"Seperti katamu, agar akting kita bisa dilakukan dengan maksimal, aku langsung berpikir untuk mengajakmu ke apartemenku. Aku tidak pernah mengajak satu perempuan pun ke apartemenku kesebelumnya, bahkan ibuku juga tidak tahu dimana apartemenku berada. Karena kondisi tubuhnya yang tidak bisa bepergian jauh kemana-mana." Ujar William.
"Tapi ... ke apartemenmu? Aku ... tidak pernah ke apartemen atau rumah seorang pria sebelumnya. Tidak bisakah kita ajak orang lain untuk menemaniku?" Aubrey berharap ada seseorang yang akan menemaninya walau kenyataannya dia tidak punya teman dekat kecuali Becky tapi temannya itu pasti sudah disibukkan dengan jadwal dengan pacarnya, Michael.
"Kamu mau mengajak siapa?" William sebenarnya keberatan kalau apartemennya didatangi orang tidak dikenal. Namun, William juga yakin kalau Aubrey tidak punya teman untuk diajak. Sehingga pertanyaan William lebih dari sekedar pertanyaan semu. Aubrey memutar otaknya. Kedua matanya bergerak ke sana kemari mencoba memikirkan satu nama namun tidak dapat juga.
"Aku rasa kamu tidak punya teman dekat, benarkan?" Ucap Liam akhirnya, memecah keraguan Aubrey dan mencoba menebak isi hati perempuan yang telah menjadi pacarnya itu, meski hanya selama 3 bulan kedepan. Aubrey kali ini diam tidak bisa berkata apa-apa.
"Aubrey, ayo kita berangkat sekarang. Sebelum kemalaman nanti kamu sampai rumah." Pria lembut itu mengulurkan tangannya pada Aubrey dan mereka pun keluar ruang kerja Liam sambil bergandengan tangan.
Semua staff William yang melihat bosnya untuk pertama kalinya bergandengan tangan bersama seorang perempuan, hanya bisa melihat dari jauh. Pria dengan warna rambut silver itu memang terlihat lembut diluar namun pria itu juga hampir tidak pernah tersenyum kecuali kepada Neil, sekretarisnya.
"Apa kita hanya akan pergi berdua?" Perempuan dengan rambut pirang itu tidak melihat supir atau pengawal yang berada di dekat Liam.
"Aku tidak punya pengawal seperti kedua kakakku. Aku hanya seorang pelukis. Tidak ada yang bisa diperebutkan dari seorang pelukis." Liam tersenyum tipis sambil menggaruk-garukkan tengkuknya. Aubrey membalasnya spontan dengan tersenyum lirih.
"Ya, seorang pelukis tidak serumit seperti seorang pengusaha yang musuhnya dimana-mana."
"Itu ... maaf, kamu ... belum memakai sabuk pengaman." Liam berkata takut-takut.
"Oh, maaf, aku lupa." Aubrey pun segera menarik tali sabuk yang ada diatas sebelah kanan namun tampaknya perempuan itu mengalami kesulitan.
"Ada apa?" Liam yang baru menghidupkan mesin, melihat Aubrey berkali-kali ingin menarik tali namun susah untuk digerakkan. "Boleh aku bantu? Maklum, mobil tua, jadi sabuk pengamannya agak susah." Jawab Liam. Lagi-lagi Aubrey hanya bisa tersenyum lirih.
"Mobil ini memang terlihat antik tapi bukan tua. Gaji mengajar aku sebagai seorang dosen, seumur hidup pun tidak akan mampu membeli mobil mewah ini." Gumam Aubrey dalam hati.
Liam membuka sabuk pengaman yang sudah melilit tubuhnya. Pria itu mendekati tubuh Aubrey untuk mengambil sabuk pengaman yang tersangkut tidak bergerak diatas kepala perempuan itu. Aubrey bisa merasakan hembusan napas Liam dan degup jantung pria itu yang berdetak kencang.
"Ini ... terlalu dekat." Gumam Aubrey dalam hati. Perempuan itu menahan napas dan mengatupkan bibirnya.
Tanpa Aubrey ketahui, ada jantung yang berdegup kencang dari seorang pria yang belum pernah sedekat ini dengan seorang perempuan.
