saya telah memiliki perjanjian rahasia?"

Hendra langsung kaget dengan pertanyaan bocah kecil ini.

"Pak Alex, saya bersedia melakukan apapun yang Bapak inginkan. Tetapi tolong jangan bocorkan perjanjian itu kepada publik. Dan...," Hendra mengatupkan kedua tangannya.

"Dan apa??"

"Tolong jangan blacklist perusahaan saya, Pak Alex," kata Hendra.

Alex menatapnya lekat-lekat. Dengan sorot mata Alex. Hendra terlihat gegabah dengan sikapnya kali ini. Hasil kerja kerasnya semenjak muda bisa sirna begitu saja. Hanya dengan hitungan jam. Gara-gara kehadiran CEO baru ini.

"Kami tak melaporkan kasus kalian. Kami hanya memecat Pak Zindaq. Karena kami cukup perhitungan. Bukan berarti kami tak punya bukti kejahatan korupsi kalian berdua," kata Alex.

Hendra terlihat ketakutan.

"Tolong, Pak Alex. Pertimbangkan apa yang saya katakan. Perusahaan kami cukup bisa dipertimbangkan sebagai pemasok nomer satu di Indonesia, Pak. Jika kami berhenti menjadi pengimpor minyak, perusahaan Ayah Pak Alex bisa bangkrut."

"Apa? Bangkrut kata Bapak?" kata Alex mulai geram, "Apa bapak pikir saya bodoh, hah?! Saya tak peduli Bapak lebih tua atau tidak. Tapi, ingat ya, Pak Hendra. Minyak yang bapak curi dari hasil korupsi pengeboran minyak itu lebih merugikan. Bapak mencurinya lebih dari 100 triliun!"

"Pak Alex, tolong jangan laporkan saya ke polisi!" Pak Hendra bersujud di kaki Alex.

"Saya tak peduli tentang perusahaan Bapak itu. Saya minta ganti rugi! Secepatnya! Atau saya biarkan Bapak membusuk di penjara?" ujar Alex.

"Baik, Pak Alex. Saya akan ganti rugi semua itu secara bertahap. Tetapi saya minta jangan blakclist perusahaan saya," katanya dengan penuh pengharapan.

"Oke!" Alex menelepon seseorang dari telepon di meja kerjanya, "halo, Paman, dia sudah datang. Bisa Paman ke ruanganku?"

Beberapa menit kemudian, Marco sudah di ruangan Alex. Dia mengurus beberapa surat-surat perjanjian perusahaan.

"Tanda tangan ini, cepat! Ada 10 lembar surat perjanjian!" kata Alex.

Hendra tak sempat membaca semuanya. Tetapi dia terpaksa menandatangani itu. Apapun itu, Hendra memang bersalah di masa lalu. Seharusnya dia tak melakukan kecurangan seperti itu.

"Bagus!" seru Alex.

"Terima kasih, Pak Alex," kata Hendra sebelum dia keluar dari ruangannya.

"Bagaimana, Tuan?" tanya Marco, "pasti Yoga tak bisa berbuat apapun saat ini. Ayahnya saja korupsi. Kita bisa saja membuka kunci dia."

Alex tersenyum sambil memainkan ballpoint di tangannya.

"Mereka pikir aku bodoh," ujar Alex puas.

"Oh ya, Tuan muda, saya sudah mentransfer 1 miliar pada Ardhy. Dan dia mengajak bertemu pekan depan. Dia ingin bertemu dengan Tuan muda," kata Marco.

"Dia belum tahu kan siapa yang membeli rumah itu?"

"Tentu, Tuan. Dia tidak tahu."

"Bagus," Alex memeras otaknya, "semua sesuai rencana."

Alex memandang keluar jendela. Memandang langit. Memandang langt tenang terasa sejuk di hatinya. Hidupnya berubah tiba-tiba, dari Alex yang dikucilkan. Dan sekarang, seolah-olah Tuhan memberinya kesempatan untuk membalas para penjahat itu.

