Matahari sudah lama terbenam, hanya menyisakan gelap yang membungkus malam. Dari tadi aku menolak pulang, aku marah padanya, karena itulah aku tak pulang kerumah, alasan yang cukup kuat hingga diriku melamun ditengah malam.
Aku melamun didepan rumah sakit yang semakin lama semakin sepi. Wajar saja, mereka pasti pulang kerumah untuk istirahat. Tapi walau begitu, sepertinya rumah sakit ini buka dua puluh empat jam.
Setelah beberapa waktu, tak kulihat lagi orang saling berlalu lalang didepan rumah sakit. Sepertinya sudah tak ada lagi pasien. Tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku masuk kerumah sakit. Sebenarnya aku juga punya tujuan lain datang kemari, yaitu untuk bertemu gadis licik itu.
Tak butuh waktu lama untuk menemukannya, karena begitu aku membuka pintu sosoknya sudah berdiri didepan mata. Dirinya tampak tak terkejut seperti waktu tadi siang, mungkinkah dia sudah memperkirakan aku datang kemari?
"Kau sepertinya tak terkejut begitu melihatku, aku yakin kau sudah memprediksi kedatanganku" kataku memulai percakapan. Dia yang niatnya hendak keluar kini kembali masuk kedalam bangunan, tentu saja aku mengikuti langkah kakinya.
"Jadi nona, gejala apa yang sering anda rasakan?" katanya sambil duduk dibalik meja. Tak sengaja tatapan bingung terpancar dari wajahku. Seharusnya dia tahu kalau aku datang kemari bukan untuk berobat ataupun karena sakit.
"Aku bukan datang kemari karena.." "Kalau begitu silahkan pulang. Kau datang kemari bukan karena sakit, tapi ini adalah rumah sakit. Tak ada gunanya kau datang kemari" ucapnya dingin setelah memotong kalimatku sembarangan. Aku menelan ludah mendengar kalimatnya, sesungguhnya dia sama sekali tak bersalah, dia pasti sangat letih hari ini, tapi aku malah datang tanpa maksud apapun. Itu jelas menggangu dirinya.
"A-aku punya sebuah penyakit serius" kataku terbata bata. Sungguh, aku tahu pasti kalau dia takkan percaya kebohonganku. "Saat seorang dokter melihat kondisiku, dia berkata kalau aku dikutuk"
"Kutukan itu bukan penyakit. Sepertinya kau tak banyak tahu tentang apa yang menimpamu" katanya lelah sambil menatap tajam mataku. Lagi lagi aku merasakan sensasi itu, sensasi seperti aku terserap kedalam matanya.
"Kau tahu tentang itu? Kumohon beritahu aku... Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku" pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah meminta padanya.
Sungguh, aku telah menelan kemarahanku bulat bulat, sekarang bukan kemarahan lagi yang penting, melainkan kenyataan apa yang terjadi pada tubuhku ini.
Beberapa hari terakhir, aku kesulitan untuk memejamkan mata. Bukan beberapa hari, melainkan setahun terakhir. Setelah kejadian itu, perubahan paling besar adalah sifat Mana dan kondisi tubuhku.
"Kenapa aku harus memberi tahumu? Untuk orang yang tak menyayangi dirinya sendiri, kenapa aku harus membantunya?" jawaban yang keluar dari mulutnya sangat berbeda dengan dugaanku. Kupikir dokter itu selamanya baik, mereka peduli pada pasiennya. Begitu juga gadis dihadapanku, dia masihlah muda tapi sudah menjadi dokter yang diandalkan banyak orang. Dia juga rela tidur larut malam untuk membantu pasiennya.
"Tak mempedulikan diri sendiri? Apa maksudmu?" tanyaku padanya. Tapi dia hanya diam dan tak bersuara. Kurasa dia tak ingin memaparkannya dengan lebih jelas. Ini adalah tubuhku, bagaimana bisa dia mengetahuinya lebih dari pada diriku?
"Kenapa kau tak mau memberi tahuku? Aku juga sekarang adalah pasienmu. Tolonglah, apa ada yang salah dengan tubuhku? Selama setahun terakhir ini aku merasa ada yang disembunyikan dariku" aku mengatakan hal itu dengan raut muka memelas, kuharap dia mau mempertimbangkan perasaanku.
"Disembunyikan? Jadi selama ini kau tak tahu apapun? " dia bertanya kaget. Aku hanya bisa menggangguk mendengar pertanyaannya. Mau bagaimana lagi, Eiji tak mengatakannya dan ayah juga tak menjawab saat ditanya.
"Apakah orang tuamu tak menceritakan apapun terhadapmu? " katanya penasaran. Aku yang mendengar pertanyaannya langsung menunduk sedih. Orang tua? Apa yang kau harapkan dari orang tua yang bahkan sama sekali tak mempedulikanku dan menganggapku tak ada?
Melihat diriku yang menunduk, gadis itu jelas tahu apa yang sedang kupikirkan. Dia hanya bisa menghela napas saat melihatku menunjukan kesedihan yang pernah kualami dalam raut mukaku.
