"Martha, mau kemana kamu?" Perempuan licik itu menggeram kesal karena rencananya akan gagal kalau tidak segera menyusul Alfred.
"Aku mau keluar sebentar, mencari angin.",Jawab Martha sambil tersenyum penuh kepalsuan.
"Okay, tapi jangan jauh-jauh."
"Tidak akan." Martha pun kemudian keluar ingin segera menyusul Alfred namun sayangnya pria itu dan mobilnya sudah tidak ada dihalaman depan.
"Sialan! Kemana pria itu perginya? Cepat sekali menghilang. Ugh, aku harus mencarinya kemana? Dia pasti mencari perempuan untuk melampiaskan efek dari obat yang aku berikan."
Pria dengan warna rambut putih dibelah pinggir itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya semakin panas dan harus segera diredakan gejolak akibat obat perangsang sialan yang entah siapa yang memberikannya. Hanya satu tujuannya, kantor Phil Knight di The Knight Corp. Gedung kantor itu cukup jauh dari acara jamuan makan malam tadi. Kemampuan Alfred mengemudi dengan kecepatan tinggi benar-benar digunakan. Akhirnya sampailah pria berambut putih itu dibasemen parkiran.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tidak ada orang lain didalam kantor ini. Semua sudah sepi. Alfred berhasil masuk melewati mesin penjagaan karena dia memiliki kartu pass yang dipinjamkan Phil padanya kala itu namun belum sempat dia kembalikan. Dengan tubuh sempoyongan, Alfred menekan tombol tanda panah keatas dan pintu lift pun langsung terbuka.
Pria yang sudah diatas puncak gairah itu segera masuk kedalam lift. Dasi yang sudah dia renggangkan dan rambut yang sudah acak-acakan, bagian bawah kemeja yang sudah keluar dari kerapihannya, sudah menunjukkan betul betapa pria ini sudah nyaris berada di luar batas kesadarannya.
TING!
Pintu lift pun terbuka dan Alfred berjalan masuk keluar dari lift menuju ruangan yang sudah dihapalnya dengan baik.
BRAK!
Dengan sekali hentakan, pintu itupun terbuka. Ternyata benar, dia ada disana. Perempuan yang merupakan cinta pertama sekaligus cinta sejati seorang Alfred Dawson, berdiri tepat dihadapannya hanya berjarak lima meter dengan wajah ketakutan dan kebingungan.
"Kamu? Kenapa kamu masuk keruangan kantor suamiku?" Anna terkejut dan gemetar ketakutan. Melihat wajah pria didepannya dengan penampilan berantakan dan matanya yang merah, membuat Anna berpikir untuk melarikan diri. Namun sayangnya, hal itu terlambat. Anna dan Alfred adalah korban dari kejahatan yang dilakukan oleh orang lain tanpa disengaja namun akibatnya hingga puluhan tahun kemudian.
-----
"Cih, katanya tidak mau dinikahi. Tapi, dia sendiri malah minta maaf atas nama perempuan itu. Sungguh pria yang bijaksana. Atau, jangan-jangan sebenarnya dia suka tapi malu mengatakannnya?" Aubrey melamun setelah jam mengajarnya usai. Kini dia duduk di ruang kerjanya, menunggu Becky yang belum usai mengajar di kelasnya.
Baru saja Aubrey ingin berdiri menuju toilet, tiba-tiba ponselnya berdering. Tampak nama pria yang kini menjadi pacar rahasianya itu tertera dilayar ponsel. Aubrey malas untuk menjawabnya namun suara deringnya memekakkan telinga hingga beberapa teman guru melihat padanya.
"Halo," Jawab Aubrey dengan nada malas.
"Aubrey, apa kamu masih marah padaku?" Suara Liam yang lembut dan takut-takut membuat Aubrey semakin malas untuk menanggapinya.
"Marah untuk apa? Memangnya kamu berbuat salah apa?" Jawab Aubrey sambil duduk kembali diatar kursinya.
"Aku … aku tadi telah membuatmu marah ya. Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kamu …"
"Sudahlah, aku sedang sibuk. Ada perlu apa telpon aku?" Jawab Aubrey dengan cemberut.
"Aku … ada di lapangan parkir kampusmu. Kalau kamu sudah pulang, maukah … kamu makan siang bersamaku?" Ujar Liam dengan kalimat ragu-ragu.
