Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 21 - Pertarungan Dengan Serigala

Chapter 21 - Pertarungan Dengan Serigala

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi. Dengan berbekal sebuah tas perjalanan dan peta yang menunjukan dimana lokasi itu berada, aku memulai petualangan dadakan ini. Sebenarnya tugasku sudah selesai, jadi aku bebas menghabiskan waktu di dunia ini.

"Yosh... Mari kita berangkat!" aku mengatakan itu sambil menggendong tas. Ini adalah perjalanan panjang nan berbahaya, jelas tubuh ini butuh semangat terlebih dahulu. Dengan semangat yang cukup banyak terkumpul, aku memulai perjalanan yang mendebarkan ini.

****

"Apakah kamu tahu letak Istana Bayangan?" tanyaku pada orang yang kutemui sebelum masuk hutan dimana Istana Bayangan berada. Menurut peta, dia berada dihutan ini. Tapi tetap saja mungkin peta ini tak akurat, sebaiknya aku bertanya sebelum akhirnya tersesat hanya karena mengikuti peta yang kurang akurat.

"Istana Bayangan? Oh... Istana itu, mudah sekali menemukannya. Nona tinggal jalan lurus mengikuti jalan setapak ini" katanya sambil menggendong kayu bakar yang mungkin baru saja diambilnya dari hutan. Melihat ada orang yang mengambil kayu dihutan, kurasa hutan ini tak terlalu menakutkan.

"Begitu yah, terima kasih infonya" kataku sambil tersenyum ramah. Dia balas menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Kalau boleh bertanya, apakah Nona punya masalah hidup yang tak bisa terselesaikan?"

Mendengar pertanyaannya aku hanya bisa meneguk ludah kaget. Bagaimana bisa dia tahu tujuanku datang ke Istana Bayangan? Tapi rasa penasaran itu langsung ditumpas oleh penjelasannya.

"Maafkan atas pertanyaanku, mungkin pertanyaanku malah menyinggung Nona. Tapi sebaiknya Nona tau kalau hidup Nona juga berharga, jangan menyia nyiakannya dengan sesuatu yang tak berguna" dia mengatakannya dengan memandang diriku kasihan. Matanya berkaca kaca, seolah dia menatap orang yang akan pergi selamanya.

"Aku tak tahu kenapa kamu mengatakan itu, tapi aku juga tahu betapa berharganya diriku" aku mengatakannya dengan lugas, bukti bahwa aku bersungguh sungguh dengan kata kataku.

"Oh, maaf. Sepertinya aku salah paham. Apa kau tahu, banyak orang yang datang kesana untuk menanyakan sesuatu yang mungkin memang tak ada jawabannya didunia, dan banyak dari mereka menghilang tanpa jejak" katanya tersipu malu sambil mengusap belakang kepalanya. Dia sepertinya mengira aku tak suka dengan kehidupanku dan mengakhirinya dengan cara ini.

"Tenang saja, aku akan kembali dengan selamat" kataku yakin, dia menghela napas lega mendengar perkataanku. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku"

Setelah itu aku berjalan meninggalkannya. Berjalan menuju hutan yang nampak didepan mata. Tapi itu tak berlangsung lama karena aku mendengar teriakan darinya.

"Tunggu, Nona" Dia berteriak sambil berlari mengejarku yang sudah cukup jauh meninggalkannya. Kayu bakar yang di panggulnya kini ditinggal ditengah jalan begitu saja. "Jika Nona hendak masuk ke dalam hutan ini, sebaiknya Nona berhati hati. Ada kabut yang selalu mengambang diudara, biasanya itu menyesatkan para pengembara yang tak terbiasa. Dan disana juga banyak binatang buas, Nona harus selalu berhati hati"

Setelah mengatakan hal itu, kami kembali berpisah. Kembali kemana tempat yang dituju masing masing.

****

Langit menjadi jingga, senja sudah turun rupanya. Ditengah suasana hutan yang semakin mencekam, aku masih saja berjalan mencari Istana Bayangan berada. Padahal aku sudah masuk dari tadi pagi, tapi bahkan hingga petang aku tetap saja belum menemukan keberadaannya. Dari tadi rasanya aku terus berputar putar di dalam hutan. Kabut yang mengambang rendah ini juga menyusahkanku, mereka membuat bulu kudukku berkali kali berdiri.

Dan ditengah suasana bimbang nan menakutkan ini, kurasakan bulu kudukku lagi lagi berdiri. Bukan, ini bukan lagi karena ketakutan, ini adalah sinyal tanda bahaya.

Sreett... Semak semak disamping jalan setapak yang kulalui bergerak sendiri. Ini bukan karena angin, melainkan pasti ada sesuatu dibaliknya.

Kutahan napas, dengan langkah berjingkat dan pedang yang sudah kusiapkan ditangan, aku mendekatinya. Semakin dekat, semakin keras suara yang kudengar, semakin berdebar pula jantung ini.

Tapi sebelum aku berhasil menyibak semak yang dari tadi terus bergerak, sesuatu melompat keluar dari semak itu. Begitu melihat hewan berbulu abu abu hendak menerkamku, aku langsung melompat menghindar.

Untunglah karena aku sudah bersiap, sehingga begitu aku kembali menyentuh tanah, aku langsung bisa berdiri dalam posisi siaga. Aku harus selalu dalam posisi siaga jika menghadapi hewan berbulu abu abu itu.

"Auuuuuu..." aumnya sambil menunjukan gigi taringnya yang tajam. Mendengar aumannya, entah kenapa dingin langsung mengular kembali keseluruh tubuh. Sinyal darurat kembali memperingatkanku akan berbahayanya situasinya yang kuhadapi.

"Auuuuu..." aumnya lagi. Ya, yang sekarang kuhadapi adalah serigala berbulu abu abu. Serigala itu sepertinya melihatku sebagai makan malam yang akan menutup hari ini.  

Aku mundur selangkah, mencoba mengambil waktu sambil memikirkan srategi menyerang atau bertahan.

"Auuu...." auman serigala terdengar sekali lagi, membuat bulu kudukku berdiri merinding. Aku memikirkannya dengan cepat. Sebenarnya aku bisa saja mengalahkannya, dia hanya satu sekarang. Aku sudah belajar banyak lewat petualanganku petualanganku kali ini.

"Sreet" empat kakinya melompat kedepan, dengan moncong yang terbuka lebar memperlihatkan betapa banyaknya gigi gigi tajam yang ia punya. Sepersekian detik sebelum mulutnya yang lapar menerkam kepalaku, aku menggeser satu langkah kesamping, menghindari serigala yang menyerang dari depan.

Berhasil, aku berhasil menghindarinya. Serigala itu linglung sejenak, sebelum akhirnya menyadari bahwa mangsanya tak berada dimulutnya, melainkan sempat menghindarinya. Walau hanya sesaat, kesempatan itu takkan kulewatkan begitu saja. Dengan waktu yang sangat sempit, aku berhasil mengambil pistol di tas ransel yang kusiapkan.

"Auuu....." Serigala itu mengaum lagi. Entah apa yang ia lakukan dengan aumannya, aku tak mengerti. Yang jelas, sekarang serigala itu tampak marah karena aku sebelumnya mempermainkannya.

Lagi lagi kaki yang penuh dengan cakar tajam itu bergerak, pertanda pertarungan segera dimulai. Ia mengincar langsung leherku, ingin aku mati secepat mungkin. Tapi itu tak masalah, karena aku sudah punya senjata ditanganku. Tadi aku panik karena tak punya apa apa, sekarang aku sudah kembali percaya diri.

"Sreett...." serigala melompat dengan cakar tajamnya sambil mengincar leherku, aku langsung menghindar begitu merasakan bahaya, menggeser satu langkah ke samping. Tapi itu tak memutuskan tekad serigala kelaparan itu untuk memakanku. Dia langsung kembali menerkam, tak memberi waktu untuk menghela napas.

Perkelahianpun terjadi. Dibandingkan perkelahian, ini lebih tepatnya penyerangan. Serigala itu terus menyerang, sementara aku terus menghindar. Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan tembakan.

Akhirnya kesempatan itu datang juga padaku. Saat serigala berada diudara, tanpa ada pijakan untuk menghindar, saat itulah aku melepaskan tembakanku. "Dor..." bunyi itu menggema diseluruh hutan. Membuat burung burung yang bersiap tidur kembali terbangun dan terbang ketakutan. 

"Hu... Hu... Hu... Aku... Berhasil?" kataku sambil tersenyum tak percaya. Baru kali ini aku menembak hewan yang bergerak, aku takut aku takkan berhasil. Tapi lihatlah, dahi serigala itu berlubang, terkena peluru yang tadi kutembakan.

"Maaf, tapi aku terpaksa melakukan ini. Aku juga masih ingin hidup," ucapku kasihan sambil melihat mayat serigala yang menyerangku. Dia pasti melakukan itu karena terpaksa, begitu juga denganku, terpaksa membunuhnya.

Tapi ini bukan waktunya bersedih hati ataupun merasa gembira. Karena masalah yang lebih berat datang mendekat dengan cepat. Baru saja aku keluar dari bahaya, sekarang ada bahaya lebih besar yang ternyata menantiku.

"Grrrr....." terdengar suara eraman. Eraman yang sangat menakutkan dan terdengar marah. Aku lupa sesuatu, serigala adalah makhluk berkelompok. Saat menemukan mangsa, mungkin ia juga akan membaginya dengan kelompoknya. Auman tadi bukti bahwa dia sedang memanggil kelompoknya.

Aku membalikkan badan, menghadap arah auman. Seketika bulu kudukku berdiri. Lihatlah sekarang, lima ekor serigala menatapku dengan pandangan tajamnya. Taringnya berlumuran air liur, mendengar dari geraman mereka, sepertinya mereka marah padaku, apakah mereka marah karena aku membunuh anggota kelompoknya?

Tak ada waktu memikirkan hal itu, otakku lebih memilih memikirkan hal yang lebih penting lagi. Apakah aku sanggup melawan mereka? Melawan lima ekor serigala buas yang sedang marah dan kelaparan, apakah aku bisa?

Bila ini situasi normal, aku pasti akan berkata kalau aku bisa melawan mereka. Tapi entah kenapa instingku memperingatkanku, ini terlalu berbahaya, kembali saja. Masalahnya sekarang bagaimana aku kembali, sedangkan jalan keluar dari hutan ini ditutup serigala serigala lapar. Jika ingin kabur, aku harus masuk kedalam hutan, ditengah matahari tenggelam ini, itulah satu satunya cara.

Kubalikkan langkah, aku berlari cepat, meninggalkan serigala serigala ini, menuju kedalaman hutan yang suram.

Apa kau pikir manusia bisa berlari lebih cepat dibandingkan para serigala? Wajarnya itu tak bisa. Hanya pelari handal yang bisa melakukannya. Dan sayangnya, aku bukan bagian dari pelari handal itu.

Karena itulah, aku tak berlari diatas tanah. Jika aku terus berlari diatas tanah, jelas aku sudah menjadi santapan mereka.

"Tuk... Tuk... Tuk..." Entah berapa dahan yang sudah kuinjak, aku tak tahu. Aku terus melompat cepat diantara dahan dahan pohon rindang. Sedangkan para serigala? Mereka mengikutiku dari belakang, sambil terus menatap keatas, tempat dimana targetnya berada.

Merasa diatas angin, aku senang. Sekarang, serigala serigala itu takkan bisa menangkapku. Tapi entah kenapa, disaat aku merasa senang, aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Kreekk...

Benar saja, firasatku memang benar. Saat aku melompat melalui dahan dahan, aku salah memilih dahan. Dahan yang kulompati sangat rapuh. Saat aku mendarat didahan tersebut, suara retak menggema ditelinga. Belum sempat aku melompat lagi, dahan pijakanku jatuh.

Tubuhku meluncur bebas ketanah. Tak sempat tangan ini mencari pegangan, aku sudah jatuh duluan.

Bagaimana ini? Dibawah ada serigala yang mengejarku. Aku takkan sempat menghindar begitu jatuh dari tanah. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku akan mati disini? Akhirnya, aku menutup mataku takut. Takut terhadap apa yang akan terjadi.

Begitu aku membuka mata, tak terjadi apa apa. Aku masih hidup. Kulihat tangan dan seluruh tubuhku, aku masih utuh, tak ada satu bagianpun yang hilang. Tunggu, kenapa serigala serigala itu tak menyerangku?

Kulihat tempat serigala itu berada.

Mereka diam ditempat. Tentu saja mereka semua masih menggeram marah, tapi tak ada dari mereka yang mendekatiku, seolah ada garis yang memisahkan kami. Tak lama kemudian, serigala itu menyerah, membalikkan badan dan pergi menjauh, tentu saja diikuti rekan rekan serigala lainnya. Mereka meninggalkanku, mangsa yang sudah tak berdaya begitu saja? Bukankah itu aneh?

Tapi saat aku melihat kebelakang, arah yang sedang kutuju, kulihat pemandangan yang indah sekaligus mengerikan. Sebuah istana berdiri tepat disana, tak jauh dari tempat aku terjatuh. Istana yang tersusun dari batu hitam mengkilat, seolah menyerap semua cahaya senja disekitar. Istana yang nampak gagah namun juga misterius. Apakah ini wujud dari istana bayangan itu?