Tik... Tik... Tik....
Gerimis hari itu masih saja turun, membasuh setiap makhluk hidup yang tak lari darinya, tak bersembunyi darinya.
Tik... Tik... Tik...
Tetes darah masih saja mengalir. Mengalir pelan dari kulit yang robek dan luka yang terbuka. Darah segar itu langsung menghilang begitu tercampur air hujan. Seolah memang tak ada luka, seolah memang tak ada darah. Sepertinya memang benar kalau hujan bisa menutupi segalanya.
Tik... Tik... Tik...
Lagi lagi hujan meneteskan air kerambutnya, ketubuhnya. Dan bukan hanya itu, hujan juga mengincar wajahnya, mencoba mengganggu pengelihatannya.
Tapi gadis itu terus berlari....
Terus berlari...
Dan terus berlari....
Dan bahkan jika hujan mencoba menghentikannya, ataupun ranting dan dahan kayu dihutan terus menghalanginya, ia masih saja terus berlari.
Berlari....
Ditengah hujan, ia terus menerobos hutan...
Dan berlari ketakutan....
Ketakutan...
Wajahnya ketakutan...
Tangannya bergetar ketakutan...
Dia benar benar ketakutan...
Cplak.... Cplak....
Suara percikan air terdengar dari sepatunya yang basah. Melewati genangan air, melewati ranting, melewati dahan dan daun yang berserakan, dia melewati semuanya dengan tergesa gesa. Napasnya memburu layaknya sedang beradu pacu. Wajahnya yang pucat kekurangan darah kini bertambah pucat karena dinginnya tetesan air dari langit.
"Si....al.... Si...al" hanya kata kata itu yang terdengar dari mulut birunya. Suaranya serak, sedang mencoba menahan keinginannya untuk menangis kencang.
"Ba-bagaimana bisa jadi seperti ini?" air mata lagi lagi mengalir dari matanya. Begitu jatuh, ia langsung tersamarkan air hujan yang datang menerpa. Seolah alam juga menyuruhnya jangan menangis. Seolah alam sedang menghapus air matanya.
"Ke-kenapa semuanya meninggalkanku... Seperti ini?" tangisnya terisak. Tapi tak ada waktu menangis bagi gadis muda itu. Dia harus lari, lari secepatnya dari monster yang sedang mengejarnya. Monster yang pasti akan membunuhnya.
Tapi, mungkin ini adalah akhir dari pelariannya.
"Jalan, jalan... Raya. Aku harus meminta bantuan seseorang," katanya berbinar. Harapan kembali muncul dari hidupnya yang baru saja terjatuh kedalam lumpur. Tangannya yang mengeluarkan banyak darah kini menjulur kedepan, seolah sedang menggapai harapan yang berada tepat dihadapannya.
Tapi harapan itu....
Sangatlah cepat sirna....
Secepat sirnanya sinar di mata gadis lima belas tahun itu...
Gadis itu berlari cepat ke jalan raya. Jalan sepi di tengah gunung dimana jarang sekali ada yang lewat. Harapan berkembang, berharap menemukan seseorang yang mampu menyelamatkannya dari monster yang sedang memburunya. Tapi yang didapatinya begitu berdiri ditengah jalan hanyalah...
PIIIIIIIIIPPPPPPP...
Klakson berbunyi nyaring. Pemiliknya menekan keras begitu melihat gadis berpakaian putih dan penuh dengan darah itu berlari tiba tiba dari arah hutan disamping jalan ketengah jalanan.
Namun terlambat...
Semuanya terlambat, baik klakson, rem maupun kaki gadis kecil itu....
Bruk....
Tabrakan yang sangat keras, membuat gadis itu terpentang jauh.
Dua meter.... Tiga meter... Bukan, bukan lagi tiga atau empat meter, melainkan mungkin sampai sepuluh meter.
"Papa, apa yang kau lakukan?!" bentak sebuah suara wanita dari dalam mobil. Mobil berhenti mendadak, membuat sang wanita menjadi kaget.
Tapi tak ada waktu untuk menjelaskan. Sang pria yang mengendarai mobil langsung keluar dengan raut muka panik dan tergesa gesa.
"Apa... Apa yang baru saja kulakukan?" gumamnya ketakutan sambil melihat tubuh gadis kecil yang bermandikan darah.
Merah...
Lalu gelap...
Itulah yang mungkin terlihat dimata gadis sebelum akhirnya ia kehilangan kesadarannya.
"Papa, cepat bawa dia kerumah sakit!!!" teriak seorang remaja putri dari bangku belakang. Kepalanya menyembul dari jendela mobil yang terbuka lebar.
Hanya darah, hanya itulah yang tersisa dari tempat kejadian. Tak ada saksi mata. Dan bahkan darahnyapun ikut tersapu air hujan yang mengairi jalanan. Tak ada seorangpun kecuali para penumpang mobil yang tahu kejadian itu, tentu saja gadis itu termasuk.
Mobil itu melaju kembali dengan kecepatan penuh, menuju rumah sakit, mungkin gadis itu masih bisa diselamatkan. Ditengah hujan deras, tak ada apapun yang tersisa dari tempat kejadian.
Salah...
Masih ada satu saksi mata lagi...
Seorang pria, dengan mata merah karena air mata, dengan tangan yang terkepal karena marah, dia menatap tajam mobil yang membawa tubuh sang gadis kecil.
Dengan amarah dinada suaranya, dia berkata "Aku pasti akan menemukanmu! Dimanapun kau berada, aku pasti akan menemukanmu! Lalu saat aku menemukanmu.... Aku akan membunuhmu"
Hanya gumaman marah itu yang tersisa ditengah hujan yang menyembunyikan segalanya.
*****
Saat aku kembali membuka mata, hanya ruang serba putih yang menyambutku. Kepalaku berdengung keras, seluruh tubuhku juga mati rasa, tak bisa digerakkan.
Sesosok bayangan putih terlihat oleh mataku. Walaupun samar, aku masih bisa mengenali gendernya. Dia wanita berambut pirang dengan seragam dokter. Sejenak aku teringat seseorang yang pernah ketemui dahulu.
"Tenang saja, aku sudah menyembunyikannya. Ayahnya takkan bisa menemukannya" tampaknya dia sedang mengobrol dengan sosok berjubah hitam. Sosok berjubah hitam yang tadinya sedang bicara menolehkan pandangan kearahku ketika sadar aku menatapnya.
"Kau sudah bangun?" tanya wanita berambut pirang itu. Nada bicaranya yang sedikit dingin dan sosoknya yang mengenakan jas putih langsung membuatku mengenalinya.
"Liana" gumamku pelan sambil memanggil nama wanita itu. Dia mendekat, mengelus dahiku pelan. "Tidurlah lagi, lukamu sangat parah. Kau perlu banyak istirahat"
Mendengar kata kata menenangkannya membuatku kembali mengantuk. Tapi sebelum mataku menutup, aku melirik sosok berjubah hitam itu. Bahkan dalam sekali pandang aku langsung mengenalinya.
"Papa.... Kau datang kemari?" tanyaku pelan. Sosok berjubah hitam itu tersentak kaget mendengar pertanyaanku. Tapi itu hanya sesaat, sesaat kemudian tangannya juga menyentuh dahiku, menyuruhku kembali tidur. "Ya, tentu saja Papa akan kesini saat mendengar putri kecilku sakit"
Kata kata penghiburan itu semakin menenangkan hatiku. Tapi itu hanya sasaat.
"Bagaimana dengan Mana dan Ibu? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku pada dua orang itu. Terakhir kuingat Ibu dan Mana sudah pergi sedangkan Ayah, dia marah besar padaku karena aku membunuh istrinya dan putrinya. Begitu sampai didunia ini, aku langsung kabur dari kejaran Ayah.
"Sudahlah, kau tidur dulu lagi. Kita akan menemui mereka nanti" kata Papa menenangkan. Tangannya sedikit bercahaya, kurasakan kantuk yang semakin tak tertahankan.
Pada akhirnya aku kembali tidur, meninggalkan dua orang yang sedang menungguku itu.
****
Hujan lagi lagi turun deras, membasahi tanah pemakaman yang sedikit gersang.
Aku berjongkok sambil mencoba menahan air mata. Liana yang memegang payungku hanya bisa menghela napas kasihan.
Sedangkan Papa yang berdiri dibelakang juga memasang muka sedih, walau itu tak nampak melalui pakaian serba hitam yang ia pakai.
Dihadapanku terdapat dua gundukan kuburan baru yang baru saja terbentuk. Tertulis dibatu nisan batu itu nama nama yang begitu kukenal.
Mana...
Ibu...
Apa yang harus kulakukan sekarang? Ayah sangat membenciku, bahkan berniat membunuhku. Aku harus apa sekarang? Aku dan Ayah, haruskah kami saling bertarung?
Hanya rintikan air hujan yang menjawab pertanyaan itu.