"Apa?" Aubrey langsung menuju ke jendela. Benar saja, mobil pria lugu itu terparkir disana. Dari lantai dua gedung kampus ini, lapangan parkir bisa terlihat dengan jelas. Pria itu menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum pada Aubrey yang dibalas dengan tatapan sinis dosen muda tersebut.
"Maaf, aku tidak bisa ikut. Kamu makan sendiri saja. Apakah menjadi seorang pacar juga makan siang harus bersama-sama?" Tanya Aubrey dengan ponsel masih menempel di telinganya dan mata mereka masih bertemu walau masing-masing menatap dengan cara yang berbeda.
"Oh aku tidak tahu, aku belum pernah berpacaran jadi aku tidak tahu kalau makan siang juga harus sama-sama. Aku … hanya ingin mengajak kamu ke gallery lukisanku kalau kamu tidak keberatan." Jawab Liam sambil tersenyum lirih, melihat pujaan hatinya di atas sana dengan wajah sinisnya menatap dirinya yang duduk didalam mobil diparkiran.
"Oya? Mungkin kamu memang belum pernah berpacaran, tapi setidaknya kamu pernah menyukai seseorang sampai sekarang kan?" Aubrey bertanya dengan mencecar.
"Maksud kamu … Ruth? Tidak. Aku tidak pernah menyukainya. Percayalah padaku! Apa kamu … cemburu padanya?" Liam menahan senyuman dengan menutup mulut menggunakan satu tangannya.
"Apa? Aku cemburu? Liam, kamu berani sekali mengatakan hal seperti itu padaku. Huh!" Aubrey memalingkan wajah kesalnya dari Liam dan menutup tirai jendela yang sejak tadi dipegangnya.
"Oh maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu. Jadi Aubrey, maukah kamu makan siang denganku di gallery?" Tanya Liam lagi dengan suara pelan takut-takut.
Aubrey menghela napasnya.
"Kenapa aku harus marah dan cemburu? Bukankah ini juga pacaran pura-pura? Ahh, kenapa aku begitu tidak masuk akal seperti ini?" Gumam Aubrey dalam hati.
"Baiklah, aku bawa mobil sendiri. Kamu jalan saja duluan. Nanti aku menyusul dibelakang." Jawab Aubrey.
"Bagaimana kalau begini? Mobilmu biar supirku yang membawanya. Kamu ikut dengan mobilku. Maukah kamu?" Ucap Liam lagi.
"Hmm, baiklah. Tetap saja aku tidak bisa ikut denganmu dari kampus. Kamu tunggu aku di persimpangan jalan didepan. Nanti aku turun disana sekaligus menyerahkan kunci pada supirmu." Ujar Aubrey lagi.
"Deal! Aku jalan sekarang ya." Liam memutuskan panggilan telpon dan mobilnya segera meluncur meninggalkan kampus. Aubrey pun merapihkan berkas-berkas pekerjaannya dan bersiap-siap untuk menuju mobilnya menyusul Liam.
"Aubrey, kamu mau kemana?" Becky yang baru saja selesai mengajar, melihat Aubrey berjalan melewatinya tanpa berhenti.
"Aku pulang duluan yaa. bye bye, dear." Aubrey melambaikan tangannya pada Becky yang kebingungan. Tidak biasanya Aubrey pulang terburu-buru dengan senyum lebar di bibirnya.
"Apa mungkin dia sudah punya pacar yang menjemputnya? Tapi siapa? Kenapa dia tidak memperkenalkannya padaku?" Becky memiringkan dagunya sambil memutar kedua bola matanya. Otaknya berpikir untuk mencari tahu apa yang terjadi pada perubahan sikap teman satu-satunya itu.
Aubrey menyalakan mesin mobil dan meluncur meninggalkan kampus menuju tempat yang sudah dijanjikan bersama Liam. Tampak mobil pria yang menjadi pacar pura-puranya itu sudah berhenti didepannya. Aubrey pun memperlambat laju mobilnya dan berhenti tepat di belakang mobil Liam.
"Maaf nona, kunci mobilnya?" Seorang pria dengan sopannya menghampiri Aubrey yang baru saja keluar dari mobil. Dia adalah supir Liam yang ditugaskan untuk membawa mobil Aubrey menuju Gallery miliknya.