***

Alex kembali bersekolah. Alex menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, saat Alex datang. Para perempuan itu mendekati dan mengejarnya.

"Alex! Alex! Alex!" seperti tergila-gila.

Alex hanya diam saja. Menjadi tsundere.

Di lorong sekolah. Sebelum Alex sampai ke kelas. Para anggota geng Yoga yang tidak dipenjara menghampiri Alex. Mereka saling berhadapan satu sama lain. Para pemuja Alex disamping kanan kirinya, mundur perlahan. Semua siswa sudah hafal. Setiap geng itu muncul, pasti akan terjadi keributan.

Apa pertempuran akan di mulai lagi?

"Bro, maafkan kami soal kemarin," ujar Bagas sambil menunduk.

Alex menatap mereka lekat-lekat.

"Sekarang, aku mau berteman denganmu," kata Roni.

"Iya, Bro. Bukankah kau sudah menjadi bagian dari kami?" Damar menimpali.

"Atau.. kau bisa menggantikan posisi Yoga di geng?" ujar Dony menambahi.

Alex menghela nafas.

"Apa semudah itu?" katanya, lantas Alex melanjutkan langkahnya menuju kelas. Para siswi pemujanya itu mengikuti Alex lagi. Para cewek ikutan membuang wajah pada anggota geng Yoga.

Alex duduk di bangkunya. Membiarkan cewek-cewek itu mengerubutinya. Meskipun lama-lama gerah juga.

"Kalian ngapain sih ngikutin aku terus? Kayak kawanan bebek aja!" tanya Alex dongkol. Alisnya jadi nyambung kalau kesal.

"Uh...uluh..uluh...gantengnya kalau marah," Dina memainkan dagu Alex.

"Apa sih," kata Alex melepaskan tangan Dina.

"Alex, kamu gak mau cari cewek gitu?" tanya Misca. Iya, Misca!

Cinta pertama Alex sejak kelas satu. Tetapi sekarang entah kenapa perasaan itu biasa saja ya? Atau memang sebenarnya Alex hanya naksir biasa saja pada gadis itu. Entahlah, lagipula mereka itu semua palsu. Bersikap baik hanya pada orang tertentu.

Lagi-lagi membuatnya menghela nafas. Alex diam seribu bahasa. Benar-benar seperti seorang tsundere!

Karena kesal terus dipepet para siswi centil, Alex bangkit dari duduknya. Dia mencari bangku kosong. Setidaknya ada 3 bangku kosong sejak Yoga, Keenan, dan Cepi masih diproses pidana.

"Yah... kok pergi sih," Siput berlagak imut-imut. Siput nama asli putri berjalan seperti siput. Karena itu teman-temannya menjulukinya siput.

"Eh, Siput! Berani kau mendekati Alex! Kau ada digenggamanku!" kata Dina, si sombong sang ketua kelas.

"Hhhhh dasar!" Alex mendadak puyeng mendengarkan mereka. Bagi Alex, mending tidur sebelum guru datang. Daripada mengurusi cewek-cewek ribet itu.

Akhirnya, kehidupan Alex menjadi normal. Tak ada lagi yang menganggunya. Eitsss, tapi siapa bilang hidup Alex sudah kembali benar-benar normal? Sepertinya, hidup Alex tidak pernah normal alias gagal untuk normal. Dan tidak akan pernah normal!

Pupus datang ke kelasnya dengan petantang-petenteng. Pupus seorang ketua osis. Dia merasa berkuasa juga di sekolah. Saat Alex tidur di atas mejanya, menutupi wajahnya dengan ranselnya. Sebuah benda aneh jatuh di atas kepala Alex. Pupus telah melemparinya sesuatu.

Prakkkkkk!!

Sejenis gulungan busa-busa seperti penghapus papan tulis ditimpuk ke kepala Alex.

Kontan Alex terbangun. Siapa sih?

"Hei!!!" teriak pupus.

Alex memandangnya kesal. Mukanya terlihat cuek pada Pupus. Alex memilih membuang muka padanya.

"Hei! Apa kau punya telinga?!" teriak Pupus lagi.

Alex tak bergeming.

"A-LEX!!!!!!" Pupus berteriak lagi tepat di telinganya.

Alex menggosok telinganya kuat-kuat dengan jarinya. Rasanya gatal setelah Pupus meneriakinya. Setiap pagi, Alex selalu mendengar teriakan Pupus selama hidup di dunia ini. Selama Alex tinggal bersama sepupu-sepupunya yang jahat itu, Alex sudah terbiasa mendengar teriakan jahanam Pupus.

"Haaa! Baru kau bangun! Kau tidak berubah ya!?" ujar Pupus dengan berkacak pinggang dengan matanya mendelik!

Alex hanya memandangnya saja. Kalau dilihat-lihat, Pupus cantik juga ya? Entah kenapa Alex jadi terkesima. Dia lebih cantik dari Misca. Semacam wajahnya seperti mendiang ibu. Mirip dengan wajah ibu Alex di foto masa muda.

"Siapa kau?" tanya Alex tak peduli, dia kembali merebahkan kepalanya di atas meja.

"Kau tanya siapa aku? Aku kakakmu! PUSPA!" katanya berteriak lagi.

"Kau gila ya? Suka teriak-teriak!" kata Alex dingin, "apa? Kakak kau bilang? Aku gak kenal kamu!"

Dengan cepat Pupus menjewer telinga Alex.

Mereka berdua menjadi pusat perhatian para siswa di situ.

"Berani kamu ya pada kakakmu sendiri?!" kata Pupus terus memelintir telinganya.

"Aaaaa....!" Alex berseru kesakitan, "lepasin!"

"Enggak! Dari mana kau dapat semua barang-barang mahal ini? Kau mencuri?!" kata Pupus.

Dia masih menjewernya. Dia tak akan pernah melepasnya selama Alex belum mengaku.

"Lepasin!" Alex menghempaskan tangan Pupus dengan keras, "siapa sih kau?! Ngaku-ngaku kakakku? Aku tak punya kakak sepertimu! Aku anak tunggal di keluargaku!"

"Oh... jadi kau pandai akting sekarang ya?" kata Pupus dengan mata melotot. Dia memang suka marah-marah sepanjang hari. Alex hafal betul itu.

Bukan main rasa kesalnya. Alex mendekat pada Pupus. Sampai jarak diantara mereka sangat dekat. Karena kaget, Pupus berjalan mundur dan menjadi gugup.

"Eh, eh... apa yang kau lakukan, bocah gila!" teriak Pupus lagi, "Alex! Alex! Berhenti! Alex!"

Deg! Deg! Deg!

Suara apa itu? Suara itu berasal dari degup jantung milik Pupus? Matanya terpaku dan berhenti tepat di mata Alex. Mereka saling bertatapan. Beradu mata tajam. Seperti dua pisau yang sedang beradu. Saling menghujam dan siap memberi luka sayatan di hati masing-masing.

Alex terus berjalan maju mendekati Pupus. Sampai tubuh Pupus menempel di tembok kelas. Alex melingkarkan kedua lengannya di antara kepala Pupus. Kini, Pupus seperti terkunci.

"Kau... wangi juga ya? Siapa namamu?" kata Alex sambil meraih ujung rambut Pupus.

"Tolong yang sopan ya!" Pupus mendorong tubuh Alex.

Alhasil, Alex tersungkur mundur menjauh darinya. Masih tersisa sayatan pisau tajam tatapan Pupus itu di hatinya. Alex terpaku, menikmati perasaan yang aneh datang. Seperti wewangian yang sudah lama dia rindukan. Perasaan aneh macam apa ini? Alex baru tersadar akan itu. Apa itu sudah lama tertanam tanpa dia sadari? Baru dia sadar ketika mereka berdua bukan lagi memiliki status sebagai saudara kandung?

***

to be continued...