"Sudah," Liam berkata sambil tersenyum. Pria itu kembali duduk di kursinya dan mengenakan kembali sabuk pengaman yang telah dilepaskan tadi. Aubrey tersenyum lirih dan mobil pun melaju meninggalkan galerry lukisan menuju apartemen Liam untuk pertama kalinya.
Aubrey masih merasakan jantungnya berdegup kencang seperti habis berlari. Dia adalah perempuan mandiri dan selalu berprinsip tidak akan tertarik pada lelaki manapun sebelum tujuan utamanya tercapai, yaitu memiliki rumah sendiri. Sepanjang perjalanan, kedua anak manusia itu hanya terdiam dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada interaksi sama sekali diantara mereka berdua. Bahkan hembusan napas masing-masing pun terdengar jelas.
"Kita sudah sampai. Ini gedung apartemennya. Unitku ada di lantai paling atas." Aubrey hanya mengangguk dan membuka sabuk pengamannya lalu turun dari mobil. William dan Aubrey berjalan melewati pintu dari basemen tempat parkir. Ada lift khusus dari basemen yang akan mengantarkann setiap penghuninya menuju lantai unit apartemen mereka masing-masing. William menekan tombol 20 yang kemungkinan besar disanalah lantai tempat unitnya berada.
Aubrey sungguh takjub dengan pemandangan disekitarnya. Semua sudut didalam hunian ini sangat mewah dan elegan. Dari luar saja sudah bisa ditebak para penghuninya pastilah orang-orang kaya atau artis besar. Baru kali ini Aubrey masuk kedalam gedung mewah. Tanpa sadar, Aubrey sudah beberapa menit mengagumi interior gedung ini.
"Kita bisa langsung ke kamarku?" William tersenyum ramah. Ucapan pria lembut ini masih bisa membuat Aubrey terperanjat kaget.
"Duh bodoh sekali aku. Lihat apartemen mewah sampai segitu bingungnya." Ucap Aubrey dalam hati. "Hehehe, maaf. Ayo, dimana apartemenmu?" Aubrey berjalan setengah berlari menyusul Liam yang sudah sampai di belokan.
"Satu lantai ini adalah unit apartemenku. Tidak ada pemilik lain di lantai ini." Ucapan Liam membuat mulut Aubrey menganga lebar. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Itulah mengapa, hanya lift ini yang bisa menuju lantai 20. Lift lain hanya sampai lantai 19." Jawab Liam dengan santainya.
"Kamu becanda kan?" Aubrey menyipitkan mata tidak percaya. Liam hanya tersenyum tipis dan pintu unit apartemen paling luas diantara semua penghuni apartemen itu pun terbuka.
Aubrey benar-benar takjub dibuatnya. Interior didalam apartemen ini sungguh mencerminkan pemiliknya seorang lelaki sejati. Perpaduan dinding warna coklat tua dan hitam menjadi warna paling dominan disamping warna putih. Tidak ada perabotan yang tidak ada fungsinya. Tidak ada vas besar seperti kebanyakan rumah orang kaya. Semua ada karena mereka ada kegunaannya.
"Duduklah, aku akan ambilkan minuman." Tidak cukup sampai disitu. Dapur yang dimiliki pria lembut ini pun sangat luas. Lemari pendingin yang besarnya seperti lemari baju itu berdiri sangat cantik ditengah-tengah dapur. "Aku tidak punya minuman berwarna dan alkohol. Hanya ada air putih. Tidak apa-apa kan?" Tanya Liam sambil terus menebar senyum tanpa henti.
"Ini rumahmu jadi terserah kamu isinya apa. Aku hanya tamu sekali datang." Jawab Aubrey asal karena matanya masih terus mengagumi isi bagian dalam apartemen paling luas di gedung ini.
"Aku biasa kesini seminggu 2x. Atau, ketika aku butuh untuk menenangkan diri mencari inspirasi. Bagaimana menurutmu apartemen ini? Apakah menurutmu sudah cukup pantas untuk membawa seorang istri dan beberapa anak didalamnya?" Tanya Liam tiba-tiba.
"Sangat pantas, istri dan anak-anakmu pasti akan sangat senang tinggal didalam apartemen yang luas ini." Jawab Aubrey.
"Aku ingin kamu yang jadi penghuninya, Aubrey." Gumam Liam dalam hati.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan setelah ini? Aku sudah mampir ke apartemenmu. Lalu, setelah ini apa lagi?" Aubrey menatap mata biru Liam lekat-lekat.