"Baiklah, aku akan sedikit menjelaskannya padamu. Tapi ini bukanlah bahasan yang menarik ataupun menakjubkan. Yang ada malah terkesan menyedihkan," setelah menghela napas, dia menyuruhku duduk dikursi pasien yang berhadapan dengannya. Sekarang kami hanya dipisahkan sebuah meja ditengah tengah.
"Tak apa, aku memang sedang mencari jawaban tentang apa yang terjadi dengan tubuhku ini," aku duduk sesuai permintaannya. Dia menyeruput kopi panasnya tanda sedang berusaha menenangkan pikiran.
"Apa kau tahu arti kutukan yang sebenarnya?" tanyanya tanpa ragu ragu. Dan tentu saja jawabanku adalah gelengan. Aku tak tahu apa maksudnya, aku tak pernah dengar sebelumnya.
"Hah.. Kau benar benar tak tahu yah.. Mau bagaimana lagi.. Dengarkan ceritaku dengan baik" dia memajukan wajahnya, memberi sinyal padaku untuk lebih mendekat padanya. Aku langsung menuruti isyaratnya.
"Kutukan adalah hal yang sangat menyakitkan. Dia bisa membuat orang yang paling kuat sekalipun tak berdaya dan punya kelemahan" bisiknya seolah olah itu adalah hal tabu yang tak bisa dibicarakan sembarang orang. "Apa maksudmu kutukan yang seperti..." perkataanku terpotong karena dia langsung berkata menyangkal.
"Bukan, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Sebenarnya tak tepat kalau kita menyebutnya kutukan, ini lebih seperti pertukaran setara. Mirip seperti sistem barter barang" saat pertama kali mendengarnya, aku tak paham akan apa yang dia katakan.
"Barter? Pertukaran setara?"
"Yah, misalnya saja kau menukarkan pisang yang kau miliki dengan roti orang lain, konsepnya kurang lebih seperti itu. Lebih rincinya seperti ini, misalnya saja kau menginginkan kekuatan, lalu kau mengutuk dirimu sendiri, lalu kau akan mendapatkan kekuatan itu. Tapi yang paling penting adalah akan ada sesuatu yang menghilang dari hidupmu, sebagai bayaran karena kamu memiliki kekuatan. Sesuatu itu mungkin adalah hal paling berharga dihidupmu, bisa saja kekayaanmu atau bahkan perasaanmu sendiri" dia mengatakan hal menyeramkan itu dengan berbisik, mencoba menambah seram cerita yang memang sudah seram.
"Tapi aku tak pernah melakukan hal itu?!" aku berkata tak terima. Aku tak pernah mengharapkan sesuatu seperti kekuatan, malahan aku ingin tak punya kekuatan melihat masa depan dan menjadi orang biasa.
"Iya, aku tahu apa maksudmu. Mana mungkin orang yang sama sekali tak egois ini meminta kekuatan. Tapi mungkin saja kau meminta hal lain" katanya sambil menatap tajam diriku, meragukanku dan mengatakan kalau aku berbohong.
"Tidak, sama sekali aku tak pernah mengharapkan hal hal seperti itu"
"Benarkah?" dia lagi lagi meragukanku. Alu jadi serba salah, mungkinkah aku tanpa sadar melakukannya? Atau mungkinkah itu sudah terjadi terlalu lama bahkan sampai aku tak lagi mengingatnya?
"Kurasa itu juga bukan dirimu" kata katanya menyelamatkanku dari rasa bersalah yang semakin menumpuk saja. "Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Bukan dirimu yang membuat kutukan itu" dia mengatakan hal yang membuat kepalaku harus berpikir dua kali. "Lalu siapa?"
"Entahlah, kurasa orang berkemampuan yang berada diselilingmu. Apakah kau punya orang yang punya kekuatan disampingmu?" tanyanya sambil melihat dekat wajahku. Keringat dingin menetes didahiku. Orang yang punya kemampuan? Kekuatan? Apa yang dia maksud adalah Eiji? Jadi selama ini Eiji lah yang mengutukku, begitu?
"Dan sepertinya ini sudah lama sekali, mungkin sejak kau belum lahir. Pernahkan kau bertemu dengannya?" seketika tuduhan kejamku terhadap Eiji langsung sirna. Kami hanya bertemu beberapa minggu diumurku yang kelima belas, jelas dia tak mengutukku sejak lahir.
Tapi mengetahui bahwa ada orang yang mengutukku dari lahir entah kenapa membuat dadaku lara. Sebegitu inginnya kah kau melihatku tak bahagia hingga kau terpaksa merebut orang orang yang penting bagiku?
"Kenapa kau tak tanyakan saja pada orang tuamu" dia memberiku solusi yang tak bisa kupahami. Apa maksudnya tadi? "Kurasa orang tuamu pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu"
Mendengar kalimat itu, rasanya aku ingin menangis. Selama ini mereka menyembunyikannya dariku, memangnya ada kemungkinan kalau mereka akan berbicara jujur saat aku bertanya? Bahkan ayah sama sekali tak menjawab dua pertanyaan terakhirku tahun lalu, lalu apakah mereka juga takkan menjawab pertanyaanku tahun ini?