Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 24 - Penyelamat

Chapter 24 - Penyelamat

Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah Mana dan orang tuanya sedang mencariku? Berapa lama aku tak berada dirumah? Apakah mereka semua mengkhawatirkanku yang tak pulang pulang?

Yang kutahu jawabannya pastilah tidak. Karena ini adalah Klan Terlarang. Dunia yang selama ini kuyakini hanya sebuah buku belaka, tapi Eiji mengatakannya sebagai dunia paralel. Berapa lama waktu yang kuhabiskan disini bukanlah waktu yang kuhabiskan dibumi. Bisa jadi disini baru berlalu satu tahun tapi disana hanya berlalu beberapa menit saja.

Ah... Ini sangat sakit. Ini juga terasa menjengkelkan. Aku ingin kembali kerumah.

Malam itu pada akhirnya aku juga menghabiskannya dengan mimpi tentang rumah. Bahkan jika tak bisa didunia nyata, aku harap aku bisa kembali kerumah walau hanya dalam mimpi sahaja.  

Dan dipagi hari, sudah jelas apa yang akan terjadi. Sup busuk yang tercampur muntahanku kemarin kini menetes deras dari rambutku yang lepek dan tak terurus itu. Sedangkan wanita didepanku, dia sedang marah marah tak jelas. Aku sama sekali tak mendengarkan apa yang ia ocehkan hari ini.

Dan mungkin sudah tak terasa lagi bagiku semua penderitaan ini. Saat laki laki itu kembali dan mengintrogasiku sambil membawa besi panas, aku juga tak mengatakan apapun lagi. Pikiranku sudah tak sanggup lagi memikirkan jawabannya.

Dan pada saat besi itu menyentuh kulitku. Yang kurasakan adalah perih, panas. Air mata menggenang dipelupuk mata, tapi ia tak lagi jatuh. Dan kini pita suaraku sudah rusak bahkan hanya untuk mengucapkan satu kata.

"Kau! Kenapa kau diam begitu hah!! Apakah kau sudah bisu!! Kemana lidahmu?! Haruskah aku memotongnya?!" bentaknya marah sambil menekan besi panas itu lebih keras.

Tapi tak ada suara yang keluar. Yang ada hanya air mata yang mengalir pelan. Sirna sudah harapan dalam mataku. Kini mata layuku menatapnya diam, seolah sedang mengejeknya.

"Sial! Kau, berani beraninya manusia rendahan sepertimu menatapku dengan pandangan kurang ajar begitu?!" dia marah saat aku menatapnya tanpa maksud apapun.

"Hei kau! Bawakan aku alat itu! Aku harus mengcongkel salah satu matanya ini!" perintahnya kasar pada pelayan wanita yang selalu membawakan nampan makan busuk untukku.

Tak lama kemudian wanita itu pergi, meninggalkan kami berdua diruangan sempit ini.

"Siap siap saja. Inilah hukuman karena tak menjawab pertanyaanku dan menatapku dengan tatapan kurang ajar" katanya berbisik mengancam. Tapi apa peduliku? Rasa sakit ditangan yang melepuh karena panas mungkin sudah sepenuhnya menguapkan otakku.

Tak lama kemudian perempuan itu kembali dengan membawa alat dari besi yang nampak menakutkan. Pria itu langsung merebutnya dan meletakkannya tepat didepan mata kiriku.

"Apa kau yakin kau takkan memberi tahukan jawabannya sekarang?" tanyanya dengan senyuman sadis. Aku menatapnya dalam diam, lagi lagi dengan mata dead inside.

Dia tak tahan lagi. Langsung saja tangannya bergerak dengan cepat dan kuat.

"Akkkhhggggg...." teriakku kesakitan sambil menggeliat liat mencoba melepaskan diri dari kursi yang mengekang pergerakanku ini.

Perih....

Perih sekali....

Mataku....

Aku menutupnya rapat rapat.

Sekarang bukan air mata berwarna bening yang keluar, melainkan berwarna merah darah. Inilah yang namanya air mata darah.

Teriakan serak keluar dari tenggorokanku. Tangan yang terikat kencang dan kaki yang tak bisa digerakkan membuatku hanya bisa mengeluarkan teriakan kesakitan yang luar biasa kencang.

Sedangkan pria dihadapanku, dia tertawa lepas. Melihatku akhirnya berteriak kesakitan setelah mati rasa mungkin rasanya sangat menyenangkan baginya. Sedangkan ditangannya, alat itu berlumuran darah dengan bola mata coklat diujungnya.

Ini menyakitkan... Aku tak tahan lagi...

Kalau terus begini, lebih baik dia langsung membunuhku saja...

Perlahan pandanganku menyempit, lalu menutup dengan sempurna. Seolah tubuh ini juga setuju kalau lebih baik menyerah. Dia tak sanggup menahan penyiksaan ini lagi.

****

Dan begitu aku membuka mata, lagi lagi perih yang kurasakan. Menyengat, bagian tempat luka tak ditutup dengan kain atau apapun untuk menghentikan luka.

Dilihat dari manapun, diriku masih saja belum terbiasa. Kenyataan bahwa jarak pandangku menyempit membuat kepalaku sangat pusing dan pandanganku menjadi kabur.

Sesosok bayangan hitam berdiri dihadapanku. Seorang wanita, dilihat dari bayangannya saja itu adalah tubuh seorang wanita. Apakah wanita itu datang lagi untuk memberikanku makanan basi lagi?

"Apa kau tak apa apa?" tanya sosok itu dengan nada khawatir bercampur sedih. Ini jelas bukan wanita itu, wanita itu pasti tertawa saat melihatku kesakitan, tapi kali ini suaranya khawatir.

Dengan lengan tangan yang masih melepuh, aku mencoba duduk bersandar. Wanita yang tak bisa kulihat jelas wajahnya itu membantuku untuk duduk.

"Apakah ada makanan untuk hari ini?" tanyaku lemah padanya. Biasanya wanita itu bahkan lupa memberiku makanan, mungkin kali ini juga akan begitu.

"A-aku membawakanmu makanan, tenang dulu," katanya sambil menarik nampan yang sudah disiapkan sedikit mendekat. Aku meraba raba dengan tangan. Mata kiriku terasa sakit, aku juga tak bisa melihat jelas dengan mata kanan yang tertutup air mata.

"Biarkan menyuapimu saja" lagi lagi kata itu berkata lembut. Aku yang tak tahu maksudnya hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Apakah dia akan menyuapi sup busuk padaku? Memastiaknku agar memakan habis semuanya?

Tapi yang masuk kelidahku hanyalah kehangatan. Bukan sup busuk yang sudah kecut rasanya, melainkan manisnya bubur yang sudah sangat kulupakan rasanya.

Tanpa sadar air mataku meleleh. Ini pasti makanan dari surga. Hanya dengan satu suap bubur hangat membuatku yang sudah kehilangan tujuan hidup kini mulai merasakan kembali kehangatan.

Tapi itu hanya sekejap. Detik kemudian aku mengaduh pelan. Mata kiriku mengirimkan sinyal sakit yang sangat menusuk, balasan akan air mata yang keluar dengan sendirinya.

Tes... Tes... Tes...

Dapat kulihat bercak merah mengalir dari mata kiriku yang hanya menyisakan lubang. Tapi dibanding dengan rasa sakit itu, aku ingin makan bubur ini lagi.

"Tunggu sebentar, aku akan menutup luka matamu dengan kain" setelah mengatakan hal itu, dia merobek rak bajunya dengan tenaga luar biasa. Kain hasil robekan itu kemudian diikatkan kemataku dengan kencang, mencegah bertambahnya pendarahan.

Aku mengaduh pelan saat dia menutup mataku dengan kain secara keras. Perih, kain dimataku malah menambah perih. "Tenanglah, darahnya akan semakin banyak mengalir jika kau bersikap seperti itu"

Kata kata lembut itu seolah pernah kudengar, entah dimana aku lupa. Nada suaranya sangat familiar untukku, tapi aku tak bisa mengingatnya kembali.

Tapi mari pikirkan itu lagi nanti, kali ini aku ingin makan bubur lagi. Hanya dengan bubur ini, membuat hatiku kembali hidup.

Setelah suapan terakhir tiba, aku bernapas lega. Tentu saja rintihan kadang terdengar dari mulutku yang masih saja kesakitan. Tapi itu tak lagi terasa karena perkataan wanita misterius itu yang mengejutkanku.

"Aku akan menyelamatkanmu dari sini, jadi tunggulah sebentar lagi,"

Kalimat itu tampak seperti dusta bagiku. Tapi kalimat itu juga yang menumbuhkan harapan